Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: Alternate reality (AR), miss typo(s), out of topic (OOT), out of character (OOC).
Suara gembira seorang gadis sayup-sayup memasuki indera pendengarannya. Jari-jarinya perlahan bergerak seakan mencari genggaman yang pasti. Kelopak matanya perlahan membuka menampilkan iris mata sewarna lavender, semula hanya cahaya-cahaya dan warna redup yang dilihatnya, bayangan orang-orang yang mengelilinginya terlihat kabur. Setelah mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa saat untuk menormalkan penglihatannya, Hinata mengedarkan pandangannya, menerima tatapan-tatapan lega terarah padanya.
Ino dan Tenten membantu Hinata untuk duduk, menambahkan bantal-bantal empuk sebagai sandaran tubuhnya. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, Sakura memberikan segelas air putih pada Hinata.
"Habiskan minumnya, ya, Hinata. Ada tambahan obat untukmu yang larut dalam air itu," pesan Sakura pada Hinata saat gadis yang terkulai lemah di atas kasur dan bantal serba putih itu meminum air yang diberikan padanya.
"D-di mana ini?" tanya Hinata, diberikannya gelas yang telah kosong itu pada Tenten, dan Tenten meletakkannya di meja di samping tempat tidur pasien.
"Tentu saja di rumah sakit. Kau pingsan sudah dua hari lamanya. Yang lain hanya satu hari…" jawab Ino.
"Hinataaa! Akhirnya kau sadar juga…!" seru Kiba senang, Akamaru menyalak riang di samping pemuda itu.
"Hinata bisa pulang dari rumah sakit hari ini juga," kata Sakura dengan senyum terkembang. "Dia hanya butuh banyak istirahat."
"Syukurlah." Ino mendengar gumaman Shino yang berada di sebelahnya. Ino tertawa kecil lalu menggeleng-geleng seorang diri.
Mendadak Hinata ingatan-ingatan tentang misi yang diberikan Tsunade-sama menghampiri benaknya. Raut wajah Hinata seketika menjadi khawatir. Dipandanginya satu-satu teman-temannya yang melempar senyum padanya. "Ba-bagaimana dengan misinya?"
Sunyi.
Senyum mereka perlahan terganti dengan senyum yang dipaksakan, ada pula yang merasa keki dan bahkan segera saja berubah pandang menjadi non-ekspresi. Mereka saling melempar pandang dan mengedikkan bahu, seolah saling menimpakan masalah pada yang lainnya asal bukan pada diri-sendiri.
"Ah, misinya berjalan dengan baik, kok! Hahaha…" Sakura tertawa garing, lalu menolehkan wajah ke belakang dengan ekspresi mengancam dan menyeramkan. "….ya, kan, Teman-teman?"
Yang lain hanya mengangguk mengiyakan. Takut diapa-apakan oleh Sakura.
Hinata memandang satu per satu wajah teman-temannya, ia melihat keraguan dari beberapa orang dan itu semua membuatnya bertambah khawatir. Dia terus mencoba bertanya tentang misi mereka biarpun teman-temannya selalu mengalihkan topik pembicaraan agar menyimpang.
Merasa kalau tindakan teman-temannya yang lain sia-sia, Sasuke akhirnya menghampiri Sakura dan menarik gadis itu keluar ruangan, bagai pertanda bagi yang lain untuk kabur dari kewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan Hinata yang menyimpan kecemasan dan penasaran.
Saat Naruto mau keluar juga dari ruangan rawat Hinata, pintu keburu terbanting ditutup oleh Sasuke dan Sakura.
"Oi! Kenapa pintunya dikunci?" Naruto menggedor-gedor pintu. "Minna!"
"Kau temani saja Hinata dalam kamar! Oke?" teriak Sakura dari luar kamar.
"Sekalian jelaskan semua yang sudah terjadi padanya," Sasuke menambahkan.
"Nande? Kenapa harus aku sendiri yang menjelaskannya?" seru Naruto sambil menekan-nekan gagang pintu. "Kan ada bagian-bagian yang tak bisa kuceritakan!"
"Heeeiii! Kalian bertiga bisa merusak pintu rumah sakit, tau!" terdengar Ino berteriak panik. "Sudahlah, Naruto. Kau tinggal saja di dalam menemani Hinata dan menjelaskan padanya. Ada urusan yang harus kami selesaikan!"
"Jaa matta, Naruto!"
Naruto menendang pintu sebagai perwujudan rasa kesalnya, sambil menggerutu pemuda berambut pirang itu menghampiri Hinata dan duduk di sampingnya di kursi pengunjung pasien.
Dan kemudian sunyi.
Hinata tak siap ditinggal berdua saja dengan Naruto, dan Naruto tak tahu mesti darimana memulai pembicaraan.
Tak betah dengan kesunyian yang singgah, Naruto angkat bicara, "Bagaimana keadaanmu, Hinata?"
"Ba-baik…" jawab Hinata pelan. Rasa penasaran yang menghimpitnya mendorongnya memberanikan diri untuk bertanya. "A-apa yang telah terjadi?"
Naruto berdecak kesal. Ia mengacak-acak rambut pirangnya, merasa frustasi. "Aku tidak tahu harus memulai tepatnya darimana."
"Te-terserah Naruto kun saja," kata Hinata, "…apakah mi-misi ki-kita berhasil?"
Naruto menghembuskan napas panjang. "Ya, berhasil. Kita berhasil dikerjai oleh Tsunade Baachan, dan Sensei Tachi."
"Na-nani?" Hinata memiringkan kepalanya. Ia menatap Naruto dengan pandangan tidak mengerti. "A-apa maksudmu, Naruto kun?"
"Benar, kita diusili. Diperalat menjadi objek percobaan senjata jaket bom bunuh diri terbaru. Dan objek yang diujicobakan itu kau, Hinata. Atas permintaan Tetua Klan Hyuuga—ngelesnya sih mereka bilang untuk menguji Heiress mereka." Pemuda yang merupakan wadah Bijuu ekor sembilan itu menggeram kesal.
Memahami kebingungan Hinata, Naruto mengambil keputusan untuk memulai ceritanya dari awal.
"Jadi, kita berhasil menyelesaikan misi. Lalu kembali ke Konoha secepatnya. Keesokkan harinya, setelah semua pulih kembali kecuali kau, kami dipanggil ke kantor Hokage. Di sana sudah ada Gaara, Matsuri, Temari san, Kankurou san, beberapa orang yang ternyata perompak dan babak belur, serta Sensei Tachi dan Tetua klan Hyuuga—ayahmu juga termasuk."
Sunyi sejenak.
Hinata terdiam, menanti Naruto melanjutkan penuturannya. Sementara Naruto mencoba menenangkan emosinya yang mulai bergejolak mengingat peristiwa kemarin.
Detil-detil kecilnya masih ia ingat. Memang kapasitas memori otak Naruto seringkali rendah, namun untuk yang satu ini…
"Kemudian, kemarin di kantor Hokage, semua kebenaran terungkap…."
Hanya suara Tsunade menuturkan penjelasan yang terdengar bergema di kantor Hokage yang mendadak menjadi sempit—karena dipenuhi banyak orang.
"Sepertinya, untuk standar kehebatan Jounin dan ANBU Konoha, pelatihan kali ini agak terlalu kurang. Kurasa mereka dapat menyelesaikannya dengan mudah," sela Kazekage dari desa Suna.
Sampai di sini, tak ada lagi yang berniat menginterupsi, Tsunade—tak menanggapi komentar Kazekage alias Gaara—kembali melanjutkan. "Gudang Persenjataan Konoha menciptakan invoasi senjata terbaru, yaitu Jaket Bunuh Diri. Bentuknya serupa rompi Jounin biasa, namun sebenarnya sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar bom tak kasat mata, tidak dapat terdeteksi dari musuh dengan tipe petarung jarak dekat.
"Kami butuh seseorang untuk diujicobakan bom kreasi baru ini. Tak sengaja Tetua klan Hyuuga—mendengar percakapanku dan ANBU serta Jounin Elit, diwakili Hiashi Hyuuga menyetujui bahwa yang orang yang pantas itu adalah Hinata Hyuuga. Dengan alasan kuat mereka ingin melatih Heiress klan Hyuuga itu. Dan yang mengujicobakan adalah Kakashi." Tsunade menarik napas sejenak.
"Apa hubungannya dengan kasus perompak di desa Suna?" tanya Sakura, menyuarai ketidakmengertian sebagian besar orang-orang di sekelilingnya.
"Yah, jadi… mereka menyamar menjadi perompak itu sendiri. Sesekali mereka menyerang tim ninja dari desa Konoha," jawab Tsunade, jeda sejenak yang mengganjal membuatnya memutuskan untuk menyesap sedikit teh hijau yang mengepul—masih hangat.
"Tidak mungkin," desis Kiba tak percaya. "Jounin elit atau ANBU Konoha bisa saja melukai teman sendiri!"
Mereka semakin terkejut mendapati Tsunade yang mengangguk—membenarkan perkataan Kiba. "Di sanalah letak ujiannya. Ada kalanya mereka terjepit pada situasi yang mengharuskan mereka untuk memilih antara teman atau misi."
Tim tujuh—yang terdiri atas Naruto, Sasuke, Sakura, termasuk Sai—menoleh pada Yamato, namun pria yang sebenarnya anggota ANBU itu menggeleng. Lantas keempat muda-mudi itu menoleh pada pria di sebelah Yamato, Kakashi Hatake tersenyum di balik maskernya—terlihat dari matanya yang menyipit ramah. Bagaimana bisa guru mereka menerima misi seperti ini?
"Bagaimana dengan Orochimaru dan Kabuto?" Ino maju satu langkah ke depan. "Kami lihat mereka dikalahkan oleh Naruto dan Sasuke."
Tsunade tertawa kecil. "Ucapkan 'selamat' pada Kakashi yang sudah berakting menjadi Orochimaru dengan sangat baik, serta Guy yang menjadi Kabuto. Mendengar cerita Kurenai, aku sendiri sulit percaya mendengar kegilaan mereka berdua mendalami peran menjijikkan yang kutimpakan pada mereka."
Sasuke terang-terangan mendengus kesal, ia menggumam bagai lebah berdengung yang dapat terdengar Naruto dan Sakura yang mengapitnya, "Sudah kubilang, bukan? Aku sudah menghabisi Orochimaru."
Di sisinya, Sakura menepuk pelan punggung tangan keturunan Uchiha itu, sebagai tanda agar dia berhenti menggerutu.
Nyaris semua orang terbelalak kaget. Benar, jika bukan Godaime Hokage yang menuturkan segala penjelasan yang menyerempet marabahaya ini, mereka takkan mungkin menaruh percaya. Hah, pasti hanya dusta belaka—mereka dapat menyangkal demikian.
Namun keseriusan Tsunade saat mengatakannya, mengurungkan niat mereka—semua ini memang fakta, hanya ketidakmengertian yang masih setia memeluk mereka.
Kedua tangan berkulit tan itu terkepal kuat, tak dihiraukannya kukunya yang menancap dalam menembus pori-pori kulit, merangsangkan rasa perih mendalam yang menjalar selebar telapak tangannya. Mata birunya berkilat memancarkan amarah, Naruto maju ke depan dengan langkah menghentak.
"Kenapa?" tanya Naruto, suara rendahnya menyeruakkan atmosfer mencekam. "Tidak sadarkah kalian—kalian nyaris mengorbankan siapa pun termasuk yang tidak terlibat?"
Tak jauh di belakang Naruto, Sakura mengangguk—menyetujui perkataan teman setimnya. "Resikonya terlalu tinggi. Bukankah itu artinya kalian mengorbankan teman sendiri?"
Tsunade menggeleng. "Tidak. Justru kami membantu kalian melumpuhkan perompak. Ninja yang kalian hadapi itu ninja dari Konoha."
"Bagaimana dengan Hinata?" Neji angkat bicara.
"Astaga—sulit dipercaya bahwa kalian mengorbankan Hinata yang tak punya salah apa-apa…" desah Tenten sedih.
"Kalian sudah melukai tunangan Kazekage Sama, dan banyak ninja dari Suna!" cetus Kankurou dengan nada menuduh.
Menghembuskan napas panjang, Tsunade memberi kode pada Shizune. Asistennya itu bergegas mengambil beberapa gulungan dari dalam laci dan menggelarnya di atas meja kerjanya.
"Tentu kami tidak akan melakukannya tanpa mengantungi izin langsung dari Tetua klan Hyuuga, Hiashi san, serta Sesepuh Suna. Kalian bisa lihat sendiri kalau tidak percaya," tutur Tsunade, membiarkan segerombolan remaja merangsek ke depan dan berebut melihat. "Termasuk persetujuan jika ada yang terluka, pihak Konoha akan bertanggung jawab dalam pengobatannya," imbuh Godame Hokage.
"Mengapa tidak minta persetujuanku dulu?" tanya Gaara, meneliti gulungan-gulungan yang terbentang lebar dengan seksama.
"Ha?" Tsunade menoleh pada pemilik tato "Ai" di kening itu dengan tatapan heran. "Katanya karena Kazekage Sama sedang sibuk dengan kekasihnya, jadi mereka akan memberitahukan nanti. Tapi, kata mereka pasti diizinkan."
Temari tersenyum geli mendapati tangan Gaara terkepal kuat-kuat. Di satu sisi ia memang ingin marah dan mengipas habis Konoha serta sesepuh Suna. Tapi, mendengar perkataan Tsunade yang mengatakan ulang perkataan Tetua, memang kata sepuh-sepuh menyebalkan itu sedikit ada benarnya. Ah, atau memang mereka saja yang iri dan mendengki akan kebahagiaan adiknya dengan Matsuri.
"Makanya, kau jangan asik pacaran terus dengan Matsuri," nasehat Kankurou pada Gaara. Tampang sok bijaknya sirna tatkala Gaara menghujamkan tatapan mautnya.
Sai menyikut Sakura, mengedikkan dagu pada Naruto yang tampak makin menyeramkan. Sakura melirik Sasuke yang kebetulan meliriknya, dan Sasuke menggeleng kecil sementara Sakura mengangkat bahu.
"Kau marah padaku, Naruto?" tanya Kakashi ramah—setengah dengan nada geli. Dihampirinya muridnya yang terlihat amat emosinal itu, lalu menepuk bahu Naruto.
Naruto membuang muka. Ia menepis tangan gurunya dari bahunya.
"Maafkan aku. Tapi, aku tidak punya alasan untuk menolak," kata Kakashi lagi, kali ini dengan nada membujuk.
"Tentu saja kau bisa, Sensei!" geram Naruto. "Kau mengorbankan murid-muridmu, tak ubahnya seperti ninja sampah."
Sakura tercekat, tidak pernah dilihatnya Naruto begitu emosi pada gurunya. Ia baru saja ingin mengatakan sesuatu ketika Sasuke menyentuh bahunya, menggeleng.
Keterkejutan melanda mereka kala mendengar Kakashi tertawa kecil seraya berkata, "Setidaknya, tindakanku itu membantumu untuk jujur padanya, 'kan?"
Mengkhianati wajahnya yang merah padam, Naruto mendengus kesal lalu bersungut-sungut. "Aku tidak mengerti apa yang Sensei maksudkan."
Sasuke dan Sai bertukar pandang. Tidak mengerti.
"Apa? Jujur pada siapa?" sambar Sakura penasaran. Kini ia bergelayut manja pada Kakashi dan memasang tampang memelas—minta diberitahu.
Kakashi mengelus rambut merah muda Sakura. "Jadi, begini—"
"AAAAAARRGGHH…"
Dan teriakan Naruto yang menggelegar, menjadi pertanda munculnya perang kedua di Konoha.
"Apa yang kaulakukan, Naruto kun?" tanya Hinata, mencoba mencari kepastian.
Naruto memutar kedua bola matanya. "Pokoknya mereka semua sudah kuberi ganjaran setimpal," jawabnya.
Hening menyusup di antara mereka, Hinata tenggelam dalam renungannya sendiri. Naruto menghitung ada berapa banyak keramik yang menghiasi permukaan kamar rawat Hinata—gugup yang menimbulkan kebodohan.
Senyum lemah teruntai dari Hinata. "Terima kasih sudah mau menceritakannya padaku, Naruto kun."
Naruto mendongak, dahinya mengernyit tanda heran. "Kau juga harus membalas klanmu, Hinata! Mereka keterlaluan. Mengorbankanmu begitu saja tanpa minta persetujuan darimu."
Gadis yang merupakan Heiress Hyuuga itu menggeleng. "Asalkan kehendaknya terpuaskan, aku turut senang. Lagipula, setelah kuingat lagi, aku tidak akan selamat dari jaket bom itu jika tidak ada Naruto kun."
Sekelebat memori bangkit, menyergap Hinata.
Tepat saat itu, terdengar suara kunci diputar disusul pintu membuka. Tsunade dan Shizune serta Tonton memasuki ruangannya.
"Ngapain kau di sini berdua saja dengan Hinata, Naruto? Tidak ke kantin Rumah Sakit bersama yang lain? Tidak biasanya kau melewatkan jam makan," tanya Tsunade sambil mengecek kondisi Hinata.
"Mereka yang sedang enak-enak makan di kantin itu adalah pelaku yang mengunci ruangan ini, dan menjebakku bersama Hinata," jawab Naruto sewot. "Padahal aku kelaparan!"
Yeah, usai makan di Ichiraku Ramen nanti, pasien Rumah Sakit Konoha akan bertambah banyak karena ninja-ninja muda malang itu menjadi santapan amukan Naruto. Haha, siapa suruh meninggalkannya sendiri berdua saja dengan Hinata?
Tak ambil pusing dengan Naruto yang mengomel-omel, Tsunade dan Shizune lebih memilih mengurusi Hinata. Mereka tersenyum ramah pada Hinata disertai helaan napas lega.
"Kau sudah boleh pulang hari ini, Hinata," kata Tsunade pada Hinata yang wajahnya langsung berseri-seri.
"Do-domo arigatou, Godaime Sama, Shizune san," ucap Hinata penuh hormat.
"Naruto, panggil Neji, Kiba dan Shino, suruh mereka antarkan Hinata pulang! Oh, tolong panggilkan tim tujuh—kalian harus menghadapku di kantor Hokage, ada misi untuk kalian!" perintah Tsunade.
Naruto mengangguk, kemudian mengalihkan perhatiannya pada Hinata. Ia nyengir lebar lalu berkata, "Semoga cepat sembuh, Hinata!"
Hinata—yang secara mendadak dipandang seperti itu oleh Naruto—mengangguk dengan wajah bersemu. "Su-sukses untuk mi-misinya."
Naruto mengacungkan ibu jarinya, disertai cengiran khasnya. "Hm, pasti."
Tsunade dan Shizune meninggalkan sepasang muda-mudi itu tanpa pamit.
Toh, Tsunade adalah Hokage yang berhak berlaku sesukanya asal tidak melanggar tata-tertib yang berlaku.
Detik menggulirkan waktu, dua pasang mata yang kontras itu saling menyelami. Tersenyum, merasakan keberadaan satu sama lain.
"Ittekimasu, Hinata."
"Itterashai, Naruto kun."
Setelah melemparkan senyuman terbaiknya pada Hinata, Naruto berbalik, beranjak pergi sesudah menutup pintu kamar rawat Hinata.
Setelah hari itu terlewat, Hinata Hyuuga menyesali keputusannya untuk tidak bertanya lebih lanjut pada Naruto Uzumaki, memastikan pernyataan sebelum dirinya pingsan karena ledakan Jaket Bunuh Diri. Detik seakan menggulirkan jam, waktu berjalan merangkak, dan tim tujuh belum juga kembali.
Warning: Alternate reality (AR), miss typo(s), out of topic (OOT), out of character (OOC).
.
O.S.T Spring Waltz: One Love
Ashita no Nadja: entah-apa-judulnya-saya-lupa XD
.
Have a nice read! ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
#~**~#
Tentang Bintang
.
Chapter 8
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
"Sakura! Ino! Hinata sudah sadar!"Suara gembira seorang gadis sayup-sayup memasuki indera pendengarannya. Jari-jarinya perlahan bergerak seakan mencari genggaman yang pasti. Kelopak matanya perlahan membuka menampilkan iris mata sewarna lavender, semula hanya cahaya-cahaya dan warna redup yang dilihatnya, bayangan orang-orang yang mengelilinginya terlihat kabur. Setelah mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa saat untuk menormalkan penglihatannya, Hinata mengedarkan pandangannya, menerima tatapan-tatapan lega terarah padanya.
Ino dan Tenten membantu Hinata untuk duduk, menambahkan bantal-bantal empuk sebagai sandaran tubuhnya. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, Sakura memberikan segelas air putih pada Hinata.
"Habiskan minumnya, ya, Hinata. Ada tambahan obat untukmu yang larut dalam air itu," pesan Sakura pada Hinata saat gadis yang terkulai lemah di atas kasur dan bantal serba putih itu meminum air yang diberikan padanya.
"D-di mana ini?" tanya Hinata, diberikannya gelas yang telah kosong itu pada Tenten, dan Tenten meletakkannya di meja di samping tempat tidur pasien.
"Tentu saja di rumah sakit. Kau pingsan sudah dua hari lamanya. Yang lain hanya satu hari…" jawab Ino.
"Hinataaa! Akhirnya kau sadar juga…!" seru Kiba senang, Akamaru menyalak riang di samping pemuda itu.
"Hinata bisa pulang dari rumah sakit hari ini juga," kata Sakura dengan senyum terkembang. "Dia hanya butuh banyak istirahat."
"Syukurlah." Ino mendengar gumaman Shino yang berada di sebelahnya. Ino tertawa kecil lalu menggeleng-geleng seorang diri.
Mendadak Hinata ingatan-ingatan tentang misi yang diberikan Tsunade-sama menghampiri benaknya. Raut wajah Hinata seketika menjadi khawatir. Dipandanginya satu-satu teman-temannya yang melempar senyum padanya. "Ba-bagaimana dengan misinya?"
Sunyi.
Senyum mereka perlahan terganti dengan senyum yang dipaksakan, ada pula yang merasa keki dan bahkan segera saja berubah pandang menjadi non-ekspresi. Mereka saling melempar pandang dan mengedikkan bahu, seolah saling menimpakan masalah pada yang lainnya asal bukan pada diri-sendiri.
"Ah, misinya berjalan dengan baik, kok! Hahaha…" Sakura tertawa garing, lalu menolehkan wajah ke belakang dengan ekspresi mengancam dan menyeramkan. "….ya, kan, Teman-teman?"
Yang lain hanya mengangguk mengiyakan. Takut diapa-apakan oleh Sakura.
Hinata memandang satu per satu wajah teman-temannya, ia melihat keraguan dari beberapa orang dan itu semua membuatnya bertambah khawatir. Dia terus mencoba bertanya tentang misi mereka biarpun teman-temannya selalu mengalihkan topik pembicaraan agar menyimpang.
Merasa kalau tindakan teman-temannya yang lain sia-sia, Sasuke akhirnya menghampiri Sakura dan menarik gadis itu keluar ruangan, bagai pertanda bagi yang lain untuk kabur dari kewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan Hinata yang menyimpan kecemasan dan penasaran.
Saat Naruto mau keluar juga dari ruangan rawat Hinata, pintu keburu terbanting ditutup oleh Sasuke dan Sakura.
"Oi! Kenapa pintunya dikunci?" Naruto menggedor-gedor pintu. "Minna!"
"Kau temani saja Hinata dalam kamar! Oke?" teriak Sakura dari luar kamar.
"Sekalian jelaskan semua yang sudah terjadi padanya," Sasuke menambahkan.
"Nande? Kenapa harus aku sendiri yang menjelaskannya?" seru Naruto sambil menekan-nekan gagang pintu. "Kan ada bagian-bagian yang tak bisa kuceritakan!"
"Heeeiii! Kalian bertiga bisa merusak pintu rumah sakit, tau!" terdengar Ino berteriak panik. "Sudahlah, Naruto. Kau tinggal saja di dalam menemani Hinata dan menjelaskan padanya. Ada urusan yang harus kami selesaikan!"
"Jaa matta, Naruto!"
Naruto menendang pintu sebagai perwujudan rasa kesalnya, sambil menggerutu pemuda berambut pirang itu menghampiri Hinata dan duduk di sampingnya di kursi pengunjung pasien.
Dan kemudian sunyi.
Hinata tak siap ditinggal berdua saja dengan Naruto, dan Naruto tak tahu mesti darimana memulai pembicaraan.
Tak betah dengan kesunyian yang singgah, Naruto angkat bicara, "Bagaimana keadaanmu, Hinata?"
"Ba-baik…" jawab Hinata pelan. Rasa penasaran yang menghimpitnya mendorongnya memberanikan diri untuk bertanya. "A-apa yang telah terjadi?"
Naruto berdecak kesal. Ia mengacak-acak rambut pirangnya, merasa frustasi. "Aku tidak tahu harus memulai tepatnya darimana."
"Te-terserah Naruto kun saja," kata Hinata, "…apakah mi-misi ki-kita berhasil?"
Naruto menghembuskan napas panjang. "Ya, berhasil. Kita berhasil dikerjai oleh Tsunade Baachan, dan Sensei Tachi."
"Na-nani?" Hinata memiringkan kepalanya. Ia menatap Naruto dengan pandangan tidak mengerti. "A-apa maksudmu, Naruto kun?"
"Benar, kita diusili. Diperalat menjadi objek percobaan senjata jaket bom bunuh diri terbaru. Dan objek yang diujicobakan itu kau, Hinata. Atas permintaan Tetua Klan Hyuuga—ngelesnya sih mereka bilang untuk menguji Heiress mereka." Pemuda yang merupakan wadah Bijuu ekor sembilan itu menggeram kesal.
Memahami kebingungan Hinata, Naruto mengambil keputusan untuk memulai ceritanya dari awal.
"Jadi, kita berhasil menyelesaikan misi. Lalu kembali ke Konoha secepatnya. Keesokkan harinya, setelah semua pulih kembali kecuali kau, kami dipanggil ke kantor Hokage. Di sana sudah ada Gaara, Matsuri, Temari san, Kankurou san, beberapa orang yang ternyata perompak dan babak belur, serta Sensei Tachi dan Tetua klan Hyuuga—ayahmu juga termasuk."
Sunyi sejenak.
Hinata terdiam, menanti Naruto melanjutkan penuturannya. Sementara Naruto mencoba menenangkan emosinya yang mulai bergejolak mengingat peristiwa kemarin.
Detil-detil kecilnya masih ia ingat. Memang kapasitas memori otak Naruto seringkali rendah, namun untuk yang satu ini…
"Kemudian, kemarin di kantor Hokage, semua kebenaran terungkap…."
.
#~**~#
.
"Misi
kalian sebenarnya membereskan perompak di desa Suna. Namun pihak desa
Konoha menyamarkan tugas kalian, Jounin Elit dan ANBU Konoha butuh
pelatihan ekstra. Sehingga mereka turut menyamar menjadi perompak dan
melawan—tepatnya melatih—Jounin atau Chuunin yang turut dalam misi
kemarin."Hanya suara Tsunade menuturkan penjelasan yang terdengar bergema di kantor Hokage yang mendadak menjadi sempit—karena dipenuhi banyak orang.
"Sepertinya, untuk standar kehebatan Jounin dan ANBU Konoha, pelatihan kali ini agak terlalu kurang. Kurasa mereka dapat menyelesaikannya dengan mudah," sela Kazekage dari desa Suna.
Sampai di sini, tak ada lagi yang berniat menginterupsi, Tsunade—tak menanggapi komentar Kazekage alias Gaara—kembali melanjutkan. "Gudang Persenjataan Konoha menciptakan invoasi senjata terbaru, yaitu Jaket Bunuh Diri. Bentuknya serupa rompi Jounin biasa, namun sebenarnya sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar bom tak kasat mata, tidak dapat terdeteksi dari musuh dengan tipe petarung jarak dekat.
"Kami butuh seseorang untuk diujicobakan bom kreasi baru ini. Tak sengaja Tetua klan Hyuuga—mendengar percakapanku dan ANBU serta Jounin Elit, diwakili Hiashi Hyuuga menyetujui bahwa yang orang yang pantas itu adalah Hinata Hyuuga. Dengan alasan kuat mereka ingin melatih Heiress klan Hyuuga itu. Dan yang mengujicobakan adalah Kakashi." Tsunade menarik napas sejenak.
"Apa hubungannya dengan kasus perompak di desa Suna?" tanya Sakura, menyuarai ketidakmengertian sebagian besar orang-orang di sekelilingnya.
"Yah, jadi… mereka menyamar menjadi perompak itu sendiri. Sesekali mereka menyerang tim ninja dari desa Konoha," jawab Tsunade, jeda sejenak yang mengganjal membuatnya memutuskan untuk menyesap sedikit teh hijau yang mengepul—masih hangat.
"Tidak mungkin," desis Kiba tak percaya. "Jounin elit atau ANBU Konoha bisa saja melukai teman sendiri!"
Mereka semakin terkejut mendapati Tsunade yang mengangguk—membenarkan perkataan Kiba. "Di sanalah letak ujiannya. Ada kalanya mereka terjepit pada situasi yang mengharuskan mereka untuk memilih antara teman atau misi."
Tim tujuh—yang terdiri atas Naruto, Sasuke, Sakura, termasuk Sai—menoleh pada Yamato, namun pria yang sebenarnya anggota ANBU itu menggeleng. Lantas keempat muda-mudi itu menoleh pada pria di sebelah Yamato, Kakashi Hatake tersenyum di balik maskernya—terlihat dari matanya yang menyipit ramah. Bagaimana bisa guru mereka menerima misi seperti ini?
"Bagaimana dengan Orochimaru dan Kabuto?" Ino maju satu langkah ke depan. "Kami lihat mereka dikalahkan oleh Naruto dan Sasuke."
Tsunade tertawa kecil. "Ucapkan 'selamat' pada Kakashi yang sudah berakting menjadi Orochimaru dengan sangat baik, serta Guy yang menjadi Kabuto. Mendengar cerita Kurenai, aku sendiri sulit percaya mendengar kegilaan mereka berdua mendalami peran menjijikkan yang kutimpakan pada mereka."
Sasuke terang-terangan mendengus kesal, ia menggumam bagai lebah berdengung yang dapat terdengar Naruto dan Sakura yang mengapitnya, "Sudah kubilang, bukan? Aku sudah menghabisi Orochimaru."
Di sisinya, Sakura menepuk pelan punggung tangan keturunan Uchiha itu, sebagai tanda agar dia berhenti menggerutu.
Nyaris semua orang terbelalak kaget. Benar, jika bukan Godaime Hokage yang menuturkan segala penjelasan yang menyerempet marabahaya ini, mereka takkan mungkin menaruh percaya. Hah, pasti hanya dusta belaka—mereka dapat menyangkal demikian.
Namun keseriusan Tsunade saat mengatakannya, mengurungkan niat mereka—semua ini memang fakta, hanya ketidakmengertian yang masih setia memeluk mereka.
Kedua tangan berkulit tan itu terkepal kuat, tak dihiraukannya kukunya yang menancap dalam menembus pori-pori kulit, merangsangkan rasa perih mendalam yang menjalar selebar telapak tangannya. Mata birunya berkilat memancarkan amarah, Naruto maju ke depan dengan langkah menghentak.
"Kenapa?" tanya Naruto, suara rendahnya menyeruakkan atmosfer mencekam. "Tidak sadarkah kalian—kalian nyaris mengorbankan siapa pun termasuk yang tidak terlibat?"
Tak jauh di belakang Naruto, Sakura mengangguk—menyetujui perkataan teman setimnya. "Resikonya terlalu tinggi. Bukankah itu artinya kalian mengorbankan teman sendiri?"
Tsunade menggeleng. "Tidak. Justru kami membantu kalian melumpuhkan perompak. Ninja yang kalian hadapi itu ninja dari Konoha."
"Bagaimana dengan Hinata?" Neji angkat bicara.
"Astaga—sulit dipercaya bahwa kalian mengorbankan Hinata yang tak punya salah apa-apa…" desah Tenten sedih.
"Kalian sudah melukai tunangan Kazekage Sama, dan banyak ninja dari Suna!" cetus Kankurou dengan nada menuduh.
Menghembuskan napas panjang, Tsunade memberi kode pada Shizune. Asistennya itu bergegas mengambil beberapa gulungan dari dalam laci dan menggelarnya di atas meja kerjanya.
"Tentu kami tidak akan melakukannya tanpa mengantungi izin langsung dari Tetua klan Hyuuga, Hiashi san, serta Sesepuh Suna. Kalian bisa lihat sendiri kalau tidak percaya," tutur Tsunade, membiarkan segerombolan remaja merangsek ke depan dan berebut melihat. "Termasuk persetujuan jika ada yang terluka, pihak Konoha akan bertanggung jawab dalam pengobatannya," imbuh Godame Hokage.
"Mengapa tidak minta persetujuanku dulu?" tanya Gaara, meneliti gulungan-gulungan yang terbentang lebar dengan seksama.
"Ha?" Tsunade menoleh pada pemilik tato "Ai" di kening itu dengan tatapan heran. "Katanya karena Kazekage Sama sedang sibuk dengan kekasihnya, jadi mereka akan memberitahukan nanti. Tapi, kata mereka pasti diizinkan."
Temari tersenyum geli mendapati tangan Gaara terkepal kuat-kuat. Di satu sisi ia memang ingin marah dan mengipas habis Konoha serta sesepuh Suna. Tapi, mendengar perkataan Tsunade yang mengatakan ulang perkataan Tetua, memang kata sepuh-sepuh menyebalkan itu sedikit ada benarnya. Ah, atau memang mereka saja yang iri dan mendengki akan kebahagiaan adiknya dengan Matsuri.
"Makanya, kau jangan asik pacaran terus dengan Matsuri," nasehat Kankurou pada Gaara. Tampang sok bijaknya sirna tatkala Gaara menghujamkan tatapan mautnya.
Sai menyikut Sakura, mengedikkan dagu pada Naruto yang tampak makin menyeramkan. Sakura melirik Sasuke yang kebetulan meliriknya, dan Sasuke menggeleng kecil sementara Sakura mengangkat bahu.
"Kau marah padaku, Naruto?" tanya Kakashi ramah—setengah dengan nada geli. Dihampirinya muridnya yang terlihat amat emosinal itu, lalu menepuk bahu Naruto.
Naruto membuang muka. Ia menepis tangan gurunya dari bahunya.
"Maafkan aku. Tapi, aku tidak punya alasan untuk menolak," kata Kakashi lagi, kali ini dengan nada membujuk.
"Tentu saja kau bisa, Sensei!" geram Naruto. "Kau mengorbankan murid-muridmu, tak ubahnya seperti ninja sampah."
Sakura tercekat, tidak pernah dilihatnya Naruto begitu emosi pada gurunya. Ia baru saja ingin mengatakan sesuatu ketika Sasuke menyentuh bahunya, menggeleng.
Keterkejutan melanda mereka kala mendengar Kakashi tertawa kecil seraya berkata, "Setidaknya, tindakanku itu membantumu untuk jujur padanya, 'kan?"
Mengkhianati wajahnya yang merah padam, Naruto mendengus kesal lalu bersungut-sungut. "Aku tidak mengerti apa yang Sensei maksudkan."
Sasuke dan Sai bertukar pandang. Tidak mengerti.
"Apa? Jujur pada siapa?" sambar Sakura penasaran. Kini ia bergelayut manja pada Kakashi dan memasang tampang memelas—minta diberitahu.
Kakashi mengelus rambut merah muda Sakura. "Jadi, begini—"
"AAAAAARRGGHH…"
Dan teriakan Naruto yang menggelegar, menjadi pertanda munculnya perang kedua di Konoha.
.
#~**~#
.
"Yah,
kurasa sekarang mereka sudah jera untuk mempermainkan ninja-ninja muda
seperti kita," Naruto mengakhiri ceritanya, raut puas kini tercermin di
wajahnya."Apa yang kaulakukan, Naruto kun?" tanya Hinata, mencoba mencari kepastian.
Naruto memutar kedua bola matanya. "Pokoknya mereka semua sudah kuberi ganjaran setimpal," jawabnya.
Hening menyusup di antara mereka, Hinata tenggelam dalam renungannya sendiri. Naruto menghitung ada berapa banyak keramik yang menghiasi permukaan kamar rawat Hinata—gugup yang menimbulkan kebodohan.
Senyum lemah teruntai dari Hinata. "Terima kasih sudah mau menceritakannya padaku, Naruto kun."
Naruto mendongak, dahinya mengernyit tanda heran. "Kau juga harus membalas klanmu, Hinata! Mereka keterlaluan. Mengorbankanmu begitu saja tanpa minta persetujuan darimu."
Gadis yang merupakan Heiress Hyuuga itu menggeleng. "Asalkan kehendaknya terpuaskan, aku turut senang. Lagipula, setelah kuingat lagi, aku tidak akan selamat dari jaket bom itu jika tidak ada Naruto kun."
Sekelebat memori bangkit, menyergap Hinata.
Tepat saat itu, terdengar suara kunci diputar disusul pintu membuka. Tsunade dan Shizune serta Tonton memasuki ruangannya.
"Ngapain kau di sini berdua saja dengan Hinata, Naruto? Tidak ke kantin Rumah Sakit bersama yang lain? Tidak biasanya kau melewatkan jam makan," tanya Tsunade sambil mengecek kondisi Hinata.
"Mereka yang sedang enak-enak makan di kantin itu adalah pelaku yang mengunci ruangan ini, dan menjebakku bersama Hinata," jawab Naruto sewot. "Padahal aku kelaparan!"
Yeah, usai makan di Ichiraku Ramen nanti, pasien Rumah Sakit Konoha akan bertambah banyak karena ninja-ninja muda malang itu menjadi santapan amukan Naruto. Haha, siapa suruh meninggalkannya sendiri berdua saja dengan Hinata?
Tak ambil pusing dengan Naruto yang mengomel-omel, Tsunade dan Shizune lebih memilih mengurusi Hinata. Mereka tersenyum ramah pada Hinata disertai helaan napas lega.
"Kau sudah boleh pulang hari ini, Hinata," kata Tsunade pada Hinata yang wajahnya langsung berseri-seri.
"Do-domo arigatou, Godaime Sama, Shizune san," ucap Hinata penuh hormat.
"Naruto, panggil Neji, Kiba dan Shino, suruh mereka antarkan Hinata pulang! Oh, tolong panggilkan tim tujuh—kalian harus menghadapku di kantor Hokage, ada misi untuk kalian!" perintah Tsunade.
Naruto mengangguk, kemudian mengalihkan perhatiannya pada Hinata. Ia nyengir lebar lalu berkata, "Semoga cepat sembuh, Hinata!"
Hinata—yang secara mendadak dipandang seperti itu oleh Naruto—mengangguk dengan wajah bersemu. "Su-sukses untuk mi-misinya."
Naruto mengacungkan ibu jarinya, disertai cengiran khasnya. "Hm, pasti."
Tsunade dan Shizune meninggalkan sepasang muda-mudi itu tanpa pamit.
Toh, Tsunade adalah Hokage yang berhak berlaku sesukanya asal tidak melanggar tata-tertib yang berlaku.
Detik menggulirkan waktu, dua pasang mata yang kontras itu saling menyelami. Tersenyum, merasakan keberadaan satu sama lain.
"Ittekimasu, Hinata."
"Itterashai, Naruto kun."
Setelah melemparkan senyuman terbaiknya pada Hinata, Naruto berbalik, beranjak pergi sesudah menutup pintu kamar rawat Hinata.
Setelah hari itu terlewat, Hinata Hyuuga menyesali keputusannya untuk tidak bertanya lebih lanjut pada Naruto Uzumaki, memastikan pernyataan sebelum dirinya pingsan karena ledakan Jaket Bunuh Diri. Detik seakan menggulirkan jam, waktu berjalan merangkak, dan tim tujuh belum juga kembali.
.
#~**~#
To be continue
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
0 komentar:
Posting Komentar