DILEMA CINTA DIANTARA SAHABAT PART 27

Senin, 24 Desember 2012
Dilema Cinta Diantara Sahabat
By Sayaka Dini-chan
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: NaruHina, SasuSaku, & GaaraShion.
Warning: AU, OOC, GAJE! ABAL ANEH!

 PENGAKUAN
Chapter 27
*#~DCDS~#*

"Yah! Aku memang Cemburu!"

Seketika langkah Sakura terhenti bertepatan dengan hilangnya senyuman gadis itu. Dia berdiri mematung membelakangi Sasuke.
.
.
.
Hening, selang beberapa detik. Hingga terdengar suara langkah kaki Sasuke yang mendekati Sakura.
"Oi Sakura. . ."
Tak ada jawaban, membuat Sasuke harus bertindak membalik tubuh Sakura agar berhadapan dengannya. Sakura memasang wajah kesal seraya menatap tajam Sasuke.
Mendadak Sakura berseru lantang sambil menunjuk hidung Sasuke, "Kau!"
"Apa?" kening Sasuke berkerut, heran sekaligus terkejut.
"Teman macam apa kau ini? Kenapa kau menyembunyikan banyak rahasia dariku!"
"Maksudmu?" Sasuke semakin bingung. Tanpa dia sadari, Sakura sedang berusaha mengalihkan pembicaraan. Daripada gadis itu diam terpaku dengan rona merah di wajahnya dengan kata 'cemburu' yang baru saja diucapkan Sasuke, lebih baik sekalian saja dia marah dan mengeluarkan semua unek-uneknya. Sakura kembali mengingat pertemuannya dengan Karin dua puluh lima menit yang lalu.
~Flashback~
Sakura menyeruput teh hangat suduhan Karin, lalu kembali menatap Karin dengan heran. "Kenapa kau mau membantuku? Bukannya kau adalah err. . . mantannya Sasuke?" tanya Sakura ragu.
Karin tersenyum geli. "Memangnya kenapa? Apa salah kalau aku ingin dia lebih bahagia dengan gadis lain, hm?"
Sakura masih terlihat ragu. "Kau yakin? Beneran nih? Rela?"
"Ya ampun Sakura," Karin menggeleng. "Kau tak perlu khawatir. Hubunganku dengan Sasuke sudah lama berakhir, yah karena kami berdua memang sudah tidak merasa cocok lagi. Bagi kami menjadi teman akan terasa lebih baik sekarang."
Karin mengambil bantalan kursi di sampingnya lalu memeluknya. "Seperti kata orang awam biasanya, 'yang lalu biarkanlah berlalu.' Lagian sekarang aku sudah memiliki orang yang sangat tepat untukku," Karin tersenyum penuh arti.
Sakura hendak bertanya, namun terhenti karena terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Menampakkan Suigetsu yang baru saja keluar dari kamar mandi, hanya menggenakan handuk putih yang melilit dipinggangnya dan selembar handuk lainnya yang melingkari lehernya.
"Ah. . .Segarnya. . ." guman Suigetsu yang masih belum paham dengan situasi sekitar. Matanya lalu mengerling ke arah sofa. "Oh ada Sakura yah? Malam!" sapanya santai.
Sakura mangap, karena belum sempat dia bicara, bantal sofa dari Karin sudah melayang dan mendarat indah di wajah Suigetsu.
"Cepat masuk ke kamarmu! Dan berpakaianlah yang sopan! Sui-kun no baka!" hardik Karin kesal dengan rona merah di wajahnya. Entah karena marah atau malu.
Suigetsu langsung menurutinya jika dia tidak ingin buku tebal di tangan Karin menjadi tersangka kedua atas isiden 'Peleparan indah pada wajahnya'.
Setelah menormalkan emosinya, Karin segera meminta maaf pada Sakura atas kejadian barusan. Sakura mencoba tersenyum memaklumi.
"Jadi. . . Apa yang membuatmu memilih Suigetsu daripada Sasuke-kun?" tanya Sakura penasaran.
Sedikit terkejut mendengarnya, tapi Karin tetap menjawab meskipun wajahnya kembali merona. "Aku sudah kapok dengan bocah seperti Sasuke. karena itu aku lebih memilih Suigetsu yang jauh lebih tua dari pada aku,"
Melihat mimik wajah Sakura yang mendadak bingung, membuat Karin terkejut. "Masa' hal sepele seperti itu Sasuke tidak memberitahukan padamu?"
"Apa itu?" tanya Sakura semakin bingung.
Dia merasa dirinya seperti orang bodoh sedunia saat mendengar penuturan terakhir dari Karin. "Aku ini dua tahun lebih tua dari Sasuke, Sakura. . ."
~Flashback off~
"Kalau saja dari awal aku tahu hal itu, aku pasti akan memanggilnya dengan sebutan sopan, 'Karin-neesan' misalnya," ujar Sakura kesal. Ia kembali menatap Sasuke dengan tajam.
"Lalu yang kedua!" seru Sakura lagi, tanpa memberi kesempatan pada Sasuke untuk berbicara. "Sekarang aku benar-benar yakin kalau topi ini memang milikmu! Dan malangnya, info ini aku tahu dari kakakmu bukan dari dirimu sendiri Sasuke-kun! Padahal kupikir kita teman, tapi kenapa kau tidak jujur saja!" Sakura melepaskan topi merah yang digenakannya, lalu diayunkan untuk memukul dada Sasuke berulang kali, melampiaskan amarahnya pada kegiatan tersebut.
Tak lama Sasuke terdiam, tangannya bergerak menghentikan lengan Sakura. "Sudah puas marahnya?"
Sakura semakin cemberut, ia menarik lengannya lalu melempar topi merah itu ke dada Sasuke, hingga topi malang itu terjatuh di permukaan tanah.
"Aku masih marah padamu!" ngaku Sakura masih dengan nada kesal.
"Kenapa? Karena cemburu dengan Karin?" sebuah pertanyaan menjebak dilontarkan Sasuke, dan bodohnya, Sakura yang terbawa emosi tidak menyadari hal itu.
"Bukan hanya karena itu Sasuke-kun! Cemburu sih memang iya! Tapi kau juga seharusnya dari awal jujur pada–" Sakura membeku, begitu menyadari dengan kalimat apa yang baru saja diucapkannya. Oh Tidak! lagi-lagi dia keceplosan. Sampai kapan sifat buruknya ini akan hilang?
Dengan ragu, ia melirik wajah Sasuke yang masih menampakkan raut datar seolah tak terjadi apa-apa. Namun sedetik kemudian sebuah seringai kecil terbentuk di sudut bibir Sasuke, membuat Sakura bergidik.
Takut dengan berbagai kemungkinan yang terjadi, salah satunya berbuat salah tingkah di depan Sasuke. Sakura mengambil langkah mundur, berniat segera lari memasuki rumahnya. Namun lagi-lagi usaha itu digagalkan Sasuke.
Dengan gerakan cepat, Sasuke menarik Sakura ke dalam pelukannya.
Terlalu mendadak, membuat Sakura terkejut. Selisih tinggi sebesar tujuh centi mengakibatkan wajah Sakura menabrak bahu Sasuke. Mata emeraldnya sedikit membulat, bertepatan dengan detak jantung yang berdegup kencang. Didekap seperti itu membuat tubuh Sakura seolah membeku di bokahan batu es dan tak bisa bergerak sama sekali, hanya saja tubuhnya terasa lebih panas bukan dingin yang menggigil.
Kedua tangan Sasuke melingkari pinggul Sakura, dan hembusan nafas panas terasa di atas ubun-ubun Sakura, memberikan sensasi nyaman tapi aneh yang membuat sekujur kulit Sakura merinding.
"Sakura. . ." bahkan suara berat yang terdengar lebih dekat kini, membuat Sakura seakan meleleh di tempat. "Dengarkan aku dulu. . ."
Lidah Sakura terasa keluh, sehingga dia hanya mampu menjawab dengan anggukan kecil.
"Aku tidak memberitahukanmu tentang Karin karena kupikir itu tidak penting bagimu. Tak ku sangka ternyata kau cemburu padanya," tutur Sasuke, membuat Sakura langsung berblushing ria di balik bahu Sasuke.
Hening. Keduanya tak ingin mengubah posisi masing-masing. Sakura sendiri tak ingin mengangkat wajahnya, takut bila Sasuke melihat rona merah di wajahnya. Hingga Sasuke memutuskan untuk memecahkan keheningan lagi.
"Sakura. . ."
"Y-ya?" butuh usaha keras bagi Sakura untuk menggerakan lidahnya.
"Lain kali jangan mencoba menjauh dariku," lirih Sasuke
"Memangnya kenapa?"
"Bodoh! Tentu saja karena aku takut. . ." Pelukan Sasuke semakin erat. Sakura sendiri bisa mendengar detak jantung mereka berdua seolah bersahutan dengan kencangnya.
Kali ini Sasuke berucap dengan pelannya seolah berupa bisikan tepat di samping telinga Sakura, dan itu sangat jelas terdengar oleh Sakura.
". . . Aku takut kehilangan dirimu. . . ."
Sakura yakin detak jantungnya sempat berhenti walaupun setengah detik saja saat mendengar pengakuan Sasuke. Rasa hangat menjalar di dadanya, paru-parunya seakan terikat membuat nafasnya sesak. Kedua tangannya perlahan membalas pelukan Sasuke dengan meremas kemeja di balik punggung Sasuke.
". . . Karena kau adalah milikku . . . Iya kan Sakura?" secara tak langsung, kalimat Sasuke ini termasuk permintaan yang memaksa dan tak ingin mendengar kata tidak dari lawan bicaranya. Tapi, siapa yang peduli?
Karena biarpun tenggorokan Sakura terasa kering untuk bersuara, dia tetap mengiyakan pernyataan Sasuke dengan tanda anggukan dalam pelukan Sasuke.
Rasa bahagia Sakura yang tak terbendung lagi akhirnya lepas, perasaan hangat di dadanya tersalurkan pada kedua matanya yang berair. Seolah dibebaskan oleh tali yang mengikat paru-parunya, kedua bahunya berguncang menyalurkan rasa syukur. Senyuman bahagia pun menghiasi tangis lega yang dikeluarkan Sakura di balik bahu Sasuke, di dalam pelukan Sasuke, dan di dalam hati Sasuke.
Gadis itu memanjat doa syukur karena ternyata pemuda yang diinginkannya juga tak ingin kehilangan dirinya.
–Fin–? Oh tidak, hanya bercanda… :D
*#~DCDS~#*
"Kita perlu bicara Naruto-kun…" nada ketegasan yang jarang tersirat dari gadis lembut itu, kini terpancarkan, menandakan bahwa ada hal serius yang memang harus dibicarakan dan diakhiri…
Naruto mulai takut dengan dugaan buruknya selama ini akan terjadi. Mengingat sifat Hinata yang lebih mementingkan perasaan ayahnya dari pada dirinya sendiri. Bisa jadi dia akan meminta Naruto untuk menjauhinya dan melupakannya. Agar masalah ini segera selesai, dan Hinata bisa hidup selamanya dengan orang pilihan ayahnya.
Tidak! Naruto tidak ingin kalau Hinata melarang Naruto untuk mendekatinya. Naruto tidak keberatan jika Hinata masih menolaknya, dia juga tidak keberatan jika Hinata lebih memilih pria lain, tapi Naruto tidak bisa terima jika Hinata melarangnya berjuang untuk mendapatkan Hinata kembali.
"Aku sudah mendengar penjelasan Shion tadi t-tentang dirimu Naruto-kun. Dan aku sudah mengambil sebuah keputusan," tutur Hinata.
Nyali Naruto mulai ciut. 'Memangnya apa saja yang dikatakan Shion-chan? Kuharap itu bukan hal yang memojokkanku' pikir Naruto.
"S-sudah cukup dengan semua kesedihan yang kita pendam Naruto-kun. Aku mau ini semua berakhir, karena itu. . . Aku ingin. . ." Hinata menunduk, menutupi ekspresi wajahnya. Dan hal itu membuat Naruto semakin takut.
Naruto menutup kelopak matanya dengan erat, kedua tangannya juga hendak menutup telinganya tapi tidak jadi karena tak ingin menyinggung Hinata. Dengan terpaksa Naruto harus mendengar pengakuan Hinata. Walaupun itu menyakitkan. Tapi ternyata, kalimat yang diucapkan Hinata diluar dugaan Naruto.
". . . Aku ingin kau memperjuangkanku Naruto-kun. . ."
Naruto langsung membuka matanya, hingga ia dapat melihat Hinata merona merah di hadapannya. "A-apa tadi? Coba kau ulangi Hinata-chan," pinta Naruto mengira ia barusan salah dengar.
Hinata menarik nafas panjang sebelum menjelaskan maksud dari ucapannya tadi.
"Aku sudah berubah pikiran Naruto-kun. Awalnya kupikir, a-aku bisa melupakanmu, kupikir aku bisa mengubah perasaan lebihku terhadapmu menjadi perasan biasa layaknya seorang teman. Tapi nyatanya tak bisa Naruto-kun," Hinata menunduk seraya menggeleng lemah.
Kedua tangan Hinata gemetar dan saling bertautan. "A-aku tak sanggup jika melihatmu bersama gadis lain, Aku tak sanggup jika kau meninggalkanku, A-aku tak sanggup jika bukan kau yang berada di sisiku."
Tak ada reaksi yang dikeluarkan Naruto. Masih tetap berdiri dan terus memandang Hinata. Mencoba mencari kejujuran dari ucapan Hinata barusan.
Perlahan Hinata menengadah, memberanikan diri untuk menatap langsung mata Naruto. "Kau benar Naruto-kun! Aku bukan boneka yang bisa dikendalikan begitu saja oleh ayahku! Aku memiliki perasaan! Benar yang dikatakan Saku-chan! Aku punya pilihan. Dan aku memilihmu Naruto-kun!"
Kehangatan mulai menjalar di hati Naruto.
Suara Hinata semakin serak, matanya mulai berair. "T-tapi aku tidak mampu sendirian berontak terhadap keputusan ayahku! Aku butuh bantuanmu Naruto-kun! Bantu aku! Rebut Aku! Bebaskan Aku! Kalau bisa bawalah aku lari bersamamu!" tangis kecil Hinata mulai pecah, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya untuk menutupi tangisannya sekaligus rasa malunya. Hinata sendiri tidak menyangka bisa mengatakan hal ini semua.
Apalagi Naruto. Pemuda pirang itu terperangah, gadis di hadapannya seperti bukan Hinata yang selama ini Naruto kenal. Bukannya Hinata itu orangnya pemalu, dan lebih memilih memendam perasaannya daripada mengungkapkan terang-terangan seperti ini. Gerangan apa yang membuat Hinata bisa berubah seperti ini? Tapi yang jelas, dengan pengakuan Hinata barusan, semua terasa jelas bagi Naruto. Dan kini pemuda itu bisa bernafas lega.
Hinata terus terisak sendiri, hingga Naruto mendekatinya dan mendekapnya dalam sebuah pelukan hangat.
"Sudahlah. . ." Naruto berusaha menenangkan Hinata dengan mengelus rambut indigo panjangnya. "Kau tahu Hinata-chan? Tanpa kau memintanya aku sudah pasti akan melakukannya. . . Karena aku juga tak ingin jauh darimu. . ." Naruto mengakhiri ucapan tulusnya dengan mengecup kening Hinata. Membuat perasaan Hinata yang awalnya galau, mulai terasa tenang, bahkan sangat nyaman.
*#~DCDS~#*
Tangis Sakura sudah mereda, namun Sasuke tak kunjung melepaskan pelukannya. Kau tahu? Dekapan hangat itu terasa sayang untuk dipisahkan bagi mereka berdua. (Ciyeee….. yang lagi kasmaran nih ye *Plakk!*)
"Sasuke-kun. . ."
"Hn."
"Apa boleh aku bertanya satu hal padamu?"
"Hn."
"Kenapa kau tidak bilang sejak awal kalau topi merah itu adalah milikmu?"
Lama tak ada jawaban dari Sasuke membuat Sakura penasaran dan menengadah untuk melihat raut wajah pemuda berkacamata itu.
"Sasuke-kun! Jawab aku!" tuntut Sakura.
Sasuke menghela nafas. "Topi itu 'kan sudah lama menjadi milikmu."
"Tapi tetap saja! Itu pemberian darimu! Setidaknya sejak awal kau memberitahukannya padaku. Dengan begitu aku tidak perlu –bla bla bla." Sakura terus mengomel. Membuat suasana romantis barusan terusik.
Dengusan bosan terdengar dari Sasuke. Satu tindakan cepat segera ia lakukan untuk mengembalikan suasana indah tadi.
Tangan kanan Sasuke yang memegang pinggul Sakura, menariknya kembali agar lebih dekat. Sementara tangan kirinya menahan punggung Sakura agar tak manjauh. Wajah Sasuke sengaja menunduk, membuat kening keduanya hampir saling bersentuhan.
Sakura langsung bungkam dan kembali membeku. Jarak hidung yang tinggal berapa inci lagi membuat hembusan nafas mereka berdua seakan terhubung dalam irama yang memabukkan.
Dua pasang mata itu saling memandang, namun masih ada penghalang yang janggal bagi Sakura. Tangan kanan Sakura perlahan terangkat, ia memegang ganggang kacamata Sasuke dan menariknya lepas dari wajah Sasuke. Si pemuda tak keberatan akan hal itu, malah tersenyum tipis melihat tindakan berani Sakura.
Balasan senyum yang tak kalah manis diperlihatkan oleh Sakura, sebelum akhirnya matanya tertutup dan memiringkan sedikit kepalanya ke arah kanan. Begitu pula yang dilakukan Sasuke. Hingga wajah keduanya saling mendekat untuk menghilangkan jarak diantaranya.
Bibir keduanya bertemu, saling menekan lembut. Hingga Sasuke memberanikan diri melumat duluan bibir ranum Sakura. Gadis itu merinding, tangannya gemetar, dan kacamata yang dia pegang langsung terjatuh begitu lidah Sasuke menyeruak masuk ke dalam rongga mulutnya.
Tangan kanan Sakura lalu ikut bergabung dengan tangan kirinya untuk meremas rambut raven Sasuke yang mencuat kebelakang. Sakura mulai terbiasa membalas kenakalan lidah Sasuke dalam rongga mulutnya. Meskipun pada akhirnya dia pasti akan kalah dalam permainan lidah ini.
Untuk pertama kalinya. Pada malam ini, mereka mengabaikan benda (yang awalnya penting bagi mereka) tergeletak di kedua sisi kakinya. Topi merah yang kotor oleh debu, dan kacamata yang sudah retak tak layak pakai. . .
*#~DCDS~#*
"Hinata!" suara seseorang terdengar, bersamaan dengan langkah kaki yang mulai mendekat ke arah Naruto dan Hinata.
Gadis yang dipanggil mulai panic karena ia mengenal betul suara itu. Sedangkan Naruto langsung menarik Hinata ke balik pohon tak jauh dari tempat mereka semula. Sembunyi di balik bayangan pohon agar tak ketahuan Itachi, yang sedang mencari calon tunangannya itu.
"Hinata!" Itachi kembali memanggil sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia mulai khawatir, padahal baru sepuluh menit dia tinggalkan Hinata di rumah sakit, sekarang gadis itu hilang entah kemana, ditambah lagi ponselnya sama sekali tidak bisa dihubungi.
Perlahan terdengar langkah kaki Itachi mulai menjauhi dari tempat itu. Seharusnya Hinata bisa bernafas lega karena itu, tapi malangnya nafasnya seakan terasa sesak dengan rona merah yang selalu setia di wajahnya. Gimana tidak? saat ini posisinya sedang tidak memungkinkan untuk bergerak bebas, itu dikarenakan Naruto yang menghimpit tubuhnya dengan batang pohon yang sudah menempel di punggung Hinata. Oh tidak, jantung Hinata sudah terasa ingin lompat keluar dari tempatnya.
"N-naruto-kun?" Hinata sebisa mungkin ingin mendorong dada Naruto agar dia bisa bernafas lega.
"Ssst! Jangan ribut Hinata-chan. Nanti Itachi-nii bisa menemukan kita," pinta Naruto berbisik seraya menyentuh bibir Hinata dengan telunjuknya. Entah dari sananya Naruto itu bodoh atau dia memang pura-pura bodoh, sudah jelas tak terdengar lagi suara Itachi yang meninggalkan tempat itu satu menit yang lalu. Mana mungkin dia bisa mendengar suara Hinata maupun Naruto yang kelewat pelan, 'kan?
Telunjuk kanan Naruto perlahan turun, menyentuh dagu Hinata dan mengangkatnya agar tak lagi menunduk. Kendati mereka berdua bersembunyi di balik bayangan pohon, tapi mereka masih bisa melihat jelas wajah di hadapannya.
Kedua pasang mata mereka bertemu pandang, terpaku, seakan mengirim sebuah pesan isarat hati yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Bagi Hinata, mata sapphire Naruto terlalu sejuk dipandang hingga membuatnya mabuk sendiri bila melihatnya. Sedangkan bagi Naruto, mata lavender Hinata terlalu mempesona hingga ia seakan ditarik oleh medan magnet di dalamnya. Seperti kata pepatah, 'Dari mata turun ke hati,' bukan 'dari mulut turun ke lambung,'
Wajah Naruto perlahan mendekat ke arah Hinata. Melihat gelagat yang pernah dialaminya itu, membuat degup jantung Hinata kembali berdetak kencang.
Tangan kanan Naruto terus memegang dagu Hinata agar kali dia tidak menghindar, meskipun tanpa itu Hinata pasti tak kan menolak kali ini, karena dia sudah menetapkan hatinya. Terbukti dengan berhentinya Hinata mendorong bahu Naruto.
Hinata bisa melihat jelas kelopak mata Naruto yang perlahan tertutup dan semakin mendekat. Hinata juga ikut menutup matanya, mencoba rilekskan dirinya, meskipun badannya kembali membeku saat bibir hangat Naruto menyentuh permukaan bibirnya.
Tekanan lembut diberikan bibir Naruto, sebelum akhirnya pemuda itu melumat bibir ranum Hinata, membuat tekanan darah Hinata berdesir hebat ke permukaan kulitnya, wajahnya kembali memanas. Tangan Hinata meremas kedua bahu Naruto yang dilapisi kemeja, ketika merasakan lidah Naruto masuk dan menjelajahi rongga mulutnya. Sesekali Hinata memberanikan diri untuk melawan lidah hangat Naruto, meskipun pada akhirnya ia akan luluh juga dalam gulatan tersebut.
Panas dalam rongga mulut mereka tidak sebanding dengan kesejukan hati yang mereka rasakan saat ini. Hembusan angin malam, dan bayangan pohon yang menutupi mereka dari sinar rembulan, membuat kesan romantis tersendiri bagi mereka berdua. . .
*#~DCDS~#*
Gaara perlahan membuka matanya, mengerjapnya sesaat untuk membiasakan diri dari sinar lampu yang begitu menyengat penglihatannya. Kesadarannya kembali normal, benda dengan dominasi warna putih dan hijau muda, juga bau menyengat kimiawi khas obat, meyakinkan Gaara bahwa dia sekarang berada di kamar inap rumah sakit.
Sesuatu yang menahan berat tangan kanannya, mengalihkan perhatian Gaara. Pemuda dengan perban di kepalanya itu menongek ke samping. Melihat pemilik rambut kuning panjang sedang terlelap dengan posisi duduk di kursi dan mengenggam tangan Gaara sebagai bantal kepalanya.
Gaara tersenyum tipis. 'Shion. . .' panggilnya dalam hati.
Mungkin karena sudah memiliki ikatan batin atau memang hanya kebetulan belaka, Shion ikut terjaga dari tidurnya. Gadis itu mengangkat kepalanya dan mengucek kedua matanya. Tanpa melihat ke arah Gaara, Shion melirik jam dinding seraya menguap.
"Hoaaam. . . Aku ketiduran ya?" pertanyaan itu sebenarnya dimaksudkan untuk dirinya sendiri. Tapi jawaban "Hn," yang tiba-tiba terdengar dari Gaara, hampir membuat Shion terlonjak kaget.
Shion menunjuk Gaara dengan tatapan horror. "K. . .k-kau sudah sadar?"
"Hn,"
Perlahan raut wajah Shion kembali tenang, bahkan terlihat seolah lega dari kekhawatirannya semula. "Syukurlah. Kalau begitu akan kupanggilkan suster," Shion hendak berdiri, namun tangannya yang masih mengenggam tangan Gaara, tertarik ke arah pemuda itu.
Gaara menariknya, mengisyaratkan agar Shion tak usah pergi. Tapi malangnya, Shion yang baru saja bangun tidur sedikit linglung, membuat tubuhnya terhuyung ke depan, menimpa Gaara yang sedang berbaring.
"Akh!" Gaara meringis karena Shion menindih luka di pinggulnya.
"M-maaf." Shion gelagapan, ia ingin bangkit namun lagi-lagi tangan Gaara menahan pinggang Shion.
"Tak apa," guman Gaara tak keberatan.
Kedua tangan Shion bertumpu di kedua sisi wajah Gaara. Keduanya sama-sama terdiam. Mata jade dan mata violet itu saling bertemu pandang. Hening menyelimuti mereka. Hingga Shion tersenyum, bukan senyum sinis ataupun senyum mengejek seperti yang biasa diberikan Gaara jika mereka lagi bertengkar. Kali ini sebuah senyum malu-malu dimana mata violet itu melirik ke arah lain, dan garis merah yang menghiasi pipinya.
Gaara menahan tawanya dalam hati, dan dia ikut tersenyum tipis. Karena terlalu lelah –mungkin pengaruh obat– kelopak mata Gaara menutup, meskipun kesadaran belum sepenuhnya hilang.
"Terimakasih," guman Gaara pelan.
Shion terkejut. "Untuk apa?"
"Karena sudah menyusulku di hutan Oto."
Gadis yang menindih Gaara itu kembali tersenyum tulus. Sayang, Gaara yang menutup mata tidak melihatnya.
"Terimakasih juga untukmu," balas Shion.
Kening Gaara berkerut. "Untuk apa?" dia mengulangi pertanyaan sama dari Shion sebelumnya.
"Karena. . . Kau mengabulkan permintaanku. . ."
"Permintaan yang mana?" Gaara belum mengerti.
Shion menyembunyikan rona merah pada wajahnya, dengan menidurkan kepalanya di atas dada Gaara. "Yang saat itu loh." Shion sangat malu saat mengingat kembali kejadian itu. "Waktu kau pulang tengah malam. . ."
Gaara mencoba memutar memorinya, kira-kira apa yang pernah diminta oleh Shion? Jangan-jangan. . .
~Flashback~~
Malam itu, Shion yang setengah mabuk menarik leher Gaara agar menindihnya di atas sofa. Gadis itu kembali menarik kepala Gaara mendekat, hingga kedua hidung mereka bersentuhan. "Jangan… tinggalkan aku, seperti yang lain… Gaara-kun…"
~Flashback off~
"Aku sangat senang kau selamat Gaara-kun. . . Kau masih ada di sini. . ." guman Shion.
Gaara tersenyum. "Oh yang itu. Kau masih ingat kejadian malam itu rupanya. Kupikir kau mabuk,"
"A-aku memang mabuk! Aku tidak sadar dengan yang kulakukan saat itu!" sangkal Shion setengah berdusta, wajahnya kembali merona mengingat ciuman pertama mereka saat itu.
Tak ada jawaban dari Gaara. Hembusan nafasnya terlihat teratur.
"Gaara-kun? Apa kau sudah tidur?" tanya Shion memastikan seraya menengadah, melihat wajah lelap Gaara.
Gaara yang sudah berada di ujung tanduk kesadarannya masih sempat berguman "Hn." Kali ini dia benar-benar lelah, ingin rasanya segera terlelap kembali.
Shion menatap wajah polos Gaara. Dia baru sadar, wajah teman masa kecilnya ini sedikit berubah. Lebih terlihat. . . tampan. . . keren. . . dan lebih menarik dari orang manapun yang pernah Shion temui dalam hidupnya. Dan mata Shion benar-benar tak ingin lepas dari cowok yang terlelap di bawahnya ini.
"Gaara-kun," Shion kembali memanggil. "A-aku. . ." perlahan tangan Shion mengusap tulang pipi Gaara. "Saat ini jantungku berdetak sangat kencang Gaara-kun. . ." tutur Shion. Rasanya ia ingin melihat wajah Gaara lebih dekat lagi. "Tapi. . ." ada ketertarikan sendiri bagi Shion untuk mengecilkan jarak di antara mereka. "Aku menyukai hal ini. . ." hembusan nafas keduanya pun sama-sama terhambat karena ulah Shion.
Gaara yang seharusnya sejak tadi terlelap, mendadak pikirannya terasa dibanting 180'derajat. Kesadarannya kembali normal begitu Shion dengan beraninya mengecup bibir Gaara. Menekannya, memberikan kembali rasa menyenangkan pada bibirnya yang tak ingin Gaara akhiri secepat mungkin.
Tangan kiri Gaara yang tersambung oleh infuse, dipaksakan bergerak oleh pemilik sarafnya. Naik ke atas untuk menekan kepala Shion, mengisyaratkan agar gadis itu menyelesaikan apa yang sudah dia mulai sendiri. Shion sedikit tersentak, namun tak menolak, karena bibir Gaara yang melumat dan menyeruak masuk ke rongga mulutnya, bukan kali pertamanya saat ini.
Bagaikan sebuah dejavu, hanya saja kali ini posisi mereka berubah. Shion yang menindih Gaara, juga kesadaran Shion benar-benar normal. Dan Shion juga menginginkan hal ini terjadi dengan sepenuh hati, bukan karena pengaruh sake yang berbau alcohol. . .
*#~DCDS~#*
Hari ini KHS diliburkan, entah karena apa, mungkin insiden tertembaknya siswa KHS kemarin oleh orang yang tak dikenal membuat pihak sekolah khawatir akan keselamatan siswanya.
Dan hari ini benar-benar dimanfaatkan Sasuke untuk segera melanjutkan penyelidikannya. Pagi tadi dia dan Naruto sudah menjenguk Gaara yang telah sadarkan diri. Gaara tak banyak cerita tentang apa yang dia alami di Hutan Oto. Tapi Gaara menyampaikan pentunjuk yang dia dengar dari kakaknya, Sasori Sabaku, anggota Akatsuki itu sendiri.
"Ada salah satu anggota baru Akatsuki yang berasal dari anbu konoha itu sendiri. Dia kunci dalam misi akatsuki selanjutnya. Dan satu hal lagi, 'permainan' hutan Oto tidak sepenuhnya Akatsuki yang memegang."
Terkesan aneh memang. Kok bisa Sasori malah menyampaikan hal itu pada Gaara, dan kenapa juga Gaara mempercayainya begitu saja? Anehnya lagi, jelas-jelas Gaara kalah dalam pertarungan, namun tampaknya Sasori enggan menghabisi adik bungsunya itu. Gaara pun tak lagi membahas tentang kebenciannya pada kakak tersayang itu. Entah apa saja yang mereka bicarakan di hutan Oto, Sasuke tidak mau ambil peduli dengan urusan pribadi keluarga Sabaku tersebut.
Sasuke melajukan mobilnya di atas kecepatan normal, ia harus segera sampai di kantor pusat anbu dan mengecek info nama-nama anbu yang mungkin saja mencurigakan. Lagi-lagi Sasuke senang bergerak sendiri, dia biarkan Naruto pergi menemui Hinata. Sedangkan Sakura. . .
Rescue-tai mo yondeoita
Dakara Please Kiss me
Please Kiss me
All Night. . .
Dering ponsel Sasuke yang sudah berubah sejak semalam, kini berbunyi. Sasuke segera memasang handset di telinganya dan menjawab panggilan seseorang yang baru saja dipikirkannya, tanpa menghentikan laju mobil tentunya.
"Ya Sakura,"
"Kau ada dimana sekarang Sasuke-kun?"
"Di jalan."
"Kalau gitu segera ke toko NICO ya? Aku tunggu di sini."
Sasuke berpikir sejenak, "Tapi jalanku berlawanan arah dengan toko NICO."
"Kau tinggal putar balik saja. Gampang kan?" ujar Sakura santai.
Sasuke mendesah, "Aku sekarang dalam penyelidikan Sakura, tak bisa diganggu."
"Penyelidikan apa? Lagi-lagi kau menyembunyikan sesuatu dariku!" Sakura mendengus kesal di ujung telpon.
"Maaf,"
"Ya sudah, kau tunda saja dulu penyelidikanmu itu. Dan temui aku sekarang. Soalnya aku sudah janji kita akan mengadakan double date bersama Hinata dengan Naruto."
"Apa?" giliran Sasuke yang terkejut. "Double date? Kenapa kau tidak membicarakannya dulu denganku?"
"Apa aku salah? Kupikir kau juga pasti akan mau. . ." terdengar suara Sakura yang kecewa.
"Bukannya begitu Sakura. Tapi 'kan tidak harus sekarang?" terang Sasuke.
Hening sejenak, sebelum Sakura mengakhiri hubungan selulernya dengan ucapan, "Aku akan tetap menunggumu di sini, kalau kau tak datang, aku tidak mau bicara denganmu selama seminggu." Atau bisa dibilang itu sebuah ancaman daripada sekedar ucapan.
Dan hubungan ponsel pun terputus. Sasuke bengong sebelum akhirnya mendengus kesal.
Laju mobilnya berkurang, Sasuke lalu memutar arah mobilnya sambil berguman, "Ugh! Kenapa harus gadis keras kepala ini yang kusukai."
Untuk pertama kalinya dalam hidup Sasuke, ia mengabaikan ambisi penyelidikannya hanya demi seorang gadis yang bernama Sakura.
*#~DCDS~#*
Toko NICO, toko besar yang terkenal dengan peralatan music paling lengkap di kota Konoha, dilengkapi dengan café di dalamnya berfasilitas full music yang selalu berganti gender music tiap harinya. Dan tema hari ini bergender R&B.
Sakura duduk sendiri di salah satu meja sudut. Ia menikmati minuman sodanya, sesekali kakinya menghentakkan lantai mengikuti alunan music. Tak lama Naruto datang menggandeng Hinata dengan mesrahnya, tak peduli selama tak ada keluarga Hyuuga maupun Uchiha yang melihatnya, keculai Sasuke tentunya.
Mereka bertiga saling berbincang dengan serunya, merindukan suasana persahabatan seperti sebelumnya, wajar lah, akhir-akhir ini mereka jarang kumpul bertiga seperti ini.
Bosan menunggu Sasuke yang tak kunjung datang, Naruto mengusulkan untuk berkeliling di penjuru toko, melihat peralatan music meskipun mereka tak terlalu paham tentang alat music.
Singgah di depan alat pemetik gitar, Naruto dengan isengnya mengambil salah satu gitar berwarna merah dengan gambar rock star. Pemuda itu memasang gaya ala pemain gitar terkenal, pura-pura memainkannya. Dengan sombong, tangannya bergerak ahli meskipun tak ada satu pun suara yang terdengar kecuali music yang diputar toko.
Sakura dan Hinata saling memandang sebelum tersenyum, keduanya pun ikut berpura-pura sebagai fans berat yang bersorak riang seraya bertepuk tangan. Music berakhir, Naruto pun berhenti, ia mengecup telapak tangannya sendiri dan meniupnya beberapa kali seakan melepaskan ciuman tangan ke segala arah.
"Ayo lady, dimana yang perlu saya tanda tangani?" Naruto masih berakting layaknya artis terkenal.
"Huh! Belagu kau!" Sakura mendorong bahu Naruto dengan candanya.
Naruto nyengir. Hinata terkekeh kecil melihatnya. Namun tawa Hinata langsung terhenti begitu ada lengan besar yang merangkul lehernya dari belakang bertepatan dengan benda dingin yang menempel di sudut keningnya.
Hinata membeku, Naruto mendelik, Sakura nyaris menjerit. Melihat orang asing menggenakan jaket hitam bertundung dan bermasker pada wajahnya, hingga hanya mata hitamnya saja yang nampak, mendekap leher Hinata dan mengacungkan mulut pistol di sudut kening si gadis.
Awalnya Naruto kira orang itu adalah perampok toko. Tapi dia salah, karena orang itu hanya sendirian, mana mungkin ngerampok toko besar dengan seorang diri? Pria misterius tidak mengatakan sepatah kata pun, ia hanya melangkah mundur tanpa melepaskan Hinata dari dekapannya. Melihat gelagat orang itu, Naruto sadar tujuan orang tak dikenal itu ingin membawa lari Hinata.
Naruto melangkah maju, hendak menyerang pria itu jika saka ia tak ingat mulut pistol yang menempel di kening Hinata, siap meletuskan peluru yang menembus kepala Hinata kapan saja. Huh! Kenapa di saat seperti ini security toko malah tak ada?
Orang itu masih berjalan mundur, mengira sudah tak ada hambatan lagi. Namun Sakura segera mengambil tindakan. Ia rela melempar ponselnya sendiri dengan cepat, tepat mengenai jidat pria bermasker itu. Jangan salah, Sakura baru mempelajarinya dari Karin yang melempar bantal ke wajah Suigetsu.
Hinata mengambil kesempatan itu dengan bertindak mengigit tangan pria yang mendekapnya. Pria itu mengiris, dan menghempaskan Hinata ke lantai. Sakura segera menghampiri sahabatnya itu. Naruto menggeram marah langsung menyerang pria bermasker itu.
Dengan cepat Naruto menendang lengan pria itu sebelum peluru dalam pistolnya terarah ke wajahNaruto. Sebagai gantinya lampu toko di langit-langit menjadi korban sasaran peluru. Pistol pun terjatuh.
Suara letusan dan salah satu lampu toko pecah, sukses membuat para pengunjung toko lainnya menjerit histeris.
Perkalihan antara Naruto dan orang asing itu tak dapat dihindari. Serangan demi serangan dilancarkan Naruto, namun sepertinya pria asing itu cukup ahli dalam menangkis serangan Naruto. Pertarungan berlangsung imbang, jika saja Sasuke datang lebih terlambat dari ini.
Melihat situasi yang ada, tanpa banyak bertanya lagi, Sasuke membantu Naruto. Kali ini dua lawan satu, terkesan tak adil memang. Tapi siapa yang peduli? Jika hal ini sangat mendukung tokoh utama kita.
Perkelahian berakhir dengan serangan terakhir yang dikeluarkan dua 'pangeran' kita. Naruto dengan tinjunya mengenai rahang pria itu, dan Sasuke dengan tendangannya mengenai ulu hati pria itu.
Membuat pria yang ditugaskan untuk menculik Hinata itu tersungkur ke lantai. Malang sekali nasibnya, tapi sepertinya para pengunjung toko yang menikmati tontonan gratis tersebut, sama sekali tak menaruh empati padanya, malah bersorak senang atas kekalahannya.
Naruto jangkok di depan pria itu, ingin sekali ia menghajarnya kembali. Tapi tundung jaket kepala yang turun menampakkan rambut hitam kelam dan tatapan mata onyx padanya, membuat Naruto penasaran dengan wajah musuhnya itu.
Satu tarikan dilakukan Naruto untuk melepas masker yang menutupi wajah tersebut. Dan tampaklah bibir yang melengkung menciptakan senyuman khas, dengan sedikit darah di sudut bibirnya, sangat kontras dengan warna kulit putih pucatnya.
Naruto mendelik. Tak kalah terkejut dengan Sakura dan Hinata yang melihatnya dari jauh.
"Sai-senpai!"
Naruto lengah, Sai segera mengambil kesempatan ini dengan mendorong Naruto hingga tersungkur ke lantai. Dengan cepat ia melemparkan bom asap yang langsung menyelimuti penglihatan mereka semua. Suara gemeruh pengunjung toko sama sekali tak membantu kemana larinya Sai. Dan saat asap kelabu mulai menghilang, sosok Sai juga menghilang.
"Apa-apaan tadi?" Naruto masih belum mengerti dengan tindakan Sai.
Sasuke yang mematung, langsung memberikan dugaannya. "Dia orangnya. Sejak awal aku sudah menduga, diantara teman Tenten pasti ada pelaku yang memancingnya ke Hutan Oto. Kemungkinan Sai terlibat dalam kasus Hutan Oto."
"Ino-nee! Ino-nee!" Sakura mulai panic. "Kita harus segera memberitahukan Ino-nee!"
Mereka berempat langsung meninggalkan toko NICO, tanpa mempedulikan seruan security yang baru saja datang. Dengan mobil Sasuke, mereka melaju ke rumah Ino, yang entah kenapa ponsel kakaknya Sakura itu kini tak aktif.
*#~DCDS~#*
Sakura bersama teman-temannya, masuk ke kediaman Yamanaka tanpa mengucapkan salam 'Tadaima!'. Melainkan seruan lantang memanggil kakakknya. "INO-NEE!"
Tsunade keluar dari kamarnya dan memarahi Sakura yang bertindak tak sopan. Tanpa mempedulikan omelan neneknya itu. Sakura malah bertanya dengan panic, "Nek, dimana Ino-nee?"
"Dia di kamarnya. Dengan nak Sai yang baru saja datang. Memangnya kau ada perlu apa dengan kakakmu?" tanya Tsunde heran melihat tingkah cucunya itu.
Mata Sakura membulat. "Penting!" jawabnya singkat dan langsung melesat lari ke lantai dua, menuju kamar Ino diikuti Sasuke, Naruto dan Hinata dibelakang Sakura.
Rasanya Tsunade ingin naik darah melihat tingkat empat anak muda itu yang sama sekali tak sopan, oh kecuali Hinata yang berjalan paling akhir. Menyempatkan dirinya menyapa Tsunade dan mengucapkan kata 'permisi' dan 'maaf mengganggu anda'.
Sakura mendorong pintu kamar Ino dengan keras. "INO-NEE!"
Tak ada jawaban, bahkan tak ada satu pun orang terlihat dalam kamar tersebut. Angin berhembus melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Perasaan Sakura mulai tak enak. Ia segera berlari ke jendela. Dari lantai dua tersebut dia hanya bisa melihat pekarangan rumah dan rumah-rumah tetangga lainnya. Tak ada sosok Ino maupun Sai yang tertangkap.
Mereka terlambat. . .
Sasuke mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar Ino. Siapa tahu ada petunjuk. Termasuk secarik kertas yang tergelatak di atas ranjang. Sasuke mengambil kertas tersebut. "Sakura, lihat ini,"
Sakura mendekati Sasuke, dan ikut membaca isi pesannya. "Kalau mau dia kembali, serahkan anak Hyuuga itu padaku. . ."
Hening. . .
Hingga dengan gerakan slow motion, Sasuke dan Sakura berbalik ke arah Hinata. Menatap gadis itu penuh arti.
Hinata yang mendengar nama marganya disebut, membuat tubuhnya gemetar. Sementara Naruto yang melihat gelagat kedua temannya itu langsung mengambil tindakan.
Tubuh Naruto melangkah dan berdiri di hadapan Hinata, menghalangi pandangan Sasuke dan Sakura pada gadis-nya.
"Jangan berpikiran yang macam-macam, kawan!" nada tegas Naruto terdengar seakan mengancam.
*#~DCDS~#*
Di suatu tempat yang tak banyak orang mengetahuinya, Orang tua dengan perban di sebelah matanya menyeringai penuh arti. "Umpan telah dipasang. . ." gumannya.
Dan tawa licik pun menggelegar di ruangan tersebut. Sai yang berada di hadapannya hanya membungkuk dan pamit undur diri. "Permisi Danzo-sama. . ."
~~TBC~~
Next chap:
"Hinata-chan menghilang! Dia pergi menemui Sai!" Naruto panic.
.
Karin membuka buku kecil kuno yang sudah dia artikan itu dan menatap Sasuke di hadapannya. "Sekarang aku sudah tahu kisah sang putri di masa lalu,"
.
"Cih! Kenapa aku tidak cepat menyadarinya! Ini semua perangkap!" umpat Sasuke kesal.

0 komentar:

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut