DILEMA CINTA DIANTARA SAHABAT PART 33

Senin, 24 Desember 2012
Dilema Cinta Diantara Sahabat
By Sayaka Dini
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: NaruHina, SasuSaku, and slight SaiIno
Warning: AU, OOC,GaJe! OC, and little Fantasy!

 END PART 2

 Chapter 33
*#~DCDS~#*

'DOR!'
'DOR!'
Dua letusan langsung terdengar secara berurutan.
Pistol yang digunakan Naruto terpental jatuh.
Beberapa tetes air kental berwarna merah, ikut terjatuh, mengotori lantai yang dipijak Naruto.
"Kuso!" umpat Naruto. Jatuh duduk bersimpuh seraya memegang bahu kanannya yang tertanam timah panas. Darah meluncur dari luka tersebut. Naruto menatapnya horror.
"Kau tidak pandai menggunakan pistol," guman Kakuzu, si pelaku, pria berjubah dan bercadar itu masih mengarahkan mulut pistol pada Naruto.
Naruto dengan refleks langsung berguling ke samping, begitu mendengar letusan pistol susulan, tak peduli dengan bahunya yang begitu perih. Dia bangkit, berlari cepat, mencari perlindungan di dalam ruangan yang remang, namun mata Kakuzu yang tajam dapat menangkap gerakannya. Kakuzu terus menembakinya, dan selalu meleset beberapa inci di belakang punggung Naruto. Kakuzu langsung membidik kaki Naruto yang terus berlari, namun selalu meleset ke lantai.
Geram, karena ternyata dalam kondisi luka pun, lawannya yang masih anak muda itu kini pandai berkelit dengan kecepatan larinya. Hingga tak sadar pistolnya sudah tak bisa menembak, rupanya peluru dalam magazine (kotak tempat peluru dalam pistol) telah habis, dia harus menggantinya dengan yang baru. Namun belum sempat Kakuzu mengambil magazine baru, kesempatan ini digunakan Naruto untuk mendekati Kakuzu.
Kakuzu dengan cepat sudah memasukkan magazine baru, slide ditarik (dikokang), mengarahkannya pada Naruto yang sudah mendekat, tinggal menekan pemicu (trigger).
'DOR!'
Namun Naruto lebih cepat, memukul lengan Kakuzu ke atas, hingga arah letusan melesat ke langit-langit kamar. Kemudian Naruto melompat lalu menimpuk bahu kiri Kakuzu dengan sikunya, membuat tubuh Kakuzu membungkuk ke depan. Dengan jarak dekat itu, Naruto menggunakan lututnya untuk menendang ulu hati Kakuzu.
Pria bercadar itu mengerang sakit, jatuh terkapar di lantai. Tak ingin pertarungan ini ada babak keduanya lagi, Naruto segera merampas paksa pistol Kakuzu.
"Kau sendiri sedikit lamban menggunakan pistol," ujar Naruto, membalas kata-kata Kakuzu sembelumnya sambil nyengir paksa karena masih menahan sakit pada bahunya yang terluka. Sebelum dia pergi, Naruto berbaik hati memberikan pukulan telak di tengkuk Kakuzu, membuatnya tak sadarkan diri.
*#~DCDS~#*
'BUUM!'
Setelah asap abu-abu dari hasil ledakan itu lenyap, tampak jelas dari runtuhan batu-batu kecil, berceceran cairan kental berwarna merah, yang juga menodai baju putih berlambang Uchiha, benda itu tergeletak di lokasi ledakan.
Deidara, pelaku utama atas ranjau bom yang dipasangnya, tersenyum penuh kemenangan. Namun senyum itu langsung menghilang saat tahu tak ada siapa pun di balik asap debu itu, si korban hanya meninggalkan bajunya dengan noda darah. Tidak mungkin kalau si target ikut meledak berkeping-keping, karena Deidara yakin dia hanya memasang ranjau bom dengan skala kecil, yang maksimalnya membuat kulit orang terluka dan terbakar jika mengenainya.
"Dimana bocah cecunguk itu, un?" tanya Deidara pada dirinya sendiri.
Suara batu terjatuh di belakangnya membuat Deidara kembali waspada. Dia segera berbalik, memasang kuda-kuda siaga dan siap melepaskan bom lagi tanpa tahu sosok bayangan lain sudah berdiri di belakangnya.
Ketika Deidara menyadari kalau suara itu hanya sebuah tipuan untuk mengalihkan perhatiannya, dia sudah terlambat. Mulut pistol yang dingin sudah menempel di punggungnya. Sasuke menyeringai tipis. "Siapa yang kau bilang 'bocah cecunguk', hah?" suaranya terdengar sedikit parau dengan nafas terengah.
Keterkejutan di wajah Deidara hanya sekilas, sebelum akhirnya dia membalas dengan senyum sinis. "Lihat dulu kau sedang berdiri di mana?"
Sasuke terkejut menyadari ranjau bom yang ternyata tepat di bawah kakinya, lagi. Namun sebelum Deidara sempat mengaktifkan pemicunya dan menimbulkan suara ledakan lagi. Suara tembakan lain mendahuluinya. Deidara mengerang, jatuh berlutut seraya memegang tulang kering kakinya yang terus mengeluarkan darah. Dia juga tak berhenti mengumpat.
"Sudah cukup kau menghalangiku." Sasuke berlutut di samping Deidara. Ia mengkokang senjatanya dan menempelkan mulut pistol pada pelipis Deidara. "Katakan di mana temanku?"
Deidara menatap tajam Sasuke yang bertelanjang dada dengan luka bakar di sepanjang bahu kiri hingga lengannya, yah, ranjau bom tadi sempat melukai Sasuke.
"Kalau aku tidak mau mengatakannya?" kata Deidara menantang.
"Ku pastikan kepalamu berlubang detik itu juga."
Sasuke tahu, dirinya sendiri hanya sedang menggertak.
*#~DCDS~#*
Jeritan kesakitan terus keluar dari tenggorokan Sakura. Suara memilukan itu sangat keras dan tak kan berhenti jika rasa sakit yang dialami Sakura juga tak mau berhenti. Panas, rasanya seperti ditusuk besi panas di sekujur tubuhnya, membuatnya tak tahan untuk berteriak kesakitan. Sekuat apa pun dia memberontak seperti orang kerasukan, tak kan mampu melepaskannya dari ikatan di tiang 'tambah'(+) tersebut sekaligus tak menghentikan rasa sakit yang diterimanya.
Hinata tak sanggup melihatnya, ia ikutan menangis sambil terus teriak memohon dari tiangnya sendiri. "Kumohon! Hentikan! Hentikan!"
Itachi menutup matanya, tak tega untuk melihatnya. Sementara giginya bergemelutuk menahan amarah. Dan ia sedang merutuki dirinya sendiri dalam hati, menyesal. Tak tahan, akhirnya ia berseru, "Sudah! Cukup!"
Namun Madara tetap menghiraukannya. Kedua tangannya terus membentang ke samping tubuhnya, mendongak, menutup mata, merapalkan mantra, terus mengendalikan kilatan-kilatan cahaya putih yang keluar dari tiga belas gadis (tak sadarkan diri) yang mengelilingi altar tersebut. Kilatan cahaya tersebut seperti kain putih transpran yang bertebrangan mengelilingi Sakura dan secara bergantian masuk ke tubuh Sakura yang kejang-kejang sambil meraung tak karuan.
Sedikit lagi... batin Madara di tengah ritualnya.
*#~DCDS~#*
Ketukan pintu menghentikan segala aktifitas yang dilakukan Pein dan Konan di dalam kamar tersebut. Kata 'masuk!' yang diserukan Pein sudah cukup membuat pintu itu terbuka dari luar. Si Zetsu kembar pun masuk.
"Mereka kalah," ujar kedua Zetsu kembar dengan kompaknya.
"Kakuzu tak sadarkan diri," kata Zetsu hitam.
Zetsu putih melanjutkan, "dan Deidara tak bisa jalan, kakinya terluka."
Zetsu hitam kembali melanjutkan laporannya karena melihat Pein maupun Konan sama sekali tak menimpalinya. "Hidan dan Sasori sedang pergi membawa mereka (Kakuzu dan Deidara)–"
"Para Anbu Ne lainnya sedang mengejar Sai dan gadis pirang itu yang melarikan diri," lanjut Zetsu putih.
"Sekarang, di aula utama, tempat Madara, tidak ada yang menjaganya–" kata Zetsu hitam
"–dan bisa dipastikan kedua penyusup itu sedang menuju ke sana dari arah yang berbeda–" kata Zetsu putih.
"–Apa perlu kami ke sana untuk menghalangi mereka?" tanya kedua Zetsu kembar.
"Tidak," jawab Pein tenang. "Kita tetap pada rencana awal."
Pein berbalik, jubah akatsukinya sedikit melambai menambahkan kesan leader pada dirinya (a/n:=='). Ia mengisyaratkan sesuatu pada Konan, sebelum berjalan keluar kamar melewati Zetsu hitam dan putih sambil berkata, "Cepat. Kita harus pergi dari tempat ini sebelum anbu Konoha dan Suna menyerang tempat ini. Lagipula, kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan."
Konan segera mengambil kedua tas besar hitam yang sudah ia kemas bersama Pein tadi, dan memberikannya pada Zetsu kembar untuk membawakannya. Ia lalu mengekor di belakang Pein diikuti Zetsu hitam dan putih.
"Tunggu!" mendadak Konan berhenti, menyadari sesuatu yang hampir dilupakan. "Di mana Kisame?"
Pein tetap berjalan, ia tersenyum misterius. "Biarkan saja dia..."
*#~DCDS~#*
Wanita tembus pandang yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang kecuali dengan orang tertentu, masih bertahan di samping ranjang pasien tersebut. Ia melayang diam, menatap lekat pria yang tak sadarkan diri itu.
Tangan transparannya perlahan terjulur, hendak menyentuh sisi wajah Neji, pria yang terbaring di sana.
'Hyuuga...'
Namun mendadak ia merasa disengat dari arah belakang. Badan transparannya tertarik ke belakang secara paksa, menjauhkan jangkauannya dari pria tersebut.
'Tidak!'
Tangannya mencoba lagi meraih tubuh Neji yang terbaring, namun dirinya malah semakin menjauh, jauh, ditarik ke belakang, hingga pandangannya pada Neji hanya berpusat pada satu titik kecil yang sangat jauh.
'NEJIII!'
Angin malam yang berhembus dari jendela menambah kesan tak mengenakkan. Komputer kecil yang memperlihatkan grafik hijau berjalan tanda detak jantung pasien, kini bergerak tak beraturan berbeda dengan sedetik lalu yang sangat lamban.
*#~DCDS~#*
Sisa cahaya putih terakhir yang datang dari luar kastil langsung tertarik, mengikuti kata mantra yang diucapkan Madara, dan masuk ke dalam tubuh Sakura.
Seketika jeritan Sakura berhenti, matanya yang sudah lelah melebar kini perlahan menutup, dan kepalanya tertunduk, ia tak sadarkan diri.
Hinata yang melihatnya semakin panik. Ia tak berhenti memanggil nama Sakura, namun si empunya nama sama sekali tak terbangun.
"Tenanglah..." kata Madara santai, ia berbalik menghadap tiang yang mengikat Hinata.
Tetapi kegiatannya langsung terganggu dengan bunyi pintu aula yang terbuka. Seseorang masuk dengan langkah yang menantang. Pria itu nyegir memperlihatkan deretan gigi taringnya.
Madara menatapnya sinis. "Apa maumu ke mari, Kisame?"
Kisame mengambil pedang besarnya dari punggungnya, mengarahkannya pada Madara. "Tentu saja ingin mengambil kembali patnerku." Seringainya makin lebar. "Mana mungkin aku pergi tanpa patner yang setengah mati aku dapatkan itu, bukan?"
*#~DCDS~#*
"Mau pergi ke mana?" tanya Shion heran sekaligus khawatir.
"Toilet."
"Jangan membohongiku!" gertak Shion, membuat Gaara menyerngit. "Mana mungkin seorang pria mau pergi ke toilet yang jaraknya hanya empat meter itu harus menggunakan jaket dan sepatu terlebih dahulu! Dan apa itu? Kau baru saja menarik paksa selang infusmu!"
Gaara menghela nafas. Seharusnya ia sadar kalau Shion tadi hanya pura-pura tidur di atas sofa. Gagal deh rencananya untuk kabur dari rumah sakit. "Shion, dengarkan aku. Aku baik-ba–"
"Kau yang seharusnya mendengarkan ku, Gaara-kun," potong Shion sambil meraih lengan Gaara. "Jangan berbuat nekat lagi Gaara-kun! Lihat baik-baik kondisimu."
"Tapi Shion, aku harus pergi sek–"
"Setidaknya kalau kau ingin pergi, ajak aku juga," kata Shion agak mengagetkan Gaara. "Dengan begitu. Aku masih bisa bernafas lega karena kau juga masih berada di sampingku," lanjut Shion sambil menunduk, agak malu dengan apa yang baru saja dia katakan.
Gaara terperangah sejenak, sebelum akhirnya ia tersenyum tipis. "Kau ini..." gumannya sambil mengusap puncak rambut Shion.
Shion cemberut seketika mendapatkan perlakuan Gaara. "Gaara-kun... aku serius!" kata Shion sambil menurunkan tangan Gaara dari kepalanya.
"Hn. Aku tahu." Gaara balas menatap mata Shion. Perlahan, sebelah tangannya menggenggam tangan kiri Shion. "Kalau begitu, kau jangan jauh-jauh dariku yah?"
Shion tersenyum, sambil mengangguk semangat ia berkata, "Tentu!"
*#~DCDS~#*
Tubuh Kisame terpelanting, menubruk lantai dan terseret lima meter ke belakang.
"Hn. Payah," ledek Madara.
Kisame mencoba berdiri, "Sial, kenapa harus kalah dua kali di depan Uchiha?" runtuknya kesal.
Sementara itu, Sasuke yang sudah menyusup di lubang ventilasi atas ruangan tersebut, bersembunyi sambil mengintip situasi yang terjadi di dalam aula di bawahnya. Ia bisa melihat tiga tiang menjulang di atas altar di mana masing-masing tiang terdapat orang-orang yang Sasuke kenal terikat di atasnya, Itachi, Sakura, dan Hinata.
Sakura... dia terlihat tak sadarkan diri. Apa dia baik-baik saja?
Rasa khawatir sekaligus lega karena masih bisa melihat Sakura-nya. Tetapi Sasuke berusaha untuk menahan emosinya terlebih dahulu, menunda keinginannya untuk segera melompat dan berlari untuk membebaskan Sakura dari tiang itu dan memeluknya penuh kasih sayang (Err.. apa tidak terlalu OOC?).
Dia tidak boleh bertindak gegabah kalau ingin Sakura kembali dengan selamat, Hinata juga. Dan Itachi? 'Lupakan saja!' batin Sasuke menjawab dengan pertigaan di peilipisnya. Sasuke harus menyingkirkan 'tersangka'nya dulu meski Sasuke sendiri belum tahu yang mana.
Sasuke mengkokang senjatanya. Seingatnya, tinggal dua peluru dalam magazine tersebut, artinya dia hanya memiliki dua kesempatan menembak. Di sana juga ada dua orang sedang bertarung, dan Sasuke sama sekali tak mengenali keduanya. Pria berambut biru yang membawa pedang besar itu terlihat lebih berbahaya daripada pria bertopeng yang berdiri dengan tenangnya. Mungkin sebaiknya Sasuke melumpuhkan pria yang membawa pedang itu dulu. Baru sisanya.
Sasuke mulai membidik, ini kesempatannya karena pria tersebut baru saja terjatuh di lantai. Pelatuknya siap dia tarik.
'BRAAK!'
Dan bunyi pintu yang didobrak itu membuyarkan fokus Sasuke.
"HINATAAA-CHAAN!" Naruto berseru di depan pintu.
Sasuke mengumpat dalam hati, "Baka, untuk apa dia datang dengan mencolok seperti itu?"
*#~DCDS~#*
"Mereka itu bodoh atau apa sih!" gertak Temari geram. Dan yang jadi korbannya hanya bisa menutup telinganya sambil menguap.
"Kau seperti tidak mengenal sifat mereka saja. Naruto, maupun Sasuke, kalau sudah bertekad mereka bisa nekat. Sama seperti adikmu," kata Shikamaru.
Temari berusaha meredakan amarahnya dengan menghela nafas. "Hah, apa boleh buat. Kalau gitu cepat kita menyusul mereka."
"Kami sudah siap!" sahut beberapa anbu maupun cadangan anbu yang berdiri di belakang Shikamaru.
Tanpa Temari sadari, Gaara dan Shion berada di antara pasukan tersebut.
*#~DCDS~#*
Dia berdiri tegak dan menantang. Tak peduli dengan bahu kanannya yang perih karena timah panas yang masih tertanam di dalamnya. Dengan nafas terengah-engah, Naruto menatap tajam Madara. Sementara Madara menolehkan kepalanya dengan gerakan santai. Melalui satu lubang topengnya, ia balas menatap remeh pada Naruto.
"Satu pengganggu lagi... atau ada dua..." ujar Madara sambil menolehkan kepalanya ke arah lain, di mana Sasuke baru saja lompat dari lubang ventilasi. Tanpa baju, dengan luka bakar di tangan kirinya, dan wajah yang sudah lusuh seperti Naruto.
"Ternyata kau juga sudah sampai di sini teme!" kata Naruto melihat Sasuke di seberangnya, dan Madara ada di tengah-tengah jarak mereka.
Sasuke mendengus. "Kau telat dobe, dan terlalu mencolok," sindir Sasuke.
"Hah! Si penakut yang hanya bisa mengendap-ngendap itu bukan tipeku," balas Naruto.
Sasuke hendak membalas, namun gerakan cepat yang tak terduga dari Madara menghentikan pertengkaran mulut mereka. Dengan kecepatan kilat atau apapun itu, Madara sudah berdiri di hadapan Sasuke, dengan tatapan membunuh dari satu matanya ia mengayunkan lengannya, yang mendadak berubah seperti kilatan pedang.
Dan tanpa bisa dicegah lagi, Sasuke terkena serangannya. Cipratan darah keluar dari dadanya. Ia lalu terpental sejauh tujuh meter ke belakang sampai punggungnya menubruk dinding keras di belakangnya. Dan luka garis merah diagonal terlihat jelas terbentuk di dada bidangnya.
"SASUKEEE!" seru Naruto, hendak berlari menghampiri Sasuke. Namun, lagi-lagi Madara sudah berpindah tempat dengan sangat cepat ke hadapan Naruto. Dan serangan kedua yang sama dilancarkan juga pada pemuda berambut pirang tersebut. Mengakibatkan Naruto juga ikut terpental ke belakang... mendapatkan efek kesakitan yang sama seperti Sasuke.
"MADARA!" gertak Itachi, kedua pergelangan tangannya yang masih terikat di tiang, mengepal kuat menahan amarah.
Sementara Hinata yang sejak tadi menangis, melebarkan matanya penuh ketakutan. "Ti...tidak... tidak mungkin..." rasa takutnya semakin besar ketika melihat Madara berjalan mendekati Naruto. "Ja..jangan... kumohon..." dia berguman lirih ditengah tangisnya. Menyesal tak bisa melakukan apapun, sementara dia hanya terikat di sini.
Madara berhenti di depan kaki Naruto yang terlentang di bawahnya. Sepertinya pemuda pirang itu tak sadarkan diri, sama seperti Sasuke.
"Kau memang sangat mirip dengan Natsumi, si bodoh yang sudah menghancurkan rencanaku dulu," kata Madara, ia merentangkan tangannya ke atas. "Kali ini tak kan ku biarkan kau menghancurkannya lagi."
"HENTIKAN!" Hinata menjerit, sempat mengagetkan Madara. Pria bertopeng itu menoleh ke arah Hinata di atas sana yang masih terikat di salah satu tiang.
"Bangun! Kumohon! N-Naruto-kun! Sadarlah!" gadis itu berseru lagi, rasanya ia ingin sekali menghampiri pemuda tersebut, sayangnya ikatan tali menyebalkan itu tak bisa dimusnahkan. Tak mendapat respon apapun dari Naruto yang tak sadarkan diri, Hinata menoleh ke arah Sasuke yang juga tak sadarkan diri.
"Sasuke! Kau juga bangunlah! Jangan diam saja di sana! Tolong Naruto-kun!"
Jelas saja Sasuke tidak bisa menjawab.
Panik dan sangat takut. Hinata kembali menoleh ke arah Sakura yang masih menundukkan kepalanya, dengan rambut merah muda panjang yang terurai menutupi wajahnya. "Saku-chan! J-jangan tidur terus! Kumohon! Lakukan sesuatu!"
Kilatan cahaya mendadak muncul dari ujung tangan Madara yang ia rentangkan ke atas. Membuat Hinata kembali tersentak dan melihat dengan horor pada Naruto yang masih berbaring tak sadarkan diri di ujung kaki Madara.
"TEMAN-TEMAAAAN...!"
.
.
.
.
"Hai chan," suara berat yang tak asing itu terdengar dalam pikiran Sakura, yang lambat laun mulai sadar.
"Jadi... apa maumu sekarang chan? Masih ingin mengurungku? Atau kau ingin diam saja? Chan?" lanjut suara itu.
Mengumpulkan kesadarannya, Sakura pun menguraikan permintaannya, "Bantu aku lagi, Kitsune..." gumannya lirih dalam hati, masih dengan kepala tertunduk.
"Apa imbalannya kali ini? Aku tidak ingin 'suara'mu lagi, karena aku sudah memilikinya chan?"
"Terserah kau mau apa. Yang penting, cepat!"
"Dasar! Sejak kapan kau berani memerintahku seperti itu. Tapi ya sudahlah, aku kasihan juga melihat kondisi temanmu yang menyedihkan."
.
.
.
.
Akhirnya Madara menghujamkan kilatan cahaya dari ujung tangannya ke arah Naruto yang masih terbaring tak sadarkan diri, namun sasarannya meleset, karena Kisame terlebih dahulu membawa lari tubuh pemuda pirang itu.
"Kau jangan lupa dengan keberadaanku Madara," ketus Kisame sambil membopong tubuh Naruto.
"Kau belum kapok juga rupanya," sindir Madara.
Kisame meletakkan tubuh Naruto di lantai, bersiap menyerang Madara lagi yang juga siap membalas serangan Kisame dengan kekuatan Madara yang masih belum pasti diketahui dengan jelas.
Namun, duel itu terpaksa berhenti dengan munculnya cahaya hijau dari tubuh Sakura... mengalihkan perhatian semua orang yang masih sadar dalam ruangan tersebut.
Pertama, cahaya hijau itu hanya kecil, lama kelamaan semakin membesar, menyinari sekeliling aula dengan aura hijau yang aneh... dan... menimbulkan efek yang berbeda bagi beberapa orang.
Hinata terkejut, ketika cahaya hijau itu melewati tubuhnya dalam sepersekian detik, membuat ingatannya mendadak terlempar jauh dalam beberapa tahun lalu. Memperlihatkan beberapa klise-klise kehidupan yang seperti nyata dan pernah terjadi padanya.
Naruto yang terbaring, mengerutkan keningnya saat ia juga dilewati cahaya hijau itu. Dan Sasuke mulai menggerakkan jarinya perlahan ketika ia juga merasakan hal yang sama...
…..
"Apa yang kau buat, Sayaka?"
"Mahkota bunga! Untukmu Kyosuke-kun."
"Mulai sekarang... aku sudah punya ADIK!"
"M-minna. Perkenalkan, n-amaku Hikari Hyuuga. . ."
...
"Hn?"
"Mau cari mati apa? Kau akan mendapatkan hukuman karena telah lancang mencuri ciuman pertama seorang puteri!"
"Oh ya? Kurasa hukumanmu tidak akan berlaku bagi Pangeran Uchiha. Ingat! Kekuasaan kerajaanku lebih besar darimu."
"Dasar.."
..
"Niisan,"
"Berhenti Memanggilku Seperti Itu! Berapa kali harus kukatakan padamu! Kita TIDAK memiliki HUBUNGAN DARAH!"
"TAPI KAU TETAP SAJA KAKAKKU!"
...
"Err. . . Hikari-chan, a-apa perlu kau terus memelukku?"
"U-untuk memastikan, a-agar kau tak pergi meninggalkanku."
...
"Kalau kau tidak menerima lamaranku, Hikari-chan dalam keadaan bahaya,"
"Kau egois dobe."
"Kau juga egois! Dalam otakmu, hanya memikirkan dirimu sendiri! Apa pedulimu dengan sahabatmu sendiri?"
"Persetan dengan sahabat!"
"Yah, katakan saja Sayaka. Siapa pilihanmu di antara kami berdua?"
"Jangan Sentuh Aku! Tidak ada! Aku tidak akan memilih siapa pun di antara kalian!"
...
"TEME! Sekali lagi kutanyakan padamu! Mana HIKARI?"
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, dobe! Dimana kau sembunyikan SAYAKA, saat aku pergi!"
...
"Kenapa dari tadi kau tak mau bicara? Ada apa denganmu? Katakan sesuatu padaku Sayaka."
'A-I-Shi-Te-Ru Kyo-Su-Ke-Kun'
...
"Be..bertahanlah Hikari-chan. Aku akan membawamu ke istana."
"T-t-tidak perlu."
"Berhentilah bicara! Darahmu semakin banyak! Cukup Hika–"
"Aishiteru Niisan,"
...
"Aku bahkan belum sempat membalas ucapanmu."
*#~DCDS~#*
Tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Sakura, terputus bersamaan. Angin yang entah datang dari mana, menerpa tubuhnya, membuat beberapa helai rambut panjangnya melambai. Sakura melayang sesasat, masih dengan mata tertutup dan merentangkan kedua tangannya ke samping, perlahan kakinya menginjak permukaan altar.
Madara tertawa. "Akhirnya kau kembali juga. Padahal aku belum sempat menyiapkan teman-temanmu (Itachi dan Hinata)." Madara berbalik menghadap Sakura. "Tapi tak apa. Lebih cepat kau sadar, lebih cepat juga pekerjaanku selesai."
Madara mengacungkan kedua tangannya ke arah Sakura. Lalu dari kedua ujung tangannya lagi-lagi muncul kilatan cahaya putih menuju tubuh Sakura.
Gadis yang masih menutup matanya itu tersentak saat merasakan kilatan cahaya itu masuk ke dalam tubuhnya.
Madara yang awalnya tersenyum senang melihat reaksi Sakura, berangsur mengerut. Karena ia sendiri tak merasakan apapun. Seharusnya sekarang Madara bisa merasakan kekuatan baru yang masuk ke dalam tubuhnya, tapi kenapa kini ia tak merasakan apapun, malah terkesan ia sendiri yang terus mengeluarkan kekuatannya.
Sakura dalam diam, menyeringai. Seperti bukan dirinya saja saat menyeringai seram seperti itu. Perlahan ia membuka mata, memperlihatkan mata merah yang bersinar ganjil, bukan emerald.
"Kau salah orang, Madara." dan suara berat laki-laki itu jelas bukan suara asli Sakura, meski bibirnya lah yang bergerak "Kau memang licik, bermaksud mengambil kekuatan Yookai air agar memperkuat kekuatan Yookai kilat yang kau miliki. Hahahaha... sayangnya, gadis ini tidak memilikinya. Melainkan kekuatan Yookai dariku," suara itu masih terdengar berat.
Sakura merentangkan kedua tangannya ke samping, ke arah dua tiang kayu di mana Itachi dan Hinata terikat. Dengan sekali ayunan dua tangannya secara bersamaan, dua gundukan tanah keras muncul dari bawah altar, menembus permukaan altar dan menerobos kayu, menghancurkannya, sekaligus memotong tali yang mengikat sandra di atas. "Unsur tanah...yaitu harta bumi ini yang bisa meredakan kilatmu..." guman Sakura dengan suara berat dan seringai lebar di bibirnya.
(a/n: di sini saya ngebuat unsur tanah itu bisa meredakan kilat, maaf kalo gak sama dengan anime aslinya)
Itachi yang terbebas, lompat dan bersalto ke bawah. Sementara Hinata yang terjatuh dari ketinggian lima meter itu, langsung mendarat tubuhnya pada gumpalan air yang mendadak muncul dari udara. "Ah, hampir saja," gumannya, seolah air yang baru saja dimunculkannya (dan membuat Madara terkejut) adalah hal biasa baginya.
Madara menghentikan serangannya pada Sakura yang sama sekali tidak terpengaruh. Dia balas menyeringai. Tak ingin rencananya gagal lagi. "Hah. Lalu kenapa? Aku masih bisa mengambil kekuatan Yookai air. Karena dia juga ada di sini." Madara melirik Hinata dengan minat.
"Tak kan kubiarkan," suara Naruto muncul di belakang Madara. Dia baru saja bangkit. Sambil meregangkan tubuhnya ia berkata, "Ah. Sudah berapa lama aku tidak merasakan hal ini lagi?"
"Sudah lama... lama sekali..." guman Sasuke yang juga ikut bangkit. "Dan sudah lama pula aku ingin membalas semuanya," ujarnya sinis. Sasuke berdiri tegak, dengan sekali hentakan tangannya, seluruh sisi tubuhnya mengeluarkan api membara yang ajaibnya sama sekali tak menyakiti kulitnya.
Raut wajah Naruto tampak serius seperti Sasuke. "Yah. Kali ini aku juga tak kan biarkan berakhir seperti dulu." Dan tubuh Naruto pun terselubung pusaran angin. Ia memasang kuda-kuda siap menyerang.
(Fantasi full on... ==')
*#~DCDS~#*
Ledakan keras itu terdengar bersamaan dengan getaran bumi dan beberapa cahaya yang membumbung tinggi ke atas langit, memecah kesunyian malam di tengah hutan oto. Para pasukan anbu dan cadangan anbu yang sedang dalam perjalanan, sejenak tercengang dengan ledakan itu, lalu mereka kembali mempercepat lari mereka.
Sementara di tempat sumber ledakan itu. Ketiga cahaya yang tadi berbenturan, yakni merah (api), abu-abu (angin), dan putih (kilat), perlahan mulai meredup. Keadaan aula kastil yang tadi berdiri tegak. Kini terlihat sangat berantakan, atap aula yang sudah jebol menambah keretakan pada bangunan tua tersebut. Kepulan asap dan debu menyelimuti sumber ledakan itu.
Perlahan, asap yang menghalangi pandangan tersebut mulai menghilang. Menampakkan dua sosok pemuda yang terengah-engah, penampilan yang sangat kusut dengan tubuh babak belur. Sakura dan Hinata yang sejak tadi menepi, agar tak mendapatkan serangan nyasar yang tadi meneganggakan, kini beranjak mendekati kedua pemuda itu.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Hinata khawatir, berjalan mendekati Naruto sementara Sakura ke Sasuke.
Naruto sedikit membungkung, kedua bahunya naik turun selaras dengan nafasnya yang masih tersegal-segal, ia mendongak untuk melihat Hinata di hadapannya. "Hinata..." suaranya terdengar parau, sambil berusaha nyengir seperti biasa, meski yang tampak malah senyum melelahkan.
"Kau terlihat sangat lelah, Naruto-kun..." ujar Hinata, sambil mengulurkan kedua tangannya. Ia segera menahan kedua bahu Naruto ketika pemuda itu hampir saja terjatuh, "N-naruto-kun!" pekiknya terkejut.
"Hehe...hehe..." Naruto tertawa parau di sela nafasnya yang terengah-engah. Pandangannya mulai buram, dan dia menyempatkan dirinya untuk menyandarkan kepalanya pada bahu Hinata. Sambil nyengir bahagia ia berujar, "syukurlah kau selamat... Hinata-chan..."
Hinata tersenyum, dengan rona merah yang menjalar di pipinya, tentunya. "Arigatou... Naruto-kun..."
"Sasuke-kun!" Sakura agak takut ketika ia menghampiri Sasuke yang juga sama lelahnya dengan Naruto. Pemuda itu menunduk, membiarkan bayangan rambutnya menutupi matanya, sehingga sulit menerka ekspresi wajah pemuda yang dikenal dingin itu. Kedua bahunya juga naik turun karena kelelahan.
"H-hei... kau masih bisa bertahan kan?" Sakura makin takut saat melihat Sasuke tak ada reaksi apapun dengannya. Sakura makin mendekatkan dirinya, memegang bahu Sasuke perlahan. "Sasuke-kun," panggilnya lagi, namun yang terdengar hanya nafas berat Sasuke yang tersenggal-senggal. "Jangan membuatku khawat–ah!"
Sakura agak tersentak dengan tindakan tiiba-tiba yang dilakukan Sasuke padanya. Memeluknya, mendekapnya langsung dalam pelukannya. Tak elak rona merah langsung menjalar di wajah Sakura.
"Untunglah Sakura..." bisik Sasuke. "Aku masih bisa memelukmu..."
Wajah Sakura tak bisa lebih merah lagi. Ia membalas pelukan Sasuke sambil berguman antara kesal, malu, dan senang, "dasar..." dengan senyuman bahagia juga turut terpampang di wajahnya.

0 komentar:

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut