Always & Forever Part 2

Selasa, 26 Februari 2013
Always & Forever
By Sayaka Dini-chan
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: Naruto X Hinata
Warning: Semi-CANON. Spesial for B'day Naruto Uzumaki/Namikaze
Summary: Hanya Satu Permohonan Naruto. "Ingin Bersama Hinata Selamanya!" tapi bagi Hinata, itu belebihan. Mana mungkin kedua insan akan terus bersama selamanya, pasti suatu saat akan ada perpisahan bukan?

Kediaman Hyuuga tampak ramai pagi ini. Naruto yang baru saja datang, melihat beberapa pelayan mondar-mandir kerepotan, sesekali terlihat beberapa anbu yang keluar masuk kediaman Hyuuga. Perasaan Naruto mulai tak enak.
Karena penasaran, Naruto mencegat salah satu pelayan, menanyakan apa gerangan yang telah terjadi?
"Semalam terdengar ledakan dari arah dapur, dalam sekejap seperempat kediaman Hyuuga terbakar. .." tutur pelayan.

Naruto terkejut. "L-lalu? Apa ada yang terluka?"
"Lebih buruk dari itu, Putri Hyuuga . . ." suara pelayan mulai bergetar. "Tak sempat diselamatkan,"
Kali ini Naruto tidak lagi bertanya, membiarkan pelayan itu pergi dengan sedikit terisak. Kembali berpikir optimis dan logis, Naruto kembali membuat argument, Putri Hyuuga hanya ada dua orang, Hinata dan Hanabi. Beberapa jam yang lalu dia sudah bertemu dengan Hinata, terlihat baik-baik saja. Kalau begitu, yang tidak terselamatkan pastinya putri Hyuuga yang satunya lagi.

Pantas saja Hinata terburu-buru pulang. Naruto jadi merasa bersalah atas kejadian ini. Bagaimana pun juga, Hanabi adalah adik Hinata. Pasti berat rasanya kehilangan bagian dari keluarga kita.
Naruto kembali berjalan, mendekati tempat kejadian perkara, dapur kediaman Hyuuga yang telah hangus terbakar. Terlihat beberapa anbu dan pelayan membersihkan tempat itu, terdengar seruan salah satu orang yang memerintahkan untuk mencari jenazah Hyuuga dibalik reruntuhan kayu.
Naruto bertanya lagi pada pelayan yang berada di dekatnya. "Kau lihat Hinata?"

Pelayan yang ditanya malah menunjukkan wajah horror, setengah yakin ia menjawab, "Hinata-sama sudah–"
"NARUTOOO!" seruan gadis dengan nada galak terdengar dari kejauhan, mengintrupensi jawaban sih pelayan.
Dengan kesal, Naruto berbalik, melihat Hanabi berlari ke arahnya. Gadis berambut hitam panjang dengan wajah garang. Tunggu! Apa benar itu Hanabi? Jika benar itu Hanabi, lalu putri Hyuuga yang mana–
'BUAAGH!'
Belum sempat Naruto berpikir kalau itu mungkin hanya halusinasinya, atau hanyalah arwah gentayang Hanabi, Naruto sudah dikejutkan dengan pukulan telak pada ulu hatinya dari Hanabi. Naruto jatuh tersungkur ke belakang, cukup menarik perhatian di sekitarnya.
Naruto mengerang, hendak protes dengan tindakan kelewatan Hanabi. "Apa yang kau–"
"BUAT APA KAU DATANG KE SINI!" namun Hanabi langsung memotongnya dengan gertakan yang tidak kalah keras. Membuat seluruh penghuni Hyuuga terdiam, bahkan anbu yang sedang membersihkan reruntuhan menghentikan aktifitas mereka.
Hanabi mengepalkan tangannya kuat-kuat, sekuat tenaga ia menggigit bibirnya yang gemetar. Memandang Naruto dengan kebencian, ia melangkah lebih dekat pada Naruto yang masih berbaring, dan segera mencekram jaket Naruto. Satu pukulan lagi hendak dilayangkan, namun dihentikan oleh Hiashi yang baru saja datang.
Hiashi menahan lengan Hanabi, sebelah tangannya merangkul pinggang Hanabi dari belakang dan menariknya mundur. Tak peduli dengan tubuh Hanabi yang terus meronta.

"Lepaskan Aku!"
"Hentikan Hanabi!"
"Aku tidak terima semua ini! Dia harus diberi pelajaran! Semua ini terjadi karena Salahnya! Tak boleh diberi ampun–"
"CUKUP HANABI!" kali ini Hiashi yang menggertak. Membuat Hanabi tersentak sejenak, lalu berhenti meronta.
"Semua yang telah terjadi, Sepenuhnya bukan salah Naruto," bisik Hiashi lagi.
Tubuh Hanabi melemas seketika, kepalanya tertunduk, bahunya gemetar. "Tetap saja. . ." ada jeda saat Hanabi sesegukan, "Kalau bukan karena Naruto. Saat ini Hinata-nee pasti masih bisa dirawat di rumah sakit." Ujar Hanabi lirih.

"Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?" Naruto tidak tahan lagi untuk bertanya. Apalagi saat mendengar kalimat terakhir Hanabi yang menyebutkan nama Hinata.
Tak ada yang berani menjawab, bahkan Hiashi yang biasanya bersikap dingin, malah menutup matanya, enggan menatap Naruto, atau lebih tepatnya enggan mengatakan yang sebenarnya.
"Seharusnya sejak awal kami jujur padamu," suara Shino mendadak terdengar di belakang Naruto, bersamaan dengan hadirnya Kiba di samping Shino.
"Apa yang kalian sembunyikan dariku?" tuntut Naruto tak sabar.
Kiba menghela nafas berat, tatapan matanya juga menghindar dari sorot mata biru milik Naruto. "Kemarin, Hinata terluka dalam misi kami. Seandainya kami tinggal lebih lama di desa Shinjo, mungkin kami masih sempat menghilangkan racun di tubuh Hinata. Tapi dia bersikeras untuk pulang hari itu juga, karena . . . kau sedang berulang tahun," tutur Kiba.
"Kami menyarankan dia menginap di rumah sakit Konoha setelah tiba, dan menyuruhmu untuk menemuinya di rumah sakit," Shino menambahi. "Tapi entah kenapa kali ini dia keras kepala. Hinata memohon pada kami untuk tidak memberi tahukannya padamu tentang keadaannya. Hinata juga berjanji pada kami, Dia akan baik-baik saja."
"DIA TIDAK BAIK-BAIK SAJA!" kali ini Hanabi menimpali. Membuat perhatian Naruto kembali padanya. Gadis itu kini menghapus jejak basah di pipinya.
"Kau mau tahu apa yang terjadi?" pertanyaan yang dilontarkan Hanabi seperti ejekan terhadap Naruto. "Tengah malam, Hinata-nee kabur dari rumah sakit. Dia pulang ke rumah saat semuanya terlelap, kecuali aku yang masih terjaga. . ."

Hanabi memberanikan diri melihat mata Naruto. meskipun itu sebuah tatapan benci yang diberikan Hanabi. "Dengan bodohnya, Hinata-nee memaksakan dirinya untuk membuat kue tart yang katanya ingin diberikan padamu. Padahal . . . wajahnya sudah sepucat itu, bibirnya membiru, beberapa kali tanpa sadar dia menjatuhkan sesuatu ke lantai. Mungkin pandangannya sudah buram saat itu."
Hanabi menggigit bibirnya yang mulai gemetar, "Seandainya saat itu aku terus menemaninya di dapur, seandainya saat itu aku tidak kalah dengan rasa ngantukku, seandainya saja aku menahan diriku untuk tidak pergi ke kamarku. Mu-mungkin. . . mungkin Hinata-nee tak perlu pingsan di dapur saat kompor terus menyala tanpa ada yang mematikannya!" tangis Hanabi mulai pecah.
"Dan seandainya sejak awal Hinata-nee tidak bertemu denganmu! Mungkin sekarang aku masih bisa sarapan bersama Hinata-nee!" bentak Hanabi meluapkan perasaan bencinya.
Bahu Naruto mulai gemetar, bukan karena menangis atau semacamnya. Pemuda itu malah tertawa, membuat seluruh orang memandangnya dengan heran. "Hebat! Aku tak percaya kalian semua melakukan ini untukku!"
Kiba geram. "Naruto! kau–"
"Tapi ulang tahunku itu kemarin. Kalian semua telat mengerjaiku di hari ini., tapi aku tetap salut dengan acting kalian semua." Naruto memaskan diri untuk tersenyum lebar seraya bertepuk tangan.
Apa si bodoh itu mengira ini semua hanya rekayasa dan sandiwara belaka? Hanya untuk mengerjai dirinya yang sedang berulang tahun? Tidak!

Sejak awal Naruto sudah sadar, ini bukan sebuah Ilusi, Naruto yang sekarang sudah bisa membedakan yang mana genjutsu atau bukan. Dia juga bisa membedakan sebuah kegebushin dengan manusia asli. Dan pemuda itu tahu, dia tidak berada dalam genjutsu atau semua anbu dan para pelayan di sekitarnya bukanlah kagebushin. Naruto bisa merasakan aliran chakra pada masing-masing orang. Di tambah lagi sikap Hanabi berubah dratis, gadis yang biasa bersikap dingin itu kini meluapkan seluruh emosinya di hadapan Naruto.
Jelas-jelas ini semua nyata. Tapi hati Naruto tetap menyangkal semuanya. Dia ingin Kebodohan yang dimilikinya saat berumur sepuluh tahun kembali lagi pada dirinya.

"Baka!" Hanabi berteriak lagi. "Kenapa kau masih tidak percaya dengan apa yang kau liha–"
"MANA MUNGKIN AKU BISA PERCAYA!" akhirnya Naruto menggertak. "Baru saja Aku bertemu dengannya! Pagi buta tadi Hinata menemuiku! Membawakanku kue tart yang lezat!"

Naruto tersenyum mengejek pada semua orang yang tercengang melihat dan mendengar pernyataannya. "Mungkin tanpa sepengetahuan kalian, dia bisa lolos dari kebakaran itu. Dan langsung menuju ke rumahku sambil membawa kue tart buatannya," Naruto kembali berspekulasi, tapi kali ini tanpa berpikir dengan logis. Kalau memang itu benar, seharusnya Hinata tadi pagi datang dengan terengah-engah, dan setidaknya ada baju atau bekas luka bakar di tubuhnya. Tapi Hinata datang dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa, lagi pula tak ada luka bakar yang terlihat karena Naruto sama sekali tidak menyentuhnya. Tunggu! Kenapa Naruto baru sadar, kalau dia tak pernah menyentuh Hinata saat itu. Ingin di peluk, Hinata menghindar. Ingin mengambil kue tart itu, Hinata menghalanginya dengan alasan ingin menyuapinya. Apa itu semua wajar? Dan yang terakhir, Hinata menghilang begitu saja, bersamaan dengan sisa kue tart yang bersih di atas meja makan. . .

TIdak! Naruto kembali membuang pikiran negatifnya. Lagi-lagi dia berpikir optimis. "Mungkin sekarang Hinata berada di suatu tempat untuk mengejutkanku. Mustahil kalau sekarang Hinata sudah meninggal duni–"
"Hiashi-sama! Kami sudah menemukan jasad Hinata-sama di bawah reruntuhan!"
Naruto membeku. Rasanya dia ingin menyumbat ulang telinganya saat mendengar laporan anbu tersebut. Tidak! Naruto masih bersihkeras mengira pendengarannya sedang mengalami teknis. Hingga dari sudut ekor matanya, Naruto melihat dua pelayan membawa tundung, membopong jenazah yang ditutupi kain putih itu ke hadapan Hiashi.
Dalam hati Naruto memerintahkan matanya untuk tidak melihat hal itu, tapi sarafnya tidak mau bergerak, seakan ada magnet yang mengharuskannya melihat tangan Hiashi saat membuka setengah kain putih yang menutupi jenazah tersebut. . .

Itu nyata! Bukan Ilusi maupun mimpi! Wajah damai Hinata terlihat jelas di sana, mata tenangnya tertutup, luka bakar di sisi pipinya tampak merah, dan helaian rambutnya terlihat kaku.
Dia sudah tidak ada. Hyuuga Hinata telah pergi.
Hanabi tak berhenti menangis di lengan ayahnya. Hiashi tak bisa menyembunyikan wajah sedihnya, rasa kehilangan putrinya tampak jelas di wajahnya. Dia kembali menutup kain putih tersebut, dan mengisaratkan para pelayan untuk mengurus pemakamannya.
"Tunggu!" pinta Naruto mencegah dua pelayan yang membopong jazad Hinata melewatinya.
Semua terasa hening, saat Naruto melangkahkan kakinya yang berat, mendekati jasad Hinata. Dengan berat hati, tangannya bergerak untuk membuka ulang kain putih tersebut. Ingin melihat lebih jelas lagi wajah Hinata, meskipun itu menyakitkan hati.
Tangan Naruto gemetar saat menyentuh kulit dingin Hinata. Jarinya mengusap kelopak mata yang tertutup untuk selamanya, lalu turun untuk meraba luka bakar yang tampak seperti rona merah di pipi Hinata bagi Naruto, tangan Naruto juga tak melewatkan bibir Hinata yang membiru dan dingin bagaikan es. Naruto memberanikan dirinya meraba denyut nadi di leher Hinata, berharap ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tapi hasilnya nihil, selama berapapun Naruto merasakannya, tak ada yang berdetak di tubuh gadis itu. bukannya legah, Hati Naruto semakin sesak.

Ini bahkan lebih buruk dari apa yang ditakutkan Naruto selama ini.
Hinata meninggalkan Naruto untuk selamanya. Tepat sehari setelah Naruto berulang tahun. Apa ini kado yang indah? Jawabannya tentu saja tidak!
Yang pasti, Naruto tak akan melihat senyuman lembut Hinata, tak akan melihat rona merah yang membuat wajah Hinata semakin imut, dan tak ada lagi canda tawa Hinata yang membuatnya semakin manis di mata Naruto. oh ya! dan satu lagi, tak ada obat penenang bagi Naruto, Karena hanya hinatalah yang bisa menenangkah hati Naruto saat dia resah.
Dan sekarang. Saat hati Naruto sesak, resah dan galuh, apa bisa Hinata menenangkannya? Jawabannya tetap sama, Tidak! Karena kepergian Hinata itulah sendiri yang membuat Naruto sesak.
Dua pelayan itu sudah capek menunggu. "Maaf, Naruto-san. Kami harus–"
"Sebentar," potong Naruto. "Biarkan aku, Sebentar saja," bisikan lirih itu seperti memohon.
Mereka menurutinya, dua pelayan itu meletakkan jenazah Hinata di lantai, membiarkan sejenak Naruto mengamati wajah Hinata.

Kedua kaki Naruto yang sejak tadi melemas, akhirnya jatuh, hingga kedua lututnya lah yang menjadi penyangga tubuhnya di atas lantai kayu. Menunduk di hadapan jenazah Hinata. Naruto kembali menyentuh wajah Hinata.
"Hey Hinata-chan . . ." untuk petama kalinya, Naruto memanggil Hinata dengan sufiks chan, meski sudah terlambat.
"Kau tahu? Dari awal aku datang ke rumahmu tadi pagi, aku sudah memiliki rencana untukmu," Naruto bercerita seperti biasa. Sebelah tangannya merongoh saku celananya, mengambil benda kecil di sana.
"Kau pasti penasaran, iyakan Hinata-chan?"
Tak ada jawaban. Tentu saja.

Dengan semangat yang dibuat-buat, Naruto membuka kotak persegi kecil berwarna merah di hadapan Hinata. "Taadaa! Lihatlah! Baguskan?" Naruto memperlihatkan dua cincin dalam kotak tersebut.
"Ini kubelikan untuk kita, oh bukan. Maksudku sudah ku pesan khusus untuk kita. Kenapa? Karena kedua cincin ini sudah terpahat nama inisial kita berdua, 'NH'." Bahkan Naruto menyodorkan pahatan di cincin itu tepat di depan kelopak mata Hinata yang terus tertutup.
Naruto menarik nafas dalam. "Hinata-chan . . ." ia menggenggam tangan Hinata yang dingin. Mata Naruto tertutup seperti meresapi perasaannya.
"Maukah kau menikah denganku?" kalimat simpel, tapi butuh latihan berkali-kali bagi Naruto untuk mengucapkannya. Dengan wajah serius tanpa ada gurauan yang selalu jadi bawaan Naruto.
"Diam, artinya . . . 'iya', kan? Hinata-chan." Naruto memutuskan secara sepihak.
Hiashi tidak tahan untuk menitikkan sebutir air matanya. Ini terlalu kejam untuk dialami Hinata, juga untuk calon menantunya.

"Baiklah! Saatnya memakaikan cincin!" Naruto masih bisa tahan untuk menunjukkan wajah senangnya, meski dalam hati benar-benar sakit. Sangat sakit!
Tangan Naruto perlahan memasukkan cincin di jari manis Hinata, dalam bayangan Naruto, Hinata tersenyum manis padanya lengkap dengan rona merah di wajahnya. Tapi nyatanya . . . Naruto tak pernah membayangkan hal ini terjadi, bahkan saat hal itu benar-benar terjadi.
Naruto juga menuntun tangan kaku Hinata untuk memakaikan cincin ke jari Naruto sendiri. Kini dia membayangkan Hinata dengan malu-malu memakaikan cincin itu di tangan Naruto. Tapi nyatanya . . . terlalu pahit untuk dibayangkan

"Kau pasti bertanya. Kenapa aku masih tetap melakukan ini semua?"
Semua orang yang berada di sana juga menanyakan hal sama. Untuk apa Naruto melamar sesosok jenazah? Apa dia sudah gila?
"Dan aku yakin kau sudah tau jawabannya Hinata-chan."

'Ya Naruto-kun. Aku sudah tahu'

Naruto Tersenyum tulus.
"Aku tidak akan pernah menarik kata-kataku."
'Aku tidak akan pernah menarik kata-kataku.'
Di mata Naruto, dia bisa melihat Hinata membalas senyuman tulusnya.
"Karena itulah jalan ninjaku."
'Karena itulah jalan ninjaku.'
Naruto semakin menggenggam erat tangan Hinata, lalu mengecup punggung tangannya sebelum berucap,
"Aku Mencintaimu Hinata-chan . . ." kalimat ini tulus, tapi tetap saja ada yang janggal. Bukannya senang karena akhirnya Naruto bisa mengunggkapkannya, Hati Naruto seakan hancur berkeping-keping, lalu ditiup oleh angin panas gurun pasir, mengingat ini semua sudah terlambat.
Sebelah tangan Naruto yang lain menggenggam rambut pirangnya dengan kuat. Seakan hendak menjambak rambutnya sendiri. Menyesali apa yang sudah terjadi.
"Seharusnya di saat seperti ini, A-aku bahagia. . ."
Suara Naruto mulai serak.
"Ta. . .pi kena. . .pa?"
Nafasnya semakin sesak. Karena sama sekali tak mendengar reaksi berarti dari Hinata.
"Kenapa aku malah menangis Hinata-chan?"
Dan butiran air mata yang sejak tadi menggenang di mata Naruto, jatuh, membasahi punggung tangan Hinata.

*Semoga Kau Tetap Bahagia*


Awan kelabu menjadi atap desa Konoha sore ini. Hujan turun membasahi tanah Konoha, seakan turut berduka cita atas perginya dua orang yang berharga di desa ninja tersembunyi itu.
Beberapa orang menghadiri pemakamannya. Satu per satu meletakkan karangan bunga di depan nisan tersebut. Satu nisan tapi bertuliskan dua nama. Aneh memang, dan sangat lahkah untuk kau temui. Tapi ini nyata, persis dilakukan seperti apa yang diinginkan pemuda pirang itu saat berada di ujung tanduk kematian., satu liang bersama istri barunya.
Tertulis.
11-10-XXXX
Uzumaki Naruto
Uzumaki Hinata
"Dasar dobe," ejekan itu kini terdengar lirih dari tenggorokan Sasuke. Seakan ledekan itu terlontar untuk terakhirnya, yah setidaknya itu yang dipikirkan Sasuke.
"Dia itu memang bodoh," Sakura yang memanyungi Sasuke, menimpali. "Tapi aku bangga memiliki teman seperti dia."
"Hn."
"Dia patut dikenan sebagai pahlawan bagi Konoha."
"Hn."
"Bahkan dia mati sebagai pahlawan, karena sudah berjuang melindungi Konoha dari sisa Akatsuki yang menyerang kita siang tadi. Sayang sekali dia tidak bisa bertahan sedikit lebih lama, padahalkan umurnya masih muda." Sakura tampak menyesal.
". . ." Kali ini tak ada tanggapan dari Sasuke, dia terus menatap batu nisan bertuliskan nama sahabatnya itu.
Sakura menghela nafas panjang, lalu berucap, "Jika saja aku lebih cepat datang untuk menyembuhkan lukanya, mungkin tidak akan berakhir seperti ini,"
"Oh. Jadi kau sekarang MENYESAL karena menyelamatkan aku dulu, sebelum Naruto. begitu?" ujar Sasuke sarkastik.
Tanpa sadar, Sakura mengangguk singkat. Membuat perempatan kecil muncul di dahi Sasuke.
Sakura yang terus memandang batu nisan NaruHina, berguman lagi, "Naruto juga pahlawan bagiku–"
"Cukup! Kalau kau terus memujinya, Aku tidak akan segan memanggilmu dobe!" Sasuke kesal, dia berbalik dan meninggalkan Sakura.
Hujan mulai reda. . .

"Hey Tunggu! Aku belum selesai bicara!" Sakura berbalik mengejar Sasuke. "Maksudku, Naruto pahlawan bagiku, karena sudah membawamu kembali ke Konoha! Sasuke–aw!" Sakura menabrak punggung Sasuke yang mendadak berhenti.
Awan kelabu mulai menyingkir . . .
"Sasuke-kun? Kau kenap–"
Payung Sakura terjatuh . . .
Mata Sasuke yang awalnya terkejut, kini berubah teduh, senyuman kecil terlukis di wajahnya. "Apa kau juga bisa melihatnya? Sakura?"
Sakura yang juga tercengang, ikut tersenyum bahagia. "Ya Sasuke-kun. Aku melihatnya. . ."
Di hadapan mata mereka. . .
Dua sosok indah yang tembus pandang itu tersorot cahaya matahari. . .
Naruto menggenakan setelan jas putih, di hadapannya Hinata menggenakan gaun putih indah yang mempercantik penampilan. Layaknya pengantin baru, Naruto memeluk pinggang Hinata erat dengan cengiran khasnya. Hinata yang merona, membelai rambut kuning Naruto dengan malu-malu.
Dengan Pelangi indah sebagai background-nya, mereka berdua berciuman. Sebagai tanda ikrar mempersatukan mereka untuk selamanya. Kapan pun dan dimana pun mereka berada.

END


1 komentar:

cak oni mengatakan...

izin membaca sob :D

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut