Dilema Cinta Diantara Sahabat
By Sayaka Dini-chan
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: NaruHina, SasuSaku, GaaraShion, & SaiInoItaTenNeji
Warning: AU, OOC, GAJE!
Notification: "blablabla"= Speaking (percakapan langsung)
'blablabla'=Inner (ucapan dalam hati)
BERNOSTALGIA
Chapter 24
*#~DCDS~#*
Saat pertama kali terbangun, dan melihat sekeliling. Gadis itu sadar akan satu hal. Dia tidak sedang ada di kamarnya. Ruangan yang didominasi warna hitam putih itu, jelas bukan kamarnya tapi sangat familiar bagi Ino. Karena ini adalah kamar sahabatnya. Sai.
'Ah. Sampai lupa kalau semalam aku ketiduran di apartemen Sai.' Ino menepuk kepalanya sendiri. Dia baru sadar, bahwa semalam setelah pulang dari restaurant baratie. Ino tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan ikut ke apartemen Sai. Mungkin karena lelah, tanpa sadar Ino ketiduran di sofa. Sai pun memindahkan tubuh gadis itu ke kamarnya, agar Ino lebih lelap tertidur, sedangkan dirinya sendiri menggantikan posisi Ino di sofa. Hm, Dia memang sahabat yang baik.
Ino merenggangkan tubuhnya. Menaikkan kedua tangannya ke atas seraya menguap lebar. Tanpa sengaja, matanya melihat perbedaan pada tubuhnya. Ino mempertajam matanya, untuk melihat lebih jelas dan mencerna arti pakian yang ia genakan. Kaos ungu berlengan pendek dan celana hitam longgar selutut. Itu jelas bukan baju yang ia genakan semalam. Ini… baju Sai?
'Blush!' kedua tangan Ino langsung menyilang di depan dada. Pikiran negative mulai menyerang otaknya. Membayangkan ketika Sai menggantikan bajunya saat dia terlelap.
'Kyaaa! Tidaaak!' Ino menggelengkan kepalanya. membuang pikiran aneh itu. Tapi… kalau bukan Sai yang menggantikan bajunya. Lalu siapa lagi? Bukannya hanya ada Sai yang tinggal di apartemennya ini, mengingat keluarganya sudah menetap di luar kota sejak tiga tahun yang lalu –ini pengakuan Sai kepada Ino.
'Tidak Ino. Itu tidak benar. M-mungkin Sai meminta tolong kepada tetangga apartemennya yang cewek, yah mungkin saja itu terjadi bukan?' pikir Ino, mencoba menyangkal dugaan awalnya. Gadis itu menghela nafas panjang, dan mulai mencoba berpikir normal.
Ino menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang. Ia hendak berdiri meninggalkan kamar ini. Tapi nitanya terhenti, begitu matanya tanpa sengaja melihat bingkai foto yang berdiri di atas meja kecil samping ranjang. Tangan yang putih itu, langsung meraih bingkai foto tersebut. Melihat dengan jelas foto siapa yang terpampang di situ.
'Ini…' seketika mata Ino terlihat sayu. Itu adalah foto kenangannya dulu bersama lainnya. Lima anak muda terpampang dengan senyuman khasnya masing-masing. Paling tengah ada Itachi yang tersenyum, kedua tangannya merangkul pundak Ino dan Tenten yang berada di samping kanan kirinya. Ino tersenyum menampakkan giginya, sementara Tenten tersenyum seraya menjulurkan lidahnya. Ino merangkul lengan Sai yang ada di samping kanannya, yang tersenyum lebar hingga matanya tertutup. Tenten juga merangkul lengan Neji, dimana pemuda itu tersenyum tipis. (dari kanan: Sai, Ino, Itachi, Tenten, Neji)
~Flashback On~
"Yang berada di tengah yang paling tua!" pinta Ino bersemangat, memposisikan para sahabatnya untuk foto bersama."Hey, kata-katamu itu menyinggungku Ino," sulut Itachi tidak terima. Ino hanya terkekeh melihat reaksi senpainya itu.
"Ino. Jaga sikapmu terhadap orang yang lebih Tua. Benarkan senpai?" nada Tenten terdengar dibuat-buat.
"Ah. Kau juga sama saja," ujar Itachi menyerah. Kedua gadis itu kembali terkekeh melihat Itachi pundung. Pemuda itu memang paling tidak suka dibilang tua, bahkan dia menyuruh para sahabatnya yang notabennya adik kelas, untuk memanggilnya tanpa embel senpai. Cukup panggil Itachi saja.
"Kalian ini jangan seperti itu. Hormatilah Kakek Tua ini," pinta Sai innocent dengan senyum khasnya, seraya menunjuk Itachi.
'Bletak!' satu jitakan dari Itachi sukses mendarat di kepala Sai. Membuat tawa dari kedua gadis itu semakin meledak. Neji menggelengkan kepalanya 'maklum', tapi sudut bibir pemuda itu terangkat sedikit.
Empat anak muda sedang berlari sekencang yang mereka bisa. Menembus gelapnya malam dan lebatnya hutan Oto. Mereka terus berlari, tanpa mempedulikan nafas mereka yang sudah terasa berat. Yang ada dalam pikiran mereka hanya ada satu nama. 'Tenten'
Ini semua bermula dari 'ekspedisi' mereka ke Hutan Oto, hanya untuk mencari tantangan dan ingin membukti adanya mitos tentang 'Mahluk Halus' yang tinggal di Hutan Oto. Awalnya semua berjalan lancar, memasuki Hutan Oto tanpa ada hambatan sama sekali. Hingga mereka memutuskan untuk istirahat sejenak… tapi mendadak, salah satu diantara mereka terpisah dari rombongan. Entah bagaimana caranya, Tenten sudah tidak ada diantara mereka.
Dengan panik, Itachi, Neji, Ino, dan Sai. Mulai mencari gadis bercepol dua itu. Perasaan mereka semakin tidak menentu saat mendengar teriakan keras dari kejauhan. Dan satu hal yang pasti mereka sadari saat itu. 'Itu suara Tenten!'
"Jika ada hal buruk yang terjadi pada Tenten. Kau harus bertanggung jawab Itachi! Karena kau yang mengusulkan ekspedisi bodoh ini!" Neji menyempatkan dirinya berbicara, ketika meraka berempat masih berlari menuju sumber suara. Itachi tidak menanggapi, masih focus dengan larinya.
.
Tenten menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Kedua tangannya terus memegang pinggul kirinya, yang tidak henti mengeluarkan darah. Dia menggigit bibirnya untuk menahan keluarnya suara rintihan karena rasa sakit pada luka besar di pinggangnya itu. Padahal, beberapa menit yang lalu, dia meninggalkan teman-temannya karena ingin buang air kecil. Eh, gak tahunya dia malah tersesat karena nekat pergi sendirian.
Nasib buruk pun tidak berhenti mengejar Tenten. Alih-alih menemukan temannya, dia malah ditemukan oleh babi hutan dewasa, dengan dua gading tajam yang muncul di sisi-sisi hidungnya. Tenten berteriak histeris ketika melihat babi tersebut berlari ke arahnya, sebelum dia benar-benar menghindar, salah satu gading babi tersebut mengiris pinggul Tenten.
Sebelum babi hutan tersebut berbalik untuk melancarkan serangannya lagi pada orang asing yang dilihatnya. Tenten segera mengeluarkan tenaganya untuk berlari dan bersembunyi di balik pohon. Berharap, agar Babi hutan tersebut tidak menemukannya dan melupakannya.
"Tidak ada. Tenten tidak ada di sini," ujar Neji.
"Aneh, Padahal tadi suaranya terdengar dari sini," kata Itachi
"Mungkin Tenten masih tidak jauh dari sini," duga Sai.
"Tenten! Kau Dimana?" seru Ino cemas.
Mendadak terdengar suara langkah kaki berat, seakan orang itu berjalan dengan susah payah. Itachi dkk menoleh ke sumber suara. Dan alangkah terkejutnya mereka melihat Tenten dengan mata yang hampir tertutup, rambut pora poranda, tangan dan pinggangnya ternodai oleh darah.
Sebelum Tenten benar-benar pingsan di tempat, Itachi langsung menadahnya.
"Cepat! Kita harus keluar dari sini!" Neji mulai panic.
Ino tidak kuasa menitikkan air mata melihat sahabatnya terluka parah. Tanpa banyak berdebat lagi, mereka keluar dengan mengikuti jejak yang dibuat Itachi sejak memasuki Hutan Oto. Dengan begitu mereka tidak tersesat untuk mengambil jalan pulang, (sama seperti Sasuke dkk).
"A-aku menyukai Itachi-kun,"
"Aku juga"
"Eh? b-bukan dalam arti seperti itu Ino!" Teten menggeleng dan mengibaskan kedua tangannya di hadapan Ino.
"Lalu? Maksudmu apa?" Ino memiringkan kepalanya. menatap heran ke arah Tenten yang sedang duduk di atas ranjang pasien rumah sakit.
"M-maksudku…" Tenten menunduk malu,menyembunyikan rona merah di wajahnya. "A-aku menyukai Itachi-kun… lebih dari sekedar sahabat, lebih…"
Ino terdiam, terpaku dengan pengakuan yang diucapkan Tenten. Dia tidak menyangka, kalau sahabatnya ini menaruh perasaan lebih terhadap Kekasihnya. Yah, diam-diam Ino dan Itachi menjalin hubungan 'khusus'. Mereka sudah pacaran lebih dari satu bulan, tapi selama ini dirahasiakan oleh sahabat-sahabatnya, dengan dalih tidak ingin menyakiti perasaan yang lain.
"Kau serius?" tanya Ino, berharap Tenten hanya bercanda.
Tenten mengangguk. "Maaf, aku sudah melanggar kesepakatan kita berlima dulu. Bahwa sahabat tetap Sahabat. Dan tidak akan berubah menjadi cinta. Tapi perasaan ini tidak bisa disembunyikan lagi Ino. Aku telanjur menyukainya…"
'Kesepaktan bodoh' batin Ino kesal. Karena kesepakatan itulah juga yang membuat Ino dan Itachi merahasiakan hubungan mereka.
"Tapi Tenten… Kau lupa yah? Itachi-kun kan seorang Playboy," Ino mencoba menggoyahkan Tenten, agar gadis itu berubah pikiran.
"Iya, aku tahu. Tapi itu kan dulu, lihatlah sudah hampir satu bulan aku tidak mendengar dia menggandeng cewek lagi. Padahal dulu, Itachi-kun biasa ganti cewek tiga kali dalam sebulan. Kupikir sekarang dia sudah sadar…"
'Tentu saja dia tidak menggandeng cewek lain. Bisa-bisa aku bakar dia hidup-hidup jika dia nekat selingkuh,' batin Ino.
"Ino…" Tenten meraih tangan Ino, lalu menggenggamnya. "Bantu aku yah?"
"A-apa?"
"Kumohon, bantu aku dapatkan Itachi-kun,"
Di salah satu meja di café Karakura. Terdapat lima anak muda yang sedang menikmati hari libur mereka.
"Kau nekat sekali Tenten. Baru dua hari kau di rawat di rumah sakit, sudah berani keluyuran begini," celetuk Ino.
"Habisnya. Aku bosan dikurung dalam ruangan sumpek itu. Lagian lukaku tidak parah kok," Tenten mengaduk lemon tea-nya.
"Tapi tetap saja kan Tenten. Kau harus jaga kesehatanmu," imbuh Neji.
Tenten tersenyum. "Tenang saja. Kalian jangan khawatir. Kan ada Itachi-kun yang akan menjagaku. Benar kan?" Tenten menoleh ke arah Itachi yang duduk di samping kanannya.
"Eh? Aku?" Itachi menaikkan sebelah alisnya heran. "Akh! I-iya ya. kau benar!" ujar Itachi gelagapan, dan sedikit rintihan karena merasakan cubitan di pinggangnya oleh Ino yang duduk di samping kanannya.
Itachi melirik sekilas ke arah Ino. Dimana gadis itu dengan santainya meminum jus jeruknya. Pikiran Itachi kembali teringat ucapan Ino kemarin. 'Aku punya satu permintaan padamu. Bahagiakan Tenten, demi aku. Setidaknya sampai dia sembuh benar dari luka yang dialaminya di Hutan Oto. Aku mohon…'
Itachi menghela nafas pendek. 'Kau tahu Ino? Itu sulit…' batinnya.
"Oh ya. nanti malam kan ada pesta ulang tahunnya Sonoko. Teman sekelas kita. Kalian diundang?" tanya Tenten bersemangat.
Neji, Ino dan Sai mengangguk.
"Aku dengar, dia akan mengadakan pesta yang besar. Soalnya ini Sweet seventeen!" ujar Tenten.
"Iya. Katanya juga sekaligus perayaan pertunangannya. Sampai-sampai dia menyuruh para undangan membawa pasangan." Kata Ino.
"Kau benar. Aku sampai lupa persyaratan itu," Tenten menoleh ke arah Itachi. "Em… Itachi-kun. Kau mau kan menemaniku nanti malam ke pestanya Sonoko?"
"Apa?" sekali lagi Ino mencubit pinggang Itachi. "Akh! T-tentu saja. Aku mau!"
"Baguslah," Tenten tersenyum. "Bagaimana dengan kalian?" tanya Tenten kepada tiga teman yang lainnya.
Sai tersenyum. "Aku tidak bisa datang. Karena nanti malam aku ada urusan penting. Jadi nanti aku hanya kirim kadonya saja,"
"Urusan penting? Pasti ada hubungannya dengan lukisanmu," tebak Tenten yang hanya dibalas senyuman khas Sai. "Kalau kau Ino?"
"Ah! A-aku… aku akan pergi dengan Neji saja. Iya kan Neji?" tanya Ino.
"Tidak. aku tidak mau." Ujar Neji sarkastik
"Kenapa tidak mau? Kau kan tidak punya pasangan," tuduh Ino.
"Aku memang tidak berniat datang ke pesta itu,"
"Dasar tidak setia kawan. Sonoko kan juga temanmu,"
"Kalau aku bilang tidak mau. Yah tidak mau,"
"Tidak boleh. Pokoknya kau harus datang denganku. Aku tidak mau tahu!" Ino mendelik ke arah Neji.
Dan malam itu. Neji dengan terpaksa datang ke pesta ultah Sonoko bersama Ino. Tapi mereka sama sekali tidak melihat sosok Tenten maupun Itachi. Mereka tidak muncul, bahkan sampai pesta usai Tenten dan Itachi tidak datang juga.
Ino sudah berapa kali mencoba menelpon ponsel Tenten, juga Itachi. Tapi dua-duanya sama-sama mailbox. 'Apa yang membuat mereka tidak jadi datang?'
Tepat tengah malam. Ino dan Neji tidak bisa tidur di rumah nyaman mereka masing-masing. Entah apa yang membuat mereka gelisah. Merasakan sebuah perasaan aneh yang menghantui hati mereka. Seperti suatu hal yang sangat buruk telah terjadi. Dan mereka akan menyesalinya. Tapi apa itu?
Jawabannya ada di keesokan harinya.
"Halo.." sapa Ino pada penelpon asing pertamanya di pagi hari.
"Nak Ino? Ini ibunya Tenten," sahut penelpon dengan suara keibuannya.
"Oh ya tante, ada apa?"
"Apa semalam Tenten menginap di rumahmu?"
Perasaan Ino mulai tidak enak. "Tidak tante,"
"A-ah, yang benar nak? Kalau begitu Tenten menginap dimana yah?" ada nada kekhawatiran tersirat dari suara Ibunya Tenten.
"Tante. Memangnya Tenten sekarang tidak ada di rumah?" tanya Ino.
"Tidak ada. Semalaman dia belum pulang juga dari pesta ulang tahun temannya,"
"Dari pesta? Tapi.. semalam, saya sama sekali tidak melihat Tenten hadir di pesta itu,"
"Ah, nak Ino jangan bercanda. Jelas-jelas semalam Tenten pergi ke pesta. Bahkan temannya menjemput Tenten pakai mobil sedan limosine mewah. Tante melihatnya sendiri Tenten masuk mobil itu," terang ibunya Tenten.
'Mobil limosine? Apa mungkin itu Itachi?' pikir Ino.
"Nak Ino? Kau masih mendengarkan Tante?"
"Ah iya tante? Maaf. Saya tidak tahu Tenten sekarang ada dimana? Tapi akan saya coba tanyakan pada teman saya," ujar Ino.
"Apa? Mobil limosine? Aku tidak punya mobil seperti itu," Itachi menggeleng.
"Sungguh? Kalau begitu siapa lagi yang menjemput Tenten semalam jika itu bukan kau!" Ino menunjuk dada Itachi.
"Semalam aku memang tidak menjemput Tenten. Apalagi menyuruh orang untuk menjemputnya."
"Tapi kan, bukannya semalam kau dan Ten–"
"Aku membatalkan janjinya. Karena mendadak semalam aku ada urusan penting. Jadi aku tidak bisa datang menemani Tenten. Lagipula Sore harinya aku sudah menelpon Tenten untuk meminta maaf padanya," jelas Itachi.
"Apa? Kalau begitu… s-siapa yang menjemput Tenten? Lalu… orang itu membawanya kemana?"
Hampir tiga bulan berlalu sejak kehilangan Tenten. Pihak polisi Konoha pun mulai menyerah, dengan alasan hal ini sudah wajar terjadi di Konoha. Karena Setiap tahunnya, sejak dua belas tahun yang lalu pasti ada aja laporan kehilangan anak gadis mereka. Dan sekuat apa pun mencarinya, pihak berwenang tidak pernah dapat menemukan mereka.
Dan tahun ini, Pihak berwenang pun menyatakan Tenten termasuk dari para gadis malang tersebut.
"Cih!" dengus Neji seraya meninju batang pohon di hadapannya. Sebagai pelampiasan amarahnya yang memuncak. "Keterlaluan mereka. Padahal baru dua bulan, mereka dengan santainya menyerah atas pencarian Tenten? Apa-apaan itu!" desisnya.
Ino dan Sai yang berdiri di belakangnya, tidak mengeluarkan komentarnya. Dan Sai tidak tersenyum lagi seperti biasanya.
"Maafkan aku…" terdengar suara berat, bersamaan munculnya Itachi diantara mereka.
"Kau tidak perlu minta maaf Itachi-kun. Bukan salahmu, karena tidak menjemput Tenten malam itu," sahut Ino pelan.
"Bukan. Bukan tentang itu," bantah Itachi.
"Lalu?"
Itachi menghela nafas. "Sebenarnya aku merahasiakan sesuatu dari kalian,"
Kali Ino menoleh ke arah Itachi, menatap dengan heran. "Apa itu?"
"Aku adalah Anbu rahasia. Bukan murid pindahan dari Ame High Scholl, tapi pindahan dari akademi anbu yang berpusat di Ame. Aku dikirim dari Ame untuk menyelidiki kasus yang misterius di Konoha. Yang ada sangkut pautnya dengan Hutan Oto," ngaku Itachi.
Mata Ino melebar mendengarnya. Sedangkan Neji hanya melirik pemuda Uchiha itu.
"Waktu itu, saat malam pesta Sonoko. Aku membatalkan janji dengan Tenten karena ada sinyal aneh di Hutan Oto yang tertangkap oleh satelit. Malam itu pun aku memasuki Hutan Oto untuk memastikannya. Awalnya aku tidak menemukan apa pun. Sampai aku melihat sosok perempuan menggunakan gaun putih berjalan dari kejauhan, aku juga melihat orang lain berjubah hitam dan bertundung yang berjalan di depannya. Saat aku perhatikan dengan jelas, gadis itu seperti Tenten. Meskipun tidak yakin dengan penglihatanku sendiri, aku tetap langsung mengejarnya, tapi sayangnya… aku tidak tahu kenapa aku bisa kehilangan jejaknya,"
"I-itachi-kun… kau tidak berbohong tentang ceritamu itu kan?" tanya Ino tidak percaya.
Itachi menggeleng lemah. "Aku tidak bohong."
"K-kau melihat dia? Dan kau kehilangan jejaknya?" Neji berjalan ke arah Itachi.
"Maaf, aku sudah berusaha. Akhir-akhir ini aku juga sudah mengelilingi Hutan Oto. tapi aku tidak mendapatkan jejak apapun," kata Itachi.
Mendadak Neji mencekram kerah baju Itachi. "Apa maksudmu menyembunyikan semua itu dari kami?" desis Neji.
Itachi tidak menanggapinya. Dia hanya menatap mata Neji yang dipenuhi amarah.
"Kau… apa kau juga sengaja membawa kami ke Hutan Oto saat itu hanya untuk kepentingan penyelidikanmu saja? Dan kau hampir saja mencelakakan kami semua, hanya karena kebodohan kami yang menerima ajakan eksepedisi gila usulanmu itu hah? Kau hampir saja membunuh Tenten saat itu?" Neji setengah berteriak, ia semakin erat mencekram kerah Itachi.
"Itu bukan kesalahanku sepenuhnya,"
"Brengsek Kau!"
'Buuagh!' Neji tidak segan langsung meninju rahang kiri Itachi. Ino menjerit melihatnya.
Itachi mendelik. "Apa-apan kau?" Itachi memegang rahangnya yang terasa nyeri.
"Kau.. ternyata selama ini menjadikan kami umpan, begitu?"
"Jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah bermaksud seperti itu!"
"Omong kosong!"
Neji hendak memukul pemuda Uchiha itu. Tapi kali ini si sulung Uchiha melawan, menghindarinya dan juga memberikan balasannya.
'Buuagh!' kali ini rahang Neji yang terasa nyeri.
"Jangan melampiaskan amarahmu padaku," desis Itachi.
Neji tidak menanggapinya. Dia hendak membalas Itachi, dan Itachi juga tidak mau tinggal diam. Adu pukul diantara mereka pun tak bisa dihindari.
"Kalian berdua hentikan!" Sai hendak melerai. Tapi naasnya, malah dia yang kena sasaran.
Ino terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kedua temannya bertingkah seperti anak kecil. Saling memukul dan saling menyalahkan satu sama lain. Yang sudah pasti cara itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Tidak akan bisa memutar kembali waktu dan mencegah agar Tenten tidak menghilang begitu saja. Tak ada gunanya, walaupun mereka saling membunuh. Itu tidak bisa mengembalikan Tenten diantara mereka. Tidak bisa.
Tangis Ino pecah, rasa kehilangan akan sahabatnya membuat luka yang sangat besar di dadanya. Tidak ada tawanya, tidak ada candanya, tidak ada ngambeknya, tidak ada wajah manis Tenten yang menghiasai kehidupannya. Tidak ada.
"Aaaargh! Aaa… hikz hikz hikz.. huwaaa…" Ino meraung, menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Menumpahkan semua kesedihannya. Tidak peduli kalau sekarang tingkahnya sperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Tidak peduli kecantikannya pudar oleh air matanya. Bahkan dia tidak peduli kalau kedua temannya sekarang terdiam dan berhenti dari adu pukul mereka.
"Ten..teeen! hikz! Huwaaa… Ten….hikz...Teeen…!" Ino terduduk bersimpuh, seraya menutup wajahnya. Tubuhnya gemetar. Dan tangisnya terus meledak.
"Ino… sudahlah…" Sai berusaha menenangkan gadis itu.
Lima hari sejak kejadian itu. Mendadak Itachi dikabarkan pindah sekolah ke luar kota. Tanpa berpamitan ataupun mengatakan sepatah kata pun kepada Ino, Neji, dan Sai.
Dan hal itu membuat Ino sangat kecewa. Sikap Itachi yang mendadak meninggalkan mereka, seakan menggambarkan dia tidak peduli lagi dengan hilangnya Tenten.
"Lihatlah. Si Penipu itu lari dari masalah!" ujar Neji sarkastik. Saat Sai menyampaikan kabar pindahnya Itachi kepada Neji dan Ino.
Ino tidak habis pikir, kenapa Itachi bisa pergi begitu saja? Pemuda itu benar-benar membuat hati Ino semakin sakit. Sampai sekarang.
~Flashback Off~
Amarah
yang selama ini dipendam Ino pun sampai puncaknya. Setelah satu tahun
kemudian Itachi kembali ke Konoha, ditambah lagi mendengar tentang
pertunangan Itachi. Dan gadis yamanaka itu nekat menampar mantan
kekasihnya itu, di restaurant Baratie semalam. 'Dia memang pantas
mendapatkannya'"Ino? Dari tadi kau sudah bangun?"
Ino terkejut mendengar suara berat dari ambang pintu. Gadis itu pun menoleh. Dan memberikan senyum manisnya pada Pemuda yang berdiri di ambang pintu.
"Selamat pagi Sai,"
Sai membalas senyuman Ino. "Selamat pagi Ino. Aku sudah siapkan sarapan. Ayo," ajaknya.
Ino pun menaruh kembali bingkai foto kenangan mereka ke tampatnya semula. Dan berjalan menghampiri Sai. Mendadak dia kembali teringat sesuatu yang menjanggal dalam pikirannya.
"Oh ya, Sai…"
"Ya Ino?"
"Seingatku, aku tidak pernah menggenakan baju ini. Apa –err, kau yang memakaikannya padaku?" tanya Ino agak malu, pipinya sedikit merona.
Sai kembali tersenyum. "Tentu saja aku. Memangnya siapa lagi yang tinggal di sini," ujar Sai Innocent.
'Blush!'
'Plaak!'
Ino berjalan keluar kamar melewati Sai yang sedang merintih kesakitan. Pemuda itu mengusap pipi kirinya yang sudah membekas telapak tangan merah.
"Hey Ino. Aku kan hanya khawatir melihatmu menggunakan baju ketat itu. Makanya aku ganti supaya kau bisa lelap tidurnya," jelas pemuda lugu itu, seraya berjalan mengikuti Ino.
Gadis itu sama sekali tidak menanggapinya. Dia bahkan tidak sanggup menoleh, karena tidak ingin memperlihatkan warna wajahnya yang merah kelewat batas.
"Ino. Kau marah padaku yah? Memangnya aku salah apa?" tanya Sai innocent.
"Kau ini! Jangan Pura-pura Bodoh!"
Sai hanya bisa melongo kaget, melihat Ino berbalik sebentar kemudian berlari ke kamar mandi. Dia benar-benar tidak mengerti. Kenapa wajah gadis itu berubah menjadi merah?
"Ternyata benar yang dikatakan buku. Kadang wanita itu susah dimengerti. Hmm… sepertinya aku harus membeli buku baru tentang wanita," guman Sai seraya mengusap dagunya.
Yah… kita hanya bisa berharap saja. Semoga Sai tidak salah baca buku. Kau tau maksudku kan? *smirk*
*#~DCDS~#*
Seorang
maid mengantarkan pesanan pada meja nomor 07, yang terletak sedikit
berada di pojok ruangan. Hanya ada satu orang yang menempati meja
tersebut. Pemuda berambut hitam kecoklatan panjang, dengan mata berwarna
abu-abu kebiruannya. Neji Hyuuga.Setelah meletakkan secangkir coffee dan sepiring kecil black forest di atas meja nomor 07, si maid berambut orange sepinggul itu menyunggingkan senyum terbaiknya kepada pelanggan setia café tersebut. "Silahkan, Goshujin-sama!"
"Hn. Terima kasih,"
Si maid manis itu pun mengangguk tersenyum lalu undur diri. Memberikan privasi kepada Neji untuk menikmati kegiatan santainya di sore hari. Dia sudah kenal betul dengan pelanggan setia satu ini, yang setiap dua minggu sekali berkunjung ke café Karakura ini. Hanya ada sedikit perbedaan yang terjadi sejak tahun lalu. Dimana dulu, Neji berkunjung ke café ini tidak sendirian dan juga tidak ada raut wajah yang tampak sangat dingin dan kosong.
Neji mengangkat cangkir kopinya yang sedikit menyebul oleh uap panas. "Selamat sore Tenten," gumannya pelan entah pada siapa? Karena memang tak ada satu pun orang yang duduk di hadapannya. Tapi di mata Neji, masih teringat jelas sosok sahabatnya itu. Tersenyum manis di hadapannya seraya mengangkat cangkir coklat panasnya juga.
Kejadian lama itu, bagi Neji seperti baru saja terjadi kemarin. Dimana Tenten mengajaknya bertemu di sini. Sekitar dua bulan sebelum kejadian hilangnya Tenten.
~Flashback On~
"Aku sangat menyukaimu…""Aku tahu," Neji memakan sepotong black forest dengan tenangnya. Tak ambil pusing dengan wajah cemberut Tenten di hadapannya.
"Neji-kun. Tak bisakah kau serius?"
Neji meletakkan garpu kecil bergigi dua tersebut kembali menancap di atas black forest. Matanya lalu menatap mata coklat milik Tenten. "Kau pikir tampangku tidak terlihat serius?"
Dua garis merah mendatangi kedua pipi Tenten. "L-lalu…?"
"Hn?"
"Mau dibawa kemana?"
Neji menyeruput coffee-nya terlebih dulu. "Kau tahu kondisiku kan Tenten? Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu,"
Tenten memutar bola matanya bosan. "Ya ya. aku tahu itu Tuan muda Hyuuga," sindirnya. Yah, Tenten tahu Neji berasal dari keluar Hyuuga yang terhomat. Dimana keluarga itu lebih mementingkan peraturan keluarga dari pada kepentingan sendiri. Dan hal ini sangat dipegang teguh oleh Neji.
Sebenarnya sudah lama, Neji maupun Tenten sama-sama tahu, mereka memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat Terlihat jelas dari tingkah laku mereka yang memeperlakukan 'istimewa' satu sama lain. Tapi perbedaan golongan keluarga membuat mereka tak bisa menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat. Tenten berasal dari keluarga sederhana, yang hanya mempunyai satu wali saja, Ibunda tercinta yang berprofesi guru SMU (Ayahnya sudah almarhum). Sedangkan Neji…. Dari keluarga Hyuuga yang termaksud klan terkaya di Konoha. Sudahlah, Tak perlu ditanyakan lagi, pasti Orang tuanya akan menentang keras hubungan serius di antara mereka.
Tak pernah ada kata-kata pasti yang muncul dari bibir mereka. Hanya tatapan mata dan perilaku yang menyiratkan isi hati mereka. Saling menyayangi, membutuhkan, dan kadang saling merindukan. Bahkan saat First Kiss mereka pada Natal lalu, berakhir dengan tatapan mata dan seulas senyum, tanpa ada kata-kata yang mengucapkan 'Aishiteru' ataupun semacamnya.
Tapi… kesabaran Orang ada batasnya juga kan?
"Neji-kun. Aku sudah lelah dengan hal ini semua. Tak bisakah kita mengambil langkah berani untu–"
"Tidak"
"Hanya sebentar saj–"
"Tidak,"
"Dengarkan dul–"
"Tidak,"
"Neji-kun!" Tenten mulai kesal.
'Aku tahu hal ini pasti akan terjadi,' Neji menghela nafas. "Kau bosan dengan ini semua?" Neji menatap Tenten dengan serius.
"B-bukan begitu maksudku…"
"Kau bisa melupakan ini semua jika kau mau. Anggap saja yang sudah terjadi di antara kita selama ini, tak lebih dari sekedar hubungan persahabatan kita. Kau tahu Tenten? Kau gadis yang manis dan baik, pantas mendapatkan pria yang mampu menerimamu apa adanya. Buang perasaanmu terhadapku. Dan carilah pria lain yang bisa mem–"
"CUKUP!" seru Tenten. Mampu menarik perhatian para pengunjung lain café Karakura. Tapi Tenten tak mau ambil pusing hal itu. "Kau tahu kan Neji-kun. Itu sulit unt–"
"Cepat atau lambat kita harus mengakhiri hubungan konyol ini. Sudah menjadi Takdir diantara kita. Terimalah Takdir ini," Neji masih bisa menahan emosinya untuk berbicara setenang mungkin.
"Berhentilah Berbicara tentang Takdir!" suara Tenten terdengar serak. Matanya yang coklat mulai terlihat rabun.
"Ini Takdir,"
'Plak!'
Tenten segera berdiri. Tak peduli dengan tatapan aneh dari penghuni café. Juga perbuatan kasar yang baru saja dilakukannya pada Neji.
Tenten berusaha menahan nafas dan tangisnya yang hampir meledak. Dan mulai saat itu, Tenten bertekad tidak ingin memanggil nama asli pemuda di hadapannya itu.
"Kau akan menyesali keputusanmu ini… HYUUGA!"
~Flashback Off~
"Kau benar Tenten. Aku menyesalinya…." Neji kembali meminum coffee dari cangkirnya..
.
.
'Hyuuga'
"Apa?"Seketika itu mata Neji membulat…
*#~DCDS~#*
"Jadi, apa hubungannya Gaara dengan anggota akatsuki yang bernama.. siapa tadi? Sosori? Sariri? Sarimi?""Namanya Sasori-nii, Naruto-kun."
"Ah. Iya ya. maaf aku lupa," Naruto menggaruk tengkuknya malu.
Shion yang duduk di samping Naruto, hanya menghela nafas panjang. "Sasori-nii adalah kakaknya Gaara-kun,"
"Ooh… eh? Apa? Anggota Akatsuki itu kakaknya Gaara?"
Shion mengangguk. "Kalau tidak salah, Sasori-nii menjadi anggota akatsuki sejak satu tahun yang lalu, sejak dia dinyatakan buronan oleh pemerintah."
"Buronan?" kening Naruto berkerut.
"Iya. Sasori-nii adalah buronan pemerintah karena kejahatan besar yang pernah dia lakukan," Shion menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. "Membunuh walikota Suna saat itu. Akira Sabaku. Yang tidak lain adalah pamannya sendiri,"
"APA? Dia membunuh pamannya sendiri?" Naruto kembali dikejutkan dengan penuturan gadis di sampingnya.
"Kau bisa bayangkan sendiri kan? Bagaimana perasaan Gaara-kun dan keluarganya saat tahu yang membunuh pamannya adalah kakaknya sendiri. Meskipun keluarga Sabaku sudah menyerahkan seluruhnya pada pihak berwajib. Gaara-kun tetap bersikeras untuk menangkap Sasori-nii dengan tangannya sendiri. Makanya… saat dia mendengar kabar akatsuki berada di Konoha. Dia langsung ke sini…"
*#~DCDS~#*
Taxi
yang ditumpangi Shion dan Naruto pun berhenti. Setelah membayarnya,
mereka kembali berjalan ke tempat tujuan mereka. Tinggal setengah kilo
meter lagi, mereka sampai di tepi sungai. Sungai yang menjadi pembatas
antara Konoha dengan Hutan Oto."Sebenarnya dari tadi ada satu hal yang membingungkanku Shion-chan. Kenapa kau sangat yakin kalau Gaara ada di dalam Hutan Oto?" sekali lagi Naruto bertanya pada Shion.
"Ada dua alasannya. Pertama, sejak tadi Temari-nee dan Shikamaru sudah mencari Gaara-kun ke penjuru Konoha, tapi sama sekali tidak ketemu. Kedua, aku punya firasat saja kalau Gaara-kun ada di dalam Hutan Oto," jawab Shion percaya diri.
Naruto memasang wajah kusutnya. Menandakan kalau jawaban Shion tidak bisa dijadikan pegangan.
"Yah… kita berharap saja. Agar keberuntungan berpihak pada kita Naruto-kun," Shion berjalan mendekati tepi Sungai.
"Kau yakin. Mau masuk ke dalam Hutan Oto?" pertanyaan Naruto sukses menghentikan langkah Shion.
Gadis pirang itu berbalik, melihat wajah Naruto yang diliputi kekhawatiran. "Kalau kau tidak mau menemaniku tak apa. Aku akan masuk sendirian," Shion tersenyum. "Terima kasih sudah mengantarku sampai sini,"
"E,eh, T-tunggu!" Naruto langsung meraih lengan Shion. "Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendirian. Apalagi sampai menyebrang ke Hutan Oto dengan berenang melewati sungai ini. Kau itu perempuan, mau cari mati apa?"
"Tapi aku tetap harus ke Hutan Oto. mungkin saja Gaara-kun dalam bahaya," Shion berusaha melepaskan genggaman tangan Naruto.
"Tenanglah dulu! Aku pasti akan membantumu. Tapi kita tidak boleh bertindak gegabah. Bisa-bisa kejadian dulu… terulang kembali…"Mendadak Naruto mengingat kembali kejadian terakhir kalinya dia ke Hutan Oto. Kiba…
Shion heran melihat wajah Naruto mendadak berubah sayu. "Naruto-kun… kau tak apa-apa?"
"Ah! Iya! Sebaiknya kita menghubungi Teme dulu!" usul Naruto seraya tersenyum.
"Eh? Teme?"
*#~DCDS~#*
"Apa? Semalam kakakku menampar calon tunanganmu?" seru Sakura tak percaya setelah mendengar cerita dari Hinata.Hinata yang berjalan beriringan –pulang sekolah bersama– dengan Sakura , hanya mengangguk.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Sakura.
"Entahlah. Itachi-kun tidak banyak bicara tentang hal itu. Tapi, aku dengar, mereka sepertinya mempermasalahkan tentang hilangnya Tenten-senpai," tutur Hinata.
"Eh? Apa tadi kau bilang? Itachi-kun?" Sakura menaikkan sebelah alisnya. "Tunggu. Seingatku kau tidak pernah menyebut nama orang lain dengan sufiks 'kun' selain Naruto dan Kiba –teman akrabmu–. Mengapa mendadak kau menambahkan 'kun' pada Itachi-senpai? Yang jelas-jelas adalah orang yang baru kau kenal. Tidak ada maksud tertentu kau memanggilnya seperti itu kan?" selidik Sakura.
Hinata menghela nafas. "Apa boleh buat. Itachi-kun memintaku agar bersikap biasa padanya. Lagipula sebentar lagi kami akan bertunangan," Hinata menunduk.
Sakura diam sejenak, sebelum mengeluarkan pertanyaan yang sebenarnya dirinya agak ragu untuk mengucapkannya. "Lalu… bagaimana dengan Naruto?"
"A-apa maksudmu?"
"Oh ayolah Hinata. Aku tahu hubungan kalian itu sudah hampir mendekati sepasang kekasih. Tadi saja Naruto nekat mencium keningmu di depan umum. Kau juga sama saja, langsung pingsan di tempat selama lima menit, dengan wajah merah padam. Apa coba artinya itu? Jika kalian masing-masing tidak menyimpan perasaan lebih," terang Sakura.
"J-ja… jangan bicara tentang k-kejadian itu," pinta Hinata seraya memalingkan wajahnya yang kembali merona.
Sakura tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya itu. "Hinata, Hinata. Kau itu harus menentukan pilihanmu. Naruto atau Itachi-senpai?"
"A-aku tidak punya pilihan, Saku-chan."
"Tentu saja kau punya. Tapi kau hanya tidak punya sebuah keberanian untuk menentukan pilih–" ucapan Sakura terhenti begitu menyadari suatu kejanggalan yang terjadi disekitarnya. 'Kenapa jalanan ini begitu sepi di sore hari?' pikir Sakura seraya melihat sekitar jalanan pemukiman warga yang dilewatinya.
"Saku-chan. Kenapa berhenti berjalan?" tanya Hinata heran.
"Ah. Tidak. hanya saj–"
Suara ban mobil yang mendadak berhenti. Menarik perhatian Hinata dan Sakura. Kedua gadis itu berbalik dan melihat lima orang keluar dari mobil BMW hitam. Perasaan Sakura dan Hinata semakin tidak menentu ketika orang-orang asing bermasker hitam itu mendekati mereka.
Sakura melangkah mundur, diikuti oleh Hinata. Tapi naasnya sebelum mereka mengambil langkah seribu, Orang-orang asing itu langsung meraih mereka.
"Hey. Lepaskan!" Sakura memberontak begitu lengan tangannya digenggam dengan kasar oleh mereka. Begitu pun dengan Hinata yang menjerit keras.
Sakura melayangkan Pukulan andalannya ke ulu hati pria yang menggenggam lengannya, hingga pria itu tersungkur. Hinata menginjak dengan sekuat tenaga kaki pria lain yang menggenggam lengannya, lalu memukul kepala pria itu dengan tas sekolahnya yang berisi dengan buku-buku tebal. Membuat Pria itu menjauh dan merintih kesakitan di kepalanya.
Sakura langsung menarik tangan Hinata dan hendak berlari menjauhi orang-orang bahaya itu, tapi sayangnya keinginan mereka untuk lari, untuk saat ini tidak dikabulkan oleh Tuhan. Karena mendadak mobil BMW lain datang dari arah depan mereka. Menghalangi jalan keluar Hinata dan Sakura dari masalah.
Lima Pria asing bermasker hitam itu, kini bertambah menjadi sepuluh orang. Oh tidak! Bahkan lebih… berjalan mengepung kedua gadis itu yang sekarang sudah berkeringat dingin.
Satu hal yang dipikirkan Hinata dan Sakura saat ini….
'Naruto-kun….'
'Sasuke-kun….'
'TOLONG KAMI!'
~~TBC~~
0 komentar:
Posting Komentar