DILEMA CINTA DIANTARA SAHABAT PART 12

Minggu, 23 Desember 2012
Dilema Cinta Diantara Sahabat
By Sakura Dini
Disclaimer: Naruto-Masashi Kishimoto
Pairing: NaruHinaSasuSakuNaru (tentang cinta segi empat)
Warning: AU & OOC 

Summary: Perempuan itu menyeringai melihat darah muncrat ke wajahnya dan mengotori gaun putih yang digunakannya."Hinata-chan!". "Uchiha, aku ingin bertemu denganmu"

 INI TIDAK ADIL

Chapter 12

Mata lavender itu perlahan terbuka. Mencoba membiasakan diri melihat sinar yang begitu silau bagi pemiliknya. Yang pertama dilihatnya adalah langit-langit kamar yang asing. Setelah memperhatikan sekeliling dan mengingat kejadian terakhir yang dialaminya, pemilik mata lavender itu yakin dia berada di rumah sakit.
Hinata menoleh ke kanan tanpa bangun dari tidurnya. Ia tersenyum melihat saha
batnya, pemuda berambut pirang tidur duduk dengan membenamkan kepalanya di atas ranjang seraya memegang tangan kanan Hinata.
"Naruto-kun…."
'Hyuuga…'
Hinata terkejut mendengar suara familiar itu kembali terdengar. Kenapa masih terdengar? Kenapa di saat Hinata merasakan penderitaan ini sudah berakhir, suara wanita itu masih terdengar memangilnya? Apa yang sebenarnya diinginkan wanita itu dari Hinata…. Atau dari seorang Hyuuga?
Mata Lavender Hinata melihat ke pintu kamar yang masih tertutup, asal suara itu terdengar. Tiba-tiba muncullah sosok yang sangat tidak diinginkan kehadirannya oleh Hinata. Perempuan bergaun putih yang terakhir kali di lihat Hinata di rumah tua (hutan Oto).
Rambut hitamnya yang panjang masih tidak terurus dan menutupi bagian wajahnya. Kali ini tak ada borgol yang melingkar di kedua tangannya. Tapi malah perempuan itu memegang benda tajam yang berkilau. PISAU.
'Kali ini apa lagi maunya? Apa akan ada hal buruk terjadi lagi? Tidak! Aku mohon jangan lagi!' batin Hinata seakan berteriak. Lagi-lagi tubuhnya tak bisa bergerak. Hinata pun tak sanggup mengeluarkan kata-kata.
Perempuan itu mendekati Hinata yang masih berbaring kaku di atas ranjang. Hinata bagikan patung hidup yang siap menerima apa saja. Tapi nyatanya, Hinata tak siap. Rasanya ingin berteriak. Tapi bibir ini tidak bisa diajak kompromi untuk bergerak. Tenggorokan pun rasanya kering.
Pisau itu mulai dilayangkan perempuan itu diatas dada Hinata.
Tidak! jangan! Kenapa hal ini harus terjadi padanya? Selama ini Dia tak pernah melakukan kesalahan. Tapi kenapa harus dia?! Ini tidak Adil!
'CRATSS!!' Pisau itu menancap di dada Hinata. Air segar pun mengalir.
Perempuan itu menyeringai melihat darah muncrat ke wajahnya dan mengotori gaun putih yang digunakannya.
"Tidaaaaak!!"
-
-
"Hinata-chan! Sadarlah!" Naruto berusaha membangunkan gadis berambut indigo itu dari mimpi buruknya.
Dari tadi Hinata mengingau tak jelas dalam tidurnya. Ia berkata 'tidak! jangan!'. Membuat Naruto -yang sejak tadi menemani Hinata- sangat khawatir.
"Tidaaaaaak!!" seru Hinata seraya membuka mata Lavendernya. Ia terbangun.
"Hinata-chan! Tenanglah" Naruto memegang kedua bahu Hinata.
Hinata masih terkejut. Nafasnya tak beraturan. Keringat membahasi keningnya. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja dialaminya.
Perempuan itu…
Pisau…
Darah…
Dadanya… yah dadanya? Hinata langsung memegang tubuhnya yang baik-baik saja dan tidak terluka sedikt pun. Hinata menoleh melihat Naruto yang memberikan tatapan khawatir padanya.
"Tak apa. Kau hanya mimpi buruk" jelas Naruto seakan tau apa yang dirasakan Hinata saat ini.
Mata lavender itu mulai basah. Hinata masih syok dengan mimpi yang baru saja dialaminya.
"Naruto-kun…"
Dengan tanggap Naruto langsung merangkul Hinata. Membiarkan sahabatnya menangis di pelukannya. Berusaha menenangkannya.
-
*#~o0o~#*
-
Sasuke menjatuhkan badanya di atas ranjangnya. Ia merebahkan dan merenggangkan tubuhnya. Rasanya sangat lelah. Semalam berkeliaran di Hutan Oto. Dan mengalami ha-hal buruk yang melelahkan.
Sekarang saatnya ia beristirahat. Mehilangkan lelah dan pikiran yang sangat membebaninya.
Sasuke menutup mata onyxnya. Mencoba memasuki alam bawah sadarnya. Tapi pikirannya tidak mau diajak kompromi. Masih teringat jelas kejadian sebelum dia pulang ke rumah.
Saat ia dan Shikamaru pergi ke penjara Konoha untuk memeriksa lokasi ledakan. Ledakan itu begitu sempurna. Meledakkan tiga penjara sekaligus tanpa ada kerusakan pada penjara lainnya. Seolah direncanakan ledakan hanya terkena pada Sembilan orang yang menyerangnya di hutan Oto. Tak ada jejak yang ditinggalkan pelaku di lokasi ledakan. Semuanya terlihat sempurna. Pasti orang itu sangat ahli dalam ledakan.
Siapa pun orang itu, yang jelas. Dia tidak ingin rahasianya dibongkar oleh pembunuh bayaran itu. Tapi anehnya, kenapa mereka mengincar nyawa Sasuke dan teman-temannya di hutan Oto. Pasti ada yang mereka sembunyikan di dalam hutan Oto. Tapi apa? Apa yang mereka sembunyikan?
'Cih Sial!' umpat Sasuke kesal. Ia bangun dari tidurnya.
Sasuke memegang kepalanya yang penat. Kenapa penyelidikan ini buntu di tengah jalan? Menyebalkan. Gerutunya
Mata onyx Sasuke melirik jam dinding di kamarnya. pukul 9 pagi. Seharusnya dia sekolah dari tadi. Tapi hari ini dia bolos, sama seperti keempat temannya. Naruto, Sakura, Shikamaru, dan Hinata. Oh Hinata masih di rumah sakit. Apa perlu dia menjenguknya? Mungkin gadis itu sekarang sudah sadar.

You are my friend
aa… ano hine yume
ima demo mada
wasurete nain desho

Lagi-lagi ponsel Sasuke berbunyi. 'mungkin dari Naruto yang mau mengabari keadaan Hinata' duga Sasuke. Tapi sayangnya dia salah.
'Sakura Aneh calling'
Sasuke menaikkan sebelah alisnya. Tumben nih anak nelpon.
"Halo.." terdengar suara Sakura dari seberang sana setelah Sasuke menjawab telponnya.
"Hn?"
"Em… Uchiha. A-aku ingin bicara denganmu" Suara Sakura terdengar ragu untuk bicara.
"hn. Katakan saja"
"Maksudku. A-aku ingin bertemu denganmu sekarang. Bisa tidak?"
"…" Sasuke tidak menjawab. Hening sesaat… sampai…
"Ya sudah kalau kau tak mau. Tak ap~"
"Kau ada dimana?" Tanya Sasuke memotong ucapan Sakura.
Sakura sedikit terkejut mendengar pertanyaan Sasuke. Tanpa diketahui Sasuke, Sakura tersenyum di seberang sana.
"Aku di taman kota"
-
*#~o0o~#*
-
Seorang gadis bertopi merah bertuliskan 'SA' ditopinya, sedang duduk menyendiri di bangku taman kota. Kali ini taman terlihat sepi karena pada jam segini (9 pagi) semua orang sibuk dengan kesehariannya masing-masing.
Sakura menundukkan kepalanya. ia terlihat lesu. Entah apa yang ada di lamunannya.
Tak lama kemudian. Orang yang di tunggu Sakura datang. Pemuda berambut hitam mencuat kebelakang dan menggenakan kacamata lensa persegi. Sasuke langsung duduk di samping Sakura.
"Kukira kau tidak akan datang" ujar Sakura tetap menunduk tanpa menoleh ke sampingnya.
"hn" hanya gumanan ini yang dikeluarkan Sasuke. Entah artinya apa.
Sakura tidak bicara lagi. Begitu pula Sasuke. Mereka berdua sama-sama terdiam. Sasuke sendiri heran. Kenapa dia mau mengikuti permintaan Sakura. bukan kah seharusnya lebih enak dia istirahat di rumah.
"Kau tau. Aku pernah mengalami kejadian yang tak pernah aku lupakan di taman ini" ujar Sakura memecahkan keheningan setelah beberapa detik diam.
"…" Sasuke tidak banyak komentar. Apa ini yang ingin di bicarakan Sakura padanya? Curhat?
Sakura menengadah, melihat awan di langit pagi yang cerah. Ia menghela nafas seraya menikmati hembusan angin yang begitu sejuk. "Saat itu. Aku masih kecil. Sekitar sepuluh tahun yang lalu…"
~~Flashback~~
Anak perempuan berambut merah muda sepinggul sedang duduk sendirian di bangku kecil taman kota seraya terisak. Ia menutup matanya yang sembab. Menangis, hanya itu yang di lakukannya.
Awan sore terlihat mendung. Membuat taman itu sepi karena tak ada orang yang mau basah kunyup gara-gara hujan yang siap untuk turun kapan saja. Tapi Sakura kecil tetap enggan untuk meninggalkan tempatnya.
"Kenapa menangis?" Tanya anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan Sakura kecil.
Sakura tetap terisak seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kalau menangis tak ada sebab, artinya kau gila" tuduh anak laki-laki itu.
Sakura kecil pun kesal di tuduh seperti itu. "Aku tidak gila!" serunya di sela tangisnya. Sakura tetap menutup wajahnya. Ia malu wajahnya diihat jika sedang menangis.
"Kalau begitu kenapa menangis?" Tanya anak laki-laki itu lagi.
"Ayah dan Ibu jahat padaku" jawab Sakura kecil (tetap menagis dan menutup wajahnya)
"Mereka memukulmu?"
Sakura kecil menggeleng.
"Mereka tidak memberikan yang kau minta?"
Sakura kecil menggeleng.
"Mereka meninggalkanmu?"
Sakura kecil terdiam. Anak laki-laki itu mulai mengerti.
"Kalau begitu kita ke kantor polisi saja" ajak anak laki-laki itu.
"Tidak. polisi tidak bisa membantu. Aku mendengarnya. Polisi sendiri yang memberitau nenek, kalau ayah dan ibu hari ini dimakamkan. Hikz.." Sakura kembali menangis lebih keras.
Anak laki-laki itu terpaku. Ia diam seribu kata.
"hikz… mereka jahat. Mereka meninggalkanku di hari ulang tahunku ini. Mereka bohong. Ayah dan Ibu tidak sayang padaku. Mereka jahat!" seru Sakura disela tangisnya seraya tetap menutup wajahnya.
Anak laki-laki itu mendengus. "Kau payah!" umpat anak laki-laki itu.
Sakura tetap menangis.
"Memangnya kau pikir setelah kau menangis. Orang tuamu akan kembali. Begitu? Huh! Bodoh sekali. Tak ada gunanya kau menangis dan berteriak seperti itu" ujar anak laki-laki itu dengan ketus membuat Sakura semakin keras untuk menangis.
'pluk' tiba-tiba Sakura merasakan suatu benda menutupi kepalanya. ia tidak tau itu apa -karena Sakura masih menutup matanya-. Suara tangis Sakura mulai merendah(?)
"Aku tidak tau caranya menghentikan orang menangis. Tapi kurasa topi ini bisa. Karena topi ini diberikan pamanku sebelum ia meninggal agar aku tidak menangis lagi. Dan itu berhasil sampai sekarang. Kuharap itu juga berhasil padamu" ujar anak laki-laki itu.
Sakura terdiam. Kali ini dia tidak menangis lagi. Perlahan ia membuka kedua tangannya dari depan wajahnya. Mata emerladnya masih basah karena sisa tangis yang panjang. Membuat Sakura tidak begitu jelas melihat wajah anak laki-laki itu. Tapi dia masih bisa melihat…
Anak laki-laki itu tersenyum seraya berkata "Jangan menangis lagi"
Tiba-tiba terdengar ada anak laki-laki yang lebih tua darinya berteriak dari kejauhan. "Otouto!! Ayo cepat pulang. Sepertinya mau turun hujan!"
Anak laki-laki itu berbalik. "Iya Aniki! Aku segera ke sana!" serunya seraya berlari meninggalkan Sakura ternganga duduk sendiri.
Setelah sadar. Sakura menyesal karena tidak sempat menanyakan siapa namanya. Sakura menghapus air matanya lalu mengambil benda yang ditinggalkan anak laki-laki itu di atas kepala Sakura.
Topi merah yang bertuliskan 'SA' di depannya. Sakura tersenyum seraya memeluk topi itu. "Terimakasih…"
~~End Flashback~~
"Semenjak saat itu aku bejanji. Aku akan mengembalikan topi ini padanya. Meskipun aku tidak tau siapa dia" ujar Sakura mengakhiri ceritanya.
"hehmp…"
Sakura menoleh. Melihat Sasuke menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Sepertinya… dia menahan tawa?
"Apanya yang lucu?" Tanya Sakura heran.
"hn. Polos sekali. Aku baru dengar topi bisa menghentikan tangis orang lain. Itu konyol sekali!" Sasuke menyeringai.
"Tapi itu berarti bagiku. Tau!" seru Sakura kesal karena merasa diejek oleh Sasuke. Ia menggembungkan pipinya seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
"hn. Terserah" Sasuke memutar bola matanya bosan.
"…"
"…"
"Aku kabur dari rumah" ujar Sakura menunduk.
Sasuke sedikit terkejut dengan pernyataan Sakura yang tiba-tiba. 'kabur?'
"Sebenarnya aku dihukum Ino-neechan. Aku dilarang keluar kamar sampai nenekku pulang. Tapi aku bosan di dalam kamar terus. Lagipula ini tidak adil bagiku. Ino-neechan seenaknya menghukumku. Padahal dia sendiri juga pernah ke hutan Oto. Tapi saat itu dia tidak dihukum karena tidak ketahuan oleh nenek. Sedangkan aku…." Gerutu Sakura.
"…."
"Aku tau. Aku salah. Bahkan sangat salah…. Aku yang pertama kali tidak percaya dengan cerita Hinata. Naruto hanya mengiyakan ucapanku. Aku juga yang meminta tolong pada Hinata untuk membuka laci meja yang berada di rumah tua itu. Seandainya saat itu aku tidak menyuruhnya, pasti tangan Hinata tidak akan disengat kalajengking dan Kiba tidak akan menghisap racun itu. Jadi… kiba tidak akan… ti-dak-a-kan…" Suara Sakura mulai gemetar. Ia masih menunduk menatap tanah di pijaknya.
"hn. Kau memang salah!" tuduh Sasuke.
Sakura menoleh menatap Sasuke yang duduk di emeraldnya mulai berkaca kaca. Sakura sedikit kesal. Bukan itu yang diinginkannya keluar dari mulut Sasuke. Dia ingin Sasuke menghiburnya, bukan menuduhnya.
"Apa? Kau ingin aku berbohong dan mengatakan kau tidak bersalah. Begitu?" Tanya Sasuke melihat Sakura yang menatapnya kesal.
Sakura terhenyak. Yah memang itu yang diingankannya dari Sasuke. Menghiburnya… tapi, apakah memang harus berbohong? Setidaknya Sasuke mengatakan 'kau tidak salah. Ini memang sudah takdir tuhan' tapi apakah itu termasuk berbohong? Apa salahnya berbohong demi membuat orang lain lebih tenang, bukan?
Sasuke mengalihkan pandangannya ke depan. Ia tidak mau terlalu lama menatap wajah Sakura di sampingnya. Di tambah lagi mata emerald itu berkaca-kaca, menahan air yang siap jatuh kapan saja. Jujur… pemuda berkacamata itu tidak tega melihat perempuan bersedih, apalagi menangis.
"Kau, Aku, Naruto, Hinata, bahkan Kiba. Semuanya bersalah dalam hal ini. Itu wajar, karena semua manusia pernah mengalaminya. Tapi bukan itu masalahnya. Yang harus kau hadapi sekarang adalah bertanggung jawab atas kesalahan yang telah kau lakukan. Bukannya lari dari tanggung jawab, dan melakukan kesalahan baru. Seperti kau yang lari dari hukumanmu" ujar Sasuke seraya menatap lurus ke depan tanpa menoleh ke Sakura.
"Tapi… i-tu tidak~"
"Tidak adil? Hn… dunia ini memang tidak pernah adil. Siapa bilang orang pernah mengalami keadilan yang sesungguhnya? Kalau pun ada, hanya orang itu yang merasa adil, sedangkan bagi orang lain belum tentu adil. Itu bukan arti keadilan yang sesungguhnya. Jika kau mau keadilan yang benar-benar adil. Silahkan kau pergi menyusul Kiba. Di sana kau akan mendapatkannya" kata Sasuke lagi.
Sakura mencoba mencerna ucapan Sasuke. Dia ada benarnya. Keadilan yang dirasakan sepihak bukanlah keadilan yang sesungguhnya. Manusia memang egois, mereka merasa adil jika menguntungkan bagi dirinya sendiri bukan bagi orang lain. Kenyataannya, itu yang selalu terjadi di dunia ini. Tidak ada yang adil di dunia ini. Kecuali di akhirat.
Kali ini Sasuke kembali menoleh ke sampingnya. Menatap mata Emerald dari balik kacamatanya. "Ini kenyataan. Kau salah dan kau harus bertanggung jawab atas kesalahanmu. Hidup di Dunia ini memang tidak adil. Kau harus menerimanya." tambah Sasuke seraya tersenyum kecut.
~~Sasuke's POV~~
Hm… kuharap dia mengerti makna dari kata-kataku. Aku sendiri mendapatkan kata-kata bijak ini dari seseorang…
Yah. Seseorang yang pernah mengisi ruang di hatiku. Dia perempuan yang selalu menemaniku di Ame. Menemaniku di saat kesepian. Menghiburku di saat sedih. Dan dialah yang mengatakan kata-kata bijak ini padaku saat aku marah dan merasa tidak adil karena aku terlalu jauh ketinggalan oleh kakakku (dalam hal prestasi)
Hmm.. aku jadi teringat dia. Mantan kekasihku di Ame. Bagaimana keadaannya sekarang?
Ah! Sudahlah. dia hanya masa laluku.
~~End Sasuke's POV~~
Sakura terisak. Ia menunduk seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
'Dia menangis? Hey. Apa ada yang salah dengan ucapanku?' pikir Sasuke heran.
"Hikz… Aku memang salah…" ujar Sakura di sela tangisnya.
'Oo… dia menyesal. Hn. dasar perempuan. Terlalu dramatisis. Gitu aja langsung nangis' umpat Sasuke dalam hati.
"Kau kan sudah memakai topi itu. Kenapa kau tidak berhenti menangis?" Tanya Sasuke dengan nada mengejek mengingat cerita masa kecil Sakura yang tadi.
"Hikz.. itu konyol sekali. Mana ada topi yang bisa menghentikan tangis orang!" gerutu Sakura di sela tangisnya (emang bisa?)
Sasuke tersenyum menahan tawa. 'benarkan apa yang aku bilang tadi?' pikirnya.
Sakura masih saja terisak membuat Sasuke semakin gelisah melihatnya.
Sasuke menghela nafas. "Sudahlah…" ujarnya seraya perlahan merangkul Sakura dan membawa gadis itu menangis dipelukannya.
Sakura yang awalnya terkejut dengan perilaku Sasuke yang tiba-tiba hangat padanya. Toh menerima juga dirinya dipeluk seperti itu. Lagipula, dia merasa lebih tenang sekarang.
-
*#~o0o~#*
-
Naruto langsung cengar-cengir setelah menerima telpon dari seseorang.
"Hinata-chan. Ada kabar bahagia. Neji-senpai sudah kembali ke Konoha. Dia sekarang ada di bandara Konoha dan akan langsung menjengukmu ke sini" ujar Naruto tanpa menghilangkan senyuman tiga jarinya.
Namun yang diajak bicara tidak menanggapinya. Hinata duduk di atas ranjang pasien dengan seluruh kakinya yang diselimuti seprei biru muda. Di punggung Tangan kanannya tertancap alat infuse menandakan fisiknya belum sembuh total. Mata lavendernya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Sedangkan Naruto duduk di kursi samping kanan ranjang Hinata.
Senyum tiga jari Naruto pudar melihat Hinata terlihat sedih. Kenapa masih sedih? Apa dia masih memikirkan mimpi buruknya tadi?
"Hinata-chan?..." panggil Naruto yang mulai khawatir.
"Naruto-kun…. Kiba-kun dimana?" Tanya Hinata dengan nada lirih tanpa menoleh ke Naruto. Tatapannya masih kosong lurus ke depan.
Naruto menunduk lesu. 'Oo.. itu yang dipirkanya..' batin Naruto.
"Mana Kiba-kun?" Tanya Hinata sekali lagi, karena sedari tadi Naruto hanya terdiam. Sebenarnya Hinata tau Kiba sudah tak ada, tapi dia masih berharap hal yang dia alami di Hutan Oto juga sebuah mimpi buruk.
"Maafkan kami Hinata-chan……. Kiba tidak tertolong" jawab Naruto lirih masih tetap menunduk. Enggan untuk melihat wajah Hinata.
"Tidak tertolong? Artinya apa?"
"Artinya… Kiba sudah pergi…"
"Pergi kemana?"
"Pergi ke tempat yang sangat jauh. Jauh sekali…."
"Kapan Kiba-kun kembali?"
"Dia tidak akan kembali"
"Kalau begitu… apa aku bisa menyusul Kiba-kun?"
"Hinata-chan Hentikan!" seru Naruto seraya menengadah melihat Hinata.
Setetes air jatuh dari mata Samudra Naruto. Tapi air itu tidak sebanding dengan derasnya sungai kecil yang sudah membasahi kedua pipi Hinata. Dia menangis.
Hinata menggigit bibir bawahnya yang sudah gemetar. Kedua tangannya saling menggenggam erat. Hatinya sakit. Perih. Menerima kenyataan kalau ini semua bukanlah mimpi buruk yang dialaminya.
"Kiba-kun…… k-kau bodoh…" gumannya lirih. "K-kenapa kau pergi begitu cepat? Kenapa? Mana janjimu yang akan terus melindungiku… bagaimana caramu melindungiku jika kau sendiri pergi tanpa membawaku? Dasar bodoh" ujar Hinata lagi disela tangisnya.
Naruto terkejut. Ini pertama kalinya Hinata mengatai orang 'bodoh' (meskipun orang itu sudah tak ada). Apa ini karena emosinya sudah tak terkotrol lagi gara-gara betapa sakitnya hati Hinata.
"Siapa? Siapa yang akan melindungiku jika kau sudah tak ada… kiba-kun… siapa lagi selain dirimu?" Tanya Hinata lirih entah pada siapa.
"Hinata-chan…." Tangan Naruto bergerak menggenggam kedua tangan Hinata. Hatinya lebih sakit melihat keadan Hinata yang seperti orang setengah gila.
Mata Lavender itu tidak berhenti mengeluarkan air mata perih.
Tangan kiri Naruto mengangkat dagu Hinata dan mengarahkannya menghadap wajah Naruto. Mata Samudra itu menatap dalam Mata lavender yang sembab.
"Aku mohon jangan bertingkah seperti ini. Kiba pasti sangat sedih jika melihatmu seperti ini. Terlebih diriku" mohon Naruto.
"Ta-pi… si~"
"Sstt…" jari telunjuk tangan kanan Naruto menempel pada bibir Hinata. "Tenang saja. Ada aku di sini. Aku yang akan selalu menjagamu. JANJI" ujar Naruto menatap mata Hinata. Berusaha meyakinkannya kalau dia sungguh-sungguh.
Kali ini Hinata mulai tenang. Tak ada lagi air yang keluar di mata indahnya itu.
Dengan lembut Naruto menghapus sisa-sisa sungai kecil di kedua pipi Hinata seraya mengatakan "Jadi… kau jangan menangis lagi ya? Hinata-chan…"
"Naruto-kun…"
"ya?"
"B-berjanjilah kau juga tidak akan meninggalkanku" pinta Hinata lirih. Ia tidak mau lagi ada yang menyusul Kiba-kun karena dirinya.
Naruto terdiam. Ia menjauhkan kedua tangannya dari wajah Hinata.
"Naruto-kun?" Hinata menatap mata Samudra itu heran.
Tiba-tiba Naruto tersenyum tiga jari ala Namikaze. Ia langsung mengacungkan jari kelingking tangan kanannya di hadapan Hinata seraya berkata.
"Aku. Namikaze Naruto BERJANJI. Akan selalu menjaga Hyuuga Hinata sampai titik darah penghabisan. Dan tidak akan pernah pergi meninggalkan Hyuuga Hinata. SELAMANYAAA!!" Seru Naruto bersemangat.
Wajah Hinata mendadak merah bak kepiting rebus. Dia tidak menyangka Naruto mengatakan hal itu. 'dia…. Ah tidak! dia melakukan ini hanya karena sebagai tanda persahabatan. Iya. Hanya sebagai sahabat. Aku tak boleh ge-er' batin Hinata.
"Hinata-chan? Kau tak percaya pada janjiku?" Tanya Naruto karena Hinata tidak menanggapi jari kelingking Naruto.
Hinata sadar dari lamunanya. "ah! I-iya.."
Hinata langsung mengaitkan jari kelingking tangan kanannya pada jari kelingking Naruto seraya berkata. "A-aku percaya"
Naruto langsung tersenyum lebar melebihi tiga jari *?*
Mau tidak mau Hinata yang merona juga ikut tersenyum lembut. 'Naruto-kun… kau memang selalu bisa membuat sahabatmu ini tersenyum lagi'
Mulai saat ini. Mereka berdua berharap… janji ini tidak akan terlanggar. Yah.. hanya bisa berharap……

~~TBC~~

0 komentar:

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut