DILEMA CINTA DIANTARA SAHABAT PART 32

Senin, 24 Desember 2012
Dilema Cinta Diantara Sahabat
By Sayaka Dini
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: NaruHina, SasuSaku, and slight SaiIno
Warning: AU, OOC,GaJe! OC, and little Fantasy!

 END PART 1

 Chapter 32
*#~DCDS~#*


"Siapa kau? Dan apa maumu?" tanya Sakura
Yang ditanya hanya menyeringai di balik topengnya. Jeda sejenak dilalui dalam ruangan remang itu, sangat tidak mengenakkan bagi Sakura dan Hinata. entah dengan Itachi sendiri yang kini menampakan wajah datarnya.
"Jika kau punya ingatan cukup kuat, kau pasti mengenalku yang cukup dekat dengan pangeran Kyosuke," tutur pria bertopeng pusaran yang berdiri di bawahnya, ya, di bawah Sakura yang sedang terikat di tiang kayu lima meter di atas altar.
Kening Sakura berkerut, terkejut sekaligus heran.
Pria di bawahnya itu bertutur lagi tanpa memberi kesempatan Sakura untuk bertanya, "Tak perlu heran begitu, aku tahu semuanya, dan aku juga sudah mengembalikan ingatanmu sebelum kau sadar. Itu harus aku lakukan agar ritualku berjalan lancar nantinya."
"A…apa? Aku masih tidak mengerti dengan ucapanmu. Siapa kau? Yang tahu-tahu datang di hadapanku dan memanggilku 'Puteri'? Lalu, pangeran Kyosuke siapa? Dan apa maksudmu berkata 'sudah mengembalikan ingatanmu'?" cecar Sakura dengan bertubi pernyataan, keningnya bergedut, kesal karena merasa dirinya sedang dipermainkan.
Pria bertopeng itu menggeleng-geleng sambil berdecak kecewa, "Ckckck…. Puteri Haruno, seharusnya kau berpikir apa yang kau mimpikan barusan bukanlah sebuah mimpi belaka."
Sakura tercengang. Pikirannya kembali mengingat beberapa klise film yang tadi datang dalam mimpinya, Kerajaan, tiga sahabatnya, dua lamaran, pertempuran, dan…. yookai? Rasanya seperti nyata, tapi secara bersamaan terlihat mustahil untuk dicerna otak.
"Jadi, bagaimana puteri Haruno? Masih mengingatnya bukan?" tanya pria bertopeng lingkaran pusaran itu lagi.
Sakura diam sejenak, sebelum dia kembali bertanya dengan pertanyaan awalnya tadi tanpa menjawab pertanyaan pria itu. "Siapa kau? Dan apa maumu?"
Pria itu malah terkekeh, seolah mengejek pertanyaan yang dilontarkan Sakura untuk kedua kalinya.
Sakura berdecak kesal, "Hei! Jangan mempermainkan aku! Kau pikir ini lucu apa? Membiarkan aku terikat seperti ini, dan kenapa Hinata dan Itachi-san juga ada di sini? Reality show gila macam apa yang kalian mainkan, hah?" seru Sakura, kemarahannya memuncak.
Butuh sepersekian detik dulu untuk menghentikan tawa pria itu –yang terdengar menyeramkan bagi Hinata.
"Baiklah, terserah kau menyebutnya ini permainan atau apa. Tapi karena sebentar lagi kita –erm– maksudku aku (lebih tepatnya) akan mencapai puncaknya. Kurasa tidak ada salahnya kalau aku menjawab pertanyaanmu," pria itu mengibaskan tangannya dengan enteng.
"Dari tadi kek," guman Sakura masih kesal. Sementara Hinata dan Itachi sama sekali tak menyahuti perbincangan mereka.
"Perkenalkan, namaku Madara Uchiha, kakak Satomi Uchiha, sekaligus paman dari Kyosuke Uchiha. Dan menjabat sebagai penasehat Raja Uchiha pada tahun 1170 silam. Apakah perkenalanku belum cukup? Hm, puteri?" tanya pria yang mengaku bernama Madara itu dengan nada menyindir.
Sakura terbelalak terkejut. Hinata yang mendengarnya juga ikut terkejut. Sementara Itachi mendengus sambil berguman kecil, "Sudah kuduga."
"Kau gila yah!" semprot Sakura. "Mana ada orang bisa hidup selama itu–"
"Siapa bilang aku hidup selama itu," sela Madara cepat, dan mendapat reaksi heran dari tampang Sakura. "Aku tidak bisa bertahan hidup selama itu, karenanya aku memilih untuk tidur. Tidur dalam waktu yang cukup panjang, hingga kalian kembali lagi dan menunggu dibangunkan oleh keturunan pengikut setiaku."
"Aku tidak mengerti ucapanmu," Sakura menggeleng.
"Kalau begitu diam saja dan dengarkan ceritaku. Ya… sebagai dongeng dariku sebelum kau 'pergi', puteri," Madara menyeringai dari balik topengnya.
.
.
.
"Ini semua terjadi bukan karena alasan kebetulan atau takdir. Tapi semuanya terjadi karena peranku dalam kehidupan sekitarku dengan sebuah rencana hebat yang telah kususun dengan apik," Madara memulai ceritanya dengan filosofinya sendiri, seringai licik terus tersembunyi di balik topengnya.
"Bermula dari ketidak puasanku pada tahta kerajaan yang jatuh ke tangan Satomi –adikku sendiri. Hanya karena alasan aku tak memiliki keturunan membuat aku muak mendengarnya. Dilangkahi oleh adikku sendiri tepat di depan hidungku! Hah! Aku tak bisa terima harga diriku tercoreng begitu saja. Meski dia memberiku jabatan sebagai penasehatnya, tetap saja aku nomor dua di bawahnya. Memalukan..
"Aku marah, benci, dan ingin sekali menghancurkan kerajaan Uchiha saat dia menjabat jadi Raja, membuat dia malu atas tak keberdayaannya dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, aku mulai menyusun rencana.
"Rencana awalku hanya ingin membuat pertikaian antar kerajaan Uchiha dengan sekutunya sendiri, kerajaan Hyuuga. Aku menghasut Satomi untuk menguasai Konoha seluruhnya dan menyingkirkan Hyuuga, secara bersamaan, aku juga diam-diam melaporkan keinginannya pada raja Hyuuga. Ya… bisa dibilang aku mengadu domba mereka," tutur Madara dengan nada enteng, seolah tindakannya yang lalu itu adalah permainan anak kecil yang menyenangkan.
Sakura menelan ludah, tak ingin manyahut maupun menyelanya. Sakura mulai sadar, pria bertopeng itu berbahaya.
"Tapi, itu semua belum cukup bagiku. Karena aku tidak mendapatkan apa-apa jika kedua kerajaan itu betul-betul hancur. Makanya, aku menyusun rencana yang lebih hebat lagi…" nada suara Madara makin terdengar lirih.. dan licik.
"Aku menemukan sesuatu di perpustakaan Uchiha, sebuah buku yang secara tak langsung mendukung rencana hebat yang kususun. Buku 'Legend of Kunitsugami', menceritakan tentang adanya yookai yang legendaris. Aku kagum, dan sangat berminat pada kekuatan yang dijabarkan dalam buku itu. Karena itu, aku mulai mencari keberadaan yookai.
"Tapi ternyata, aku malah bertemu dengan sesosok yookai lain, bukan termasuk dalam tiga yookai dalam legenda. Dari sanalah aku tahu, yookai di alam ini lebih dari tiga, dan aku ingin memiliki semua kekuatannya. Ah, tidak semuanya juga sih, minimal aku ingin memiliki lebih dari dua kekuatan yookai, agar aku bisa menguasai apapun yang kuinginkan," Madara terkekeh senang.
"Itu mustahil," Sakura akhirnya angkat bicara. "Yookai tidak mau memberikan kekuatannya padamu, kalau kau sudah memiliki kekuatan yookai yang lain. Jadi kau tak mungkin berguru pada yookai lebih dari satu."
Madara menyeringai. "Benar ku bilang kan, puteri Haruno? Kau mengingat semuanya, bahkan kau baru saja menyangkal ucapanku yang sama sekali tak dimengerti dua temanmu itu," tunjuk Madara pada Hinata dan Itachi bergantian.
Sakura tersentak, dia sendiri baru menyadari hal itu. Kenapa mimpinya barusan mendadak melekat begitu dalam di memorinya. Apa benar mimpi itu pernah terjadi?
"Aku tahu tentang syarat berguru pada yookai itu," ujar Madara lagi, mengacuhkan raut wajah tak mengerti dari Hinata dan Itachi yang sejak tadi membisu.
"Tapi, tak berpikirkah kau? Mendapatkan sebuah kekuatan yookai bukan dari yookai itu secara langsung…" jeda dilakukan Madara, untuk penekanan pada kalimat selanjutnya, "Misalnya, merebut kekuatan yookai dari orang yang sebelumnya sudah berguru pada yookai."
Sakura menelan ludah, dia tak ingin menyela lagi, membiarkan Madara melanjutkan ucapannya.
"Karena itulah, aku memanfaatkan tiga anak muda yang labil, yang saat itu terlibat dengan emosi kekanakan mereka, Cinta. Hah, lucu sekali mengingat pertengkaran mereka," sindir Madara sambil terkekeh sejenak.
Tanpa sadar, Sakura menahan nafas, mulai sadar kemana arah pembicaraan Madara.
"Tanpa ketiga anak muda itu sadari, aku sudah membimbing mereka untuk mencari yookai dan berguru padanya. Masing–masing satu yookai legenda untuk ketiganya, pangeran Uchiha ke yookai Tsuchinoko, pangerang Hyuuga ke yookai Tengu, dan kau, puteri Haruno ke yookai Kappa. Tak sadarkah kau kalau itu semua terjadi bukan karena kebetulan?" ucap Madara dengan nada mengejek.
Mata emerald Sakura melebar, dengan pupilnya mengecil. Ia menggeram marah. "Jadi ini semua gara-gara Kau! Sialan Kau!" Sakura menjerit murka.
"S-saku-chan? A-ada apa denganmu?" Hinata bersuara, menatap Sakura dengan raut tak mengerti, karena Hinata sendiri belum mengetahui apa-apa tentang pembicaran yang menyebutkan 'yookai' –entah itu apa?
Sakura menoleh, dia sama terkejutnya menatap Hinata. Sekilas, mata lavender yang Sakura tatap itu, berkilat dan berubah warna menjadi biru. Sakura mengerjap bingung, sebelum akhirnya mata Hinata terlihat kembali berwarna lavender. "Hikari?" lirih Sakura.
"E-eh?" Hinata semakin bingung.
Madara kembali berucap tanpa mempedulikan kemarahan Sakura barusan. "Tapi dasarnya memang hanya rencana, tidak selamanya berjalan sempurna," Madara menghela nafas kecewa yang terdengar disengaja.
"Saat kupikir semuanya sudah berhasil, mendadak ledakan terakhir itu terjadi. Aku segera lari mendekati kobaran api. Dan yang kudapati seonggokan jasad yang nyaris terbakar habis. Bodoh sekali tindakan terakhir kedua pangeran tersebut yang sengaja membakar jasad mereka sendiri dalam pertempuran terakhir.
"Aku marah, sebab aku gagal, yah, gagal karena aku tak bisa mengambil kekuatan yookai dari jenazah tanpa nyawa. Aku segera menyusun rencana B dengan dadakan. Melaksanakan sebuah ritual yang pernah kubaca di buku terlarang. Kubiarkan jenazah kalian semua terbakar, sambil merapalkan mantra yang ku hafal. Aku membuat arwah kalian yang membawa kekuatan yookai itu, tak mengijakan kaki di jembatan penyebarangan 'kembali pulang'. Melainkan memutar arah ke antrian di atas jembatan 'memulai kehidupan'.
"Lalu, abu kalian ku simpan di guci. Dengan caraku ini, aku membuat kalian berenkarnasi lagi. Dan aku harus menunggu dengan waktu yang lama untuk hal itu. Aku tahu, aku tak bisa hidup selama itu, makanya, kuputuskan untuk 'tidur lama' atau lebih tepat dikatakan mati suri dengan disengaja…." desis Madara di akhir kalimatnya. Ia berhenti sejenak, untuk menikmati raut wajah Sakura yang terkejut bukan main. Lalu ia kembali melanjutkannya.
"Tapi sebelum aku melakukan ritual 'tidur lama' pada jiwaku sendiri. Aku buat persiapan untuk menghadapi rencanaku yang sempat tertunda. Aku pergi menemui Satomi yang sudah turun tahta karena kerajaan sudah tak ada lagi. Aku membujuknya untuk membuat keturunan lagi, bagaimana pun caranya, begitu pula dengan bekas raja Hyuuga dan Haruno, aku juga membujuk mereka. Dengan begitu, tiga keturunan kerajaan itu tidak akan putus. Dan aku tak perlu lelah mencari reinkarnasi mereka yang pastinya akan kembali pada marga mereka yang dulu.
"Setelahnya, aku mencari pengikut setiaku. Seorang bekas jendral, bawahanku dulu. Aku meiming-imingkannya tentang kekuatan besar yang aku bagi dua dengannya dan memberikan warisanku yang cukup banyak padanya. Dengan syarat, dia harus menjaga tubuhku dalam masa 'tidur lama'. Dan membangunkanku kelak, ketika guci yang berisi abu kalian –sudah kumantrai– bergoyang sendiri dan menyala, yang bertanda bahwa kalian kembali ke dunia ini. Dia menyanggupi syarat itu, mendapatkan semua hartaku, dan dia berjanji, bersumpah melakukan syarat itu sampai turun menurun dari darah keturunannya.
"Hahaha…. Siapa sangka saat aku sudah dibangunkan kembali. Keturunan dari pengikut itu malah menyiapkan bekal yang besar dalam rencanaku selanjutnya. Menyewa organisasi gelap terkenal 'Akatsuki', dan mendirikan Anbu 'Ne' secara rahasia. Hahaha… itu semua sangat membantuku, Danzo…"
.
*#~DCDS~#*
.
Di dalam ruangan yang lain, masih di kawasan dalam kastil di tengah hutan Oto. Nyaris sama dengan ruangan lainnya, tekstur dan tata benda dan semacamnya masih terlihat arsitekturnya bergaya tempo dulu. Bedanya tempat satu ini bersih dari debu karena sering digunakan.
Di hadapan pintu masuk, sekitar sepuluh meter, terdapat meja besar bertaplak kain cream. Di atasnya berbagai benda antic berjejer dan setumpuk map. Penghuni yang duduk di kursi empuk di balik meja tersebut, sama sekali tak niat untuk menyentuh benda apa saja di atas meja. Tangannya memegang cerutu yang sesekali dihisapnya, menghadap ke jendela besar bertirai golden dan membelakangi mejanya. Melihat bulan purnama yang terlihat semakin meninggi.
"Danzo-sama," panggil pemuda yang baru saja masuk ke dalam ruangan tersebut, seraya menyeret gadis berambut kuning dalam dekapannya.
Danzo, pria yang duduk di kursi seberang meja. Hanya melirik sekilas melalui ekor matanya, tanpa mengubah posisinya untuk terus membelakangi pintu sekaligus membelakangi pemuda berambut hitam itu.
"Ada apa kau menemuiku, Sai?" tanya Danzo dengan nada datar.
Sai, pemuda tersebut, membungkuk sekilas. "Maaf kalau saya lancang Danzo-sama. Saya ingin memberitahukan kalau tugas saya sudah selesai."
"Yah, aku tahu itu. Aku salut padamu Sai, kau menjalankan tugasmu dengan baik. Keturunan Hyuuga itu sudah ada di tangan Madara, itu berkatmu." Danzo masih duduk membelakanginya. Hening sesaat diambil Danzo untuk menghirup cerutunya. "Lantas? Kepentingan apa yang membuat kau datang kemari? Meminta tugas baru?"
"Saya belum sepenuhnya menuntaskan sisa tugas saya, Danzo-sama," ujar Sai terdengar sopan, namun membuat kening Danzo berkerut.
"Apa maksudmu Sai?" tanya Danzo, meski dia sedikit penasaran, tapi dia masih duduk tenang membelakangi salah satu anak buahnya itu.
"Gadis ini," ucap Sai, tanpa menunjuk atau pun melirik dan mengedikkan kepalanya, sudah di ketahui pasti yang dimaksud adalah satu-satunya gadis yang ada dalam ruangan itu. Ino, dengan tangan terikat di belakang oleh tali tambang yang disimpul mati. Kedua kakinya di borgol di atas mata kaki, membuatnya hanya bisa melangkah beberapa inci, alias tak bisa jalan. Mulutnya di lakban, tak memperbolehkannya untuk mengoceh.
Sai yang membawanya kemari. Masih mendekapnya agar tak kabur, atau ada alasan lain, hanya dia yang tahu. Tangan kanannya melingkar di pinggang Ino dari belakang. Sementara tangan satunya lagi mengacungkan pisau lipat di leher jenjang Ino agar tak banyak bergerak.
"Ohh," Danzo berguman mengerti. "Dia sudah tidak digunakan lagi 'kan? Bunuh saja," perintah Danzo ringan.
Mata Ino yang sedikit sembab, membulat tak percaya.
"Tapi Danzo-sama. Sebelumnya saya sudah membuat janji dengan Hyuuga, kalau dia menyerahkan diri, maka saya akan membebaskan gadis ini," tandas Sai. Ino lega mendengarnya, sedikit merasa senang, tapi sedikit pula dia merasa kecewa, semenjak tadi Sai hanya menyebut 'gadis ini' tanpa menyebut namanya.
Danzo terkekeh pelan, bahunya bergetar. Pernyataan Sai terdengar geli di telinganya. "Sai-Sai, apa kau lupa? Aku sudah mengajarkanmu untuk lebih mengutamakan kepentingan kita dari apa pun. Kau tak perlu memikirkan janji bodoh itu. Yang penting bagi kita adalah menghapus jejak kita pada pihak luar. Bunuh saja serangga itu."
"Tapi–"
"Kalau kau tak mau mengotori tanganmu untuk membunuhnya, kurung saja dia di ruang bawah tanah sampai membusuk dengan sendirinya," sela Danzo, nadanya agak meninggi menahan amarah. Ini kali pertama ada anak buahnya yang mengelak darinya.
Ino mulai menangis dalam diam, karena mulutnya tertutup rapat oleh lakban. Dia menggeleng, mencoba memohon agar Sai tidak menuruti perintah orang gila di hadapannya itu.
Sai terdengar menghela nafas pelan. "Maaf Danzo-sama. Saya tak bisa melakukan keduanya."
"KAU MAU MEMBANTAHKU HAH?" suara Danzo bergelegar murka, menggema di dalam ruangan tersebut. Meski pria itu masih duduk membelakangi mereka, tapi sudah terlihat jelas kalau dia sedang marah besar.
Ino berjengit ketakutan, dia mungkin saja jatuh kebelakang kalau tak ada Sai yang dari tadi mendekapnya. Gadis pirang itu bisa merasakan tangan Sai sekilas bergetar, namun dengan cepat kembali seperti semula. Pemuda itu juga sama takutnya.
Hening, yang diliputi oleh suasana mencekam dalam atmosfer ruangan tersebut.
"Gadis ini…" Sai memulai memecahkan keheningan.
"Hm?" Danzo berguman, control emosinya kembali seperti semula, untuk beberapa detik saja. Sebab kalimat selanjutnya yang diucapkan Sai malah membuat kemarahannya semakin memuncak.
"….Aku tidak bisa membunuhnya. Ino adalah sahabatku…"
Sesuatu yang hangat menjalar di hati Ino. Meski dia tak bisa melihat wajah Sai, tapi dari nada suaranya yang begitu dekat dengan telinganya, terdengar sangat tulus.
"Beraninya KAU!" Danzo berdiri, membalik badannya dan mengacungkan pistol tepat ke arah Sai dan Ino. Lalu detik berikutnya dia menembakkan empat peluru secara berurutan.
Timah panas itu membekas di pintu ruangan, tanpa melukai siapa pun. Karena Sai sudah menunduk duluan dan menarik Ino juga untuk menghindar.
Danzo semakin murka, dia hendak menembak lagi. Namun pisau lipat yang diayunkan Sai lebih cepat, mengenai sisi tangan Danzo dan menjatuhkan pistol itu. Yah, gerakan anak muda memang lebih cepat dari orang tua.
Danzo meringis kesakitan, menoleh ke tangannya, darah melucur dari bekas sambaran pisau di telapak tangannya. "SAI–" Danzo tak melanjutkan ucapannya, karena setelah dia kembali melihat tempat Sai tadi berada. Sudah tak ada siapa-siapa. Sai dan Ino sudah melarikan diri.
"PENGKHIANAT!"
Suara geram amarah Danzo menggelegar, memanggil anak buahnya yang lain. Dia segera memerintahkan untuk cepat memburu dua anak muda tadi.
.
*#~DCDS~#*
.
"Sudah cukup basa-basinya," Madara mengayunkan tangannya, seolah dia baru saja membicarakan hal yang ringan. Berbanding terbalik dengan Sakura dan Hinata yang menatapnya horror, juga tatapan membunuh dari Itachi.
"Ah, sebaiknya kita mulai ritualnya saja yah. Aku tidak sabar melakukannya, kalian juga pasti sama," Madara masih berkata dengan nada ringan. Dia berbalik, menjetikkan jarinya sambil berseru, "Nyalakan anak-anak."
Satu persatu penerangan mulai tampak. Lampu berpijar lonjong mengeluarkan cahaya putih, menyala di setiap sudut untuk menerangi ruangan tersebut. Yang ternyata adalah sebuah aula besar berbentuk lingkaran. Altar tempat Sakura, Hinata, dan Itachi, terletak di tengah-tengah aula, dengan setiap pinggiran altar ada undakan pemisah antar tingginya altar dengan lantai bermarmer di aula tersebut.
Tapi bukan karena besarnya aula tersebut, atau megahnya arsitektur ukiran di setiap dinding aula yang membuat Sakura melotot tak percaya dan Hinata yang nyaris memekik ketakutan.
Melainkan, dengan adanya beberapa anak perempuan yang terlihat sepantaran Sakura. Berjejer rapi mengitari pinggiran altar. Gadis-gadis itu jelas bukan dalam keadaan baik-baik saja. Semua penampilan mereka sama. Menggunakan gaun putih panjang yang sedikit lusuh. Kedua pergelangan tangan mereka diikat di kedua tiang di sisi tubuh mereka masing-masing. Semua memiliki rambut panjang terurai namun tak terawatt, membingkai masing-masing wajah pucat mereka. Mereka duduk bersimpuh, tak berdaya, tak bergerak atau pun membuka matanya. Entah mereka pingsan, tak sadarkan diri, atau lebih buruk dari itu….
Jika dihitung jumlahnya, mereka ada tiga belas gadis. Dan salah satu dari mereka, Hinata masih bisa mengenalinya, Tenten….
"Kau apakan mereka!" seru Sakura panic.
Madara menoleh, menengadah untuk melihat Sakura yang masih menjulang di atas tiang. "Tenang saja, mereka belum mati sepenuhnya kok. Yah, tinggal beberapa menit lagi sih!" ujarnya santai.
"Kau Gila! Memangnya ritual macam apa yang ingin kau lakukan?" tanya Sakura geram.
"Ah, baiklah. Mumpung hatiku sekarang terasa bahagia. Aku akan menjawabnya dengan senang hati," nada bicara Madara yang terdengar santai sejak tadi, semakin memuakkan di telinga Sakura, rasanya ia ingin mual melihat sikap pura-pura baik yang ditunjukkan pria bertopeng itu.
"Bukannya hal semacam ini sering terdengar dalam cerita. Bahwa setiap sesuatu yang ingin kita capai, harus melalui pengorbanan. Sama seperti ritual yang akan kita (aku lebih tepatnya) jalani saat ini. Mereka semua (Madara menunjuk gadis-gadis yang mengitari altar) adalah pengorbanan dalam ritual ini. Awal mereka semua datang kemari bukan karena tanpa alasan. Tapi karena mereka semua rela untuk dikorbankan," tutur Madara.
"Kau menghasutnya! Aku yakin kau menghasut mereka! Meiming-imingkan mereka sesuatu! Iya kan?" tuduh Sakura, masih dengan penuh emosi.
"Tidak juga." Madara menggeleng. "Bukan aku yang langsung bergerak untuk mencari dan mengajak mereka. Ini semua kerjaan anak buah Danzo."
"M-maaf," Hinata menyela untuk pertama kalinya, dengan sopan pula. "A-apa mereka semua adalah gadis-gadis yang hilang tiap tahunnya itu?" dia bertanya untuk meyakinkan dirinya sendiri, kalau salah satu diantara mereka benar-benar Tenten.
"Tepat sekali."
"Kau sungguh kejam!" tuding Hinata, nyaris menjerit, tak ada kata sopan lagi untuk pria macam itu.
Madara terkekeh.
"Tunggu!" Sakura menyela, "Kau bilang kau membutuhkan beberapa gadis untuk ritualmu ini. Itu artinya, tanda-tanda gadis yang menghilang tiap tahunnya itu bukan berarti kau sedang mencari reankarnasiku?"
Madara menggeleng, "Sebenarnya aku sudah tahu. Tinggal selidiki saja, siapa yang lahir di keluarga haruno bertepatan dengan saat guci abu kalian goyang dengan sendirinya. Ketika aku sudah dibangunkan. Aku langsung ingin merebutmu dalam keadaan hidup. Bersikap baik, suruhanku mendatangi keluarga Haruno untuk memintamu. Tapi, yah, seperti yang kuduga. Mereka menolak. Tak ada pilihan lain untuk bersikap kasar. Namun malangnya, suruhanku digagalkan oleh para anbu Konoha.
"Aku tahu kau belum mati saat pembantaian itu terjadi. Dan aku tahu, kau berada dalam perlindungan Yamanaka. Tapi aku tak ingin berbuat gegabah sekali lagi. Ku biarkan kau menikmati hidupmu dulu sampai beranjak remaja. Sementara aku menyiapkan 'semuanya' menjelang puncak rencanaku. Aku sengaja memerintahkan suruhanku untuk mengambil satu gadis tiap tahunnya, agar tak ada yang curiga dengan rencana besar yang kususun itu. Yah, aku mengecoh mereka semua.
"Sedangkan Danzo memanfaatkan dengan baik kastil ini dan mitos tentang hutan terlarang sebagai tempat persembunyian kami. Siapa pun yang mendekat ke kastil, kami tidak segan membunuh mereka untuk menghilangkan jejak. Ah, kecuali beberapa anak. Dua kali aku memberikan mereka kabur. Pertama, karena salah satu di antara rombongan itu ada anbu Ne sendiri yang sedang menyamar (Sai). Dan yang kedua kalinya, kau dan teman-temanmu itu. Sungguh mengejutkan kalian berhasil masuk ke kastil, nyaris aku membunuh kalian semua. Tapi karena sadar diantara kalian ada kau, si reankarnasi puteri haruno. Aku membiarkan kalian lolos," tutur Madara panjang lebar.
"Tidak!" pekik Hinata, memorinya kembali mengingat kejadian lalu, "Kiba-kun tidak berhasil l-lolos saat itu," mata Hinata berkaca-kaca.
"Kiba? Temanmu? Oh, kalau yang itu bukan urusanku," ujar Madara santai. "Yang penting puteri Haruno selamat. Dan sekarang dia ada di sini sebagai menu utama ritualku," Madara lalu tertawa.
Hening sejenak.
"Kalau memang aku yang kau butuhkan," sahut Sakura lirih. "Untuk apa kau melibatkan Hinata dan Itachi-nii?"
Madara berhenti tertawa, "Biar kujelaskan lagi padamu. Syarat dalam ritualku ini, atau upacara pemindahan kekuatan yookaimu padaku. Pertama, pengorbanan tiga belas gadis yang rela dikorbankan. Kedua, pengorbanan seseorang yang memiliki darah keturunan orang yang sangat dekat denganmu di masa lalu, dalam hal ini keturunan Uchiha dan Hyuuga.
"Gadis itu (Madara menunjuk Hinata), merelakan dirinya padaku demi kebebasan gadis Yamanaka (Ino). Sedangkan Itachi, hah, sebenarnya aku tak setuju. Niatku itu inginnya Sasuke yang mengorbankan dirinya dengan meimingkan-imingkan janji membebaskan kekasihnya (tentu saja bohong). Tapi ternyata Itachi bersikeras rela untuk menggantikan adiknya sendiri….."
.

0 komentar:

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut