Have a nice read ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
"Astaga, Naruto… kau membangunkanku malam-malam untuk beli bunga? Apa kau tidak lihat tulisan "TUTUP"
di papan yang tergantung di pintu toko bunga Yamanaka?" gerutu seorang
gadis bersurai pirang pucat dengan wajah yang digentayangi hawa kantuk.Si pelaku yang mengganggu tidur nyenyaknya justru nyengir inosen. "Maaf, darurat sekali, Ino."
"Kondisi darurat itu kalau kau butuh ANBU dikerahkan atau ke Institut Gawat Darurat rumah sakit Konoha." Ino menguap lebar, mengusap-usap mata sewarna aquamarine-nya, merenggangkan badan seraya berjalan memasuki toko bunga yang dikelola keluarganya. "Oh, baiklah. Sekedar info, tidak ada bunga yang memiliki bahasa berarti "gawat darurat", Hokage-sama," sindirnya.
Naruto tertawa, mengabaikan sindiran kawannya itu, ia melontarkan permintaannya. "Rangkaikan satu buket bunga…"
"Aah. Bunga apa?" tanya Ino tanpa rasa antusias berlebih.
Naruto menjawabnya dengan suara pelan. Sejurus kemudian, Ino menjerit.
"Astaga, ini memang GAWAT DARURAT!"
.
#~**~#
Tentang Bintang
.
The Last Chapter
"One Love"
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
Hinata
Hyuuga melangkah dalam temaram malam. Mendaki sebuah bukit untuk
mencapai suatu tempat. Ketika langkah mengantarkannya pada bangku, ia
mendudukkan diri sembari menormalkan kembali sistem pernapasannya.
Tidak, gadis itu tidak lelah. Bagaimana mungkin seorang ninja terlatih
sepertinya kelelahan hanya dengan hal sekecil ini; letih mendaki sebuah
bukit yang tak terlalu terjal?Ia bukan lelah karena kehabisan tenaga, melainkan lesu karena yang terkasih belum juga kembali.
Sepasang mata lavender memandang sayu pada taman makam pahlawan Konoha di kejauhan. Ia datang kemari, ke bukit kecil ini, karena ingin memperingati hari kepergian sang ibunda.
"Kaasan, apa kabar?" tanyanya, dialihkannya pandangan pada langit malam yang bertaburkan bintang.
Sehela napas dihembuskannya. Seutas senyum terkembang. Angin berdesau galau, menarikan rambut indigonya. "Aku harap kau baik-baik saja."
Sebelah tangan kanannya terangkat, menyelipkan helaian anak rambut di belakang telinga. Bola mata yang menyiratkan sendu itu terfokus pada sebuah bintang, salah satu bintang yang sangat terang malam ini.
"Kabarku tidak begitu baik, Kaasan. Naruto-kun belum pulang juga selama seminggu. Dan tak ada yang tak menjawab ambigu ketika aku bertanya dia pergi misi kemana.
"Ah, gomenasai, Kaasan. Di hari seperti ini, aku justru menceritakan tentang dia. Tidak, malam ini aku menyempatkan diri untuk datang, karena ini hari ulang tahunmu, dan aku ingin merayakannya."
Gadis itu tertawa kecil. Tawa canggung yang terdengar sumbang. "Gomenasai, aku juga lupa membawa hadiah untukmu, Kaasan."
Pohon sakura malam itu bersemi dengan indah, berdiri kokoh menjadi tempatnya bersandar. Harumnya menyerbakkan musim semi tengah meraja. Mengharumkan kedamaian. Menyerpihkan secercah ketenangan.
Ia terdiam agak lama. Kini memandang pada taman makam pahlawan Konoha yang terlihat begitu menyeramkan di malam hari.
Bicara tentang makam, gadis tersebut teringat beberapa minggu yang lalu, ada seseorang yang ingin mengajaknya untuk ziarah ke makam. Mereka sudah merangkai bunga, menjalin banyak cerita, mengalami banyak peristiwa, memiliki banyak kenangan, tapi tak mendapatkan kepastian.
Tentu, seorang gadis sepertinya mengharapkan kepastian akan perasaan. Bukan salahnya jika makhluk bergender perempuan sudah kodratnya begitu rentan dan sensitif mengenai masalah hati.
Setitik sinar muncul di ujung jangkauan pandangnya. Hinata mendongak, matanya berbinar, didekapnya kedua tangannya. "Bintang jatuh…" Mata lavendernya terkatup seiring dengan doa terlantun.
"Aku harap Kaasan tidak marah karena aku lupa membawa bunga. Aku harap Kaasan juga tidak marah karena di hari ulangtahunmu, aku justru membicarakan orang lain. Aku harap Kaasan tidak marah kalau aku justru berdoa supaya Naruto-kun cepat pulang…"
Sunyi.
Kelopak matanya membuka. Namun bukan remang kegelapan yang memenuhi indera penglihatannya, melainkan sebuket bunga yang terulur padanya.
"Wah, bintang jatuh yang sangat indah, tak mengherankan doamu terkabul cepat sekali. Bukankah begitu, Hinata?"
Sepasang mata sewarna bulan itu terbelalak dalam keterkejutan. Tangannya yang bergetar meraih rangkaian bunga mawar merah dan putih itu dalam pelukan. Lalu, ia memandang seseorang yang memberikannya buket bunga—yang dapat ia pastikan—asal toko bunga Yamanaka.
Dia tersenyum lebar. "Tadaima, Hinata."
Merona, Hinata turut tersenyum lega. Sembari menghirup wewangian bunga segar yang merasuki ruang penciumannya, ia balas berkata, "Okaerinasai, Naruto-kun."
Naruto Uzumaki melakukan sedikit peregangan otot, lalu menguap lebar. Diam-diam nyengir karena menyadari Hinata sedang mengawasi pergerakannya. "Harusnya, cewek seperti kau tidak sendirian datang ke tempat seperti ini, Hinata. Malam-malam pula. Tidak aman, tahu."
"Go-gomen." Hinata mengalihkan pandangan pada buket bunga yang diberikan Naruto. "Ke-kenapa kau bisa ta-tahu aku ada di sini, Naruto-kun?"
"Kau tidak tahu kalau yang namanya Naruto Uzumaki itu jenius, Hinata?"
Seketika Naruto memasang ekspresi jengkel, digembungkannya pipi, pura-pura cemberut melihat Hinata susah payah menahan tawa untuk bersikap sopan. "Oi, aku tidak main-main!"
Tak ayal lagi, Naruto akhirnya tidak tahan untuk tidak nyengir kembali, mendapati Hinata sudah jauh terlihat lebih baik dengan kehadirannya. "Ah, kalau aku tak salah ingat, aku pernah mengajakmu untuk ziarah bersama. Kau tak ada di mana-mana—termasuk di rumahmu, jadi kupikir ini adalah hari peringatan Ibumu. Benar?"
Sejenak terpana karena penuturan Naruto, Hinata tersenyum samar. Dimainkannya jari-jemarinya dalam pangkuan—gerakan refleks untuk menutupi sifat malu-malunya.
"Mu-mungkin ada b-benarnya."
"Eh, benar apanya, Hinata?"
"K-kau benar-benar je-jenius, Naruto-kun."
Hinata menoleh pada Naruto karena tak mendapatkan respon pemuda itu. Ia memiringkan kepala tak mengerti ketika menemukan Naruto terbelalak dengan mulut ternganga lebar, wajahnya menyiratkan ekspresi syok.
"Akhirnya ada juga yang mengakui kemampuanku! Astaga…" Mata biru itu berbinar-binar, kedua tangan tannya refleks meraih tangan dingin Hinata dalam genggaman erat, "aku tahu, hanya kau seorang yang bersedia mengakuinya, Hinata. Demo, hontou ni arigatou!" Dengan wajah tanpa dosa—super inosen, ditepuk-tepuknya ringan sepasang tangan berjemari lentik itu.
"A-a-ah… te-terima kasih ke-kembali, Na-ru-ruto-kun…" ucap Hinata terbata-bata, berbanding terbalik dengan irama jantungnya yang berdetak tak terkendali.
Naruto tetap tersenyum lebar. Kemudian dialihkannya pandangan pada langit bertabur bintang-gemintang. Tak sedikit pun terdapat tanda-tanda Naruto akan melepaskan tangan Hinata yang bergetar dan berkeringat dingin.
"Hinata… apa menurutmu Ibumu bisa mendengar perkataanku dari sini?"
Berusaha mengendalikan kesadaran dirinya yang kian menipis, Hinata mengangguk patah-patah. Mencoba untuk tak terlalu kaku, ia balik bertanya dengan susah payah karena gugup, "A-ada yang i-ingin kausampaikan pada Ibuku, Naruto -kun?"
Seutas senyum lebar terkembang. "Aku ingin menjadi bintang seperti Ibumu…
"Kau begitu menyayangi Ibumu, kau merindukannya nyaris setiap waktu, dan ketika kau menatap bintang, matamu begitu berkilau mencerminkan kasih sayang. Yah, aku juga ingin kau seperti itu padaku…"
Kinerja otak Hinata mengalami penurunan. Atau pikirannya yang menolak untuk mengerti karena hatinya tak yakin akan fungsi indera pendengarannya. Mungkin ada kesalahan teknis pada indera pendengarannya. Haha, pemikiran yang konyol sekali, Hinata. Kau menangkap jelas maksud perkataan pemuda itu—yang mengharapkan kau menyayanginya laksana kau menyangi Ibumu.
"Ja-jadi… wa-waktu i-i-itu… saat O-Oro—bukan! Kakashi Se-sensei… bo-bom, ja-jaket bunuh di-diri, ke-ketika k-ki-kita bertengkar, ka-kau bi-bilang…"
Setengah geli, setengah kasihan dengan Hinata yang meracau tak jelas—gadis itu bahkan tak hanya bergetar tubuhnya tapi juga kesulitan bernapas dengan normal—dan semakin kikuk karenanya, terlebih Naruto memahami apa yang hendak Hinata tanyakan untuk penegasan, Naruto mengangguk.
"Kau tidak menganggap aku berbohong atau mendramatisir suasana genting waktu itu, 'kan?" tanya Naruto ringan. Jujur saja, ia menikmati ekspresi Hinata saat ini.
"Kemarin, ketika kau siuman, setelah menceritakan fakta di balik misi sialan tersebut, sebenarnya aku ingin menanyakan jawabanmu. Tapi, aku lupa. Hehehe." Naruto menggaruk pipi bergaris-garisnya yang tak terasa gatal, suatu gerakan tak perlu namun tetap dilakukannya untuk mengusir rasa canggung. "Gara-gara Tsunade-baachan, aku jadi lupa," imbuhnya lagi.
Hembusan angin malam hari menyapu suara inosen Naruto dengan nyanyian jangkrik malam.
Hinata terperanjat. Tak bergerak, tak sanggup berpikir jawaban apa yang sepantasnya dilontarkan pada Naruto. Atau tepatnya, mengungkapkan balik perasaannya yang terpendam dengan diterjemahkan dalam kata-kata.
Sebenarnya, Naruto tak menuntut jawaban apalagi paksaan. Hinata mengetahui perasaannya saja sudah cukup.
Namun, respon gadis itu mendatangkan rasa gemas sendiri di hatinya. Diamnya Hinata dengan raut muka memerah yang manis sekali—menurutnya, dan berdasarkan asumsi serta intuisinya yang menarik konklusi dari salah tingkah Hinata, sanggup membuat Naruto memamerkan cengiran khasnya sekali lagi.
"Hoaahhmm…" Naruto menguap lebar-lebar, dengan seenaknya tanpa minta izin pemiliknya—Hinata, Naruto membawa genggaman tangan mereka untuk mengusap-usap sepasang matanya yang berair. "Lelah sekali rasanya. Misi kemarin benar-benar menguras tenaga. Kami—tim tujuh—disuruh membereskan dan merekonstruksi ulang peternakan hewan di Sunagakure."
Naruto menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan penuturannya, "Yah, itu salahku juga, sih… melempar bom jaket bunuh diri berdaya ledak dahsyat itu harusnya keluar dari desa Suna. Tapi, itu bukan salahku juga. Saat itu—ketika bom-bom laknat itu akan meledak, yang terpikirkan olehku hanya menyingkirkannya sejauh mungkin.
"Eh, ternyata malah meledak di atas tumpukan tinja hewan-hewan itu. Ukh, menjijikkan sekali… apalagi beberapa rumah penduduk setempat terkena percikan tinja-tinja laknat yang sangat busuk baunya." Naruto menjulurkan lidahnya dengan ekspresi jijik, membayangkan misi yang telah usai diselesaikan itu cukup membuatnya mual.
Hinata hanya mengangguk-angguk. Ah, andai saja gadis di samping Naruto bukanlah Hinata, niscaya gadis itu akan merasa dirinya teramat malang, dan selekas mungkin menolak cinta Naruto.
Astaga… baru saja ada seorang pemuda mengungkapkan kejujuran terdalamnya; jatuh cinta padamu, lalu tiba-tiba saja banting setir topik pembicaraan mengenai misi apalah itu yang berhubungan dengan tinja?
Bagus. Kejujuranmu tentang cinta baru saja diragukan, Naruto. Tapi, sekali lagi—karena gadis yang berada di sisimu adalah Hinata, maka semuanya tetap baik-baik saja.
Sepasang mata lavender itu mengerjap beberapa kali. Hanya perasaan saja, atau memang ia sempat melihat kilatan licik terpeta di bola mata biru cemerlang itu?
"Hinata, kau masih ingin di sini, tidak?"
Tersentak kecil, Hinata mengangguk pelan.
"Kau tidak perlu pulang cepat-cepat, 'kan? Atau mungkin nanti ada seseorang yang akan mencarimu?" tanya Naruto lagi.
Hinata menggeleng pelan. "Tak ada yang menungguku. Uhmm… mungkin Neji Niisan. Tapi dia sedang melaksanakan misi."
Naruto terkekeh-kekeh. "Baguslah. Bilang saja tak ada yang menunggumu. Begitu saja, kok, repot.
"Aku istirahat sebentar, ya." Naruto cepat-cepat mengangkat tangan Hinata, kemudian dengan gerakan kilat merebahkan kepalanya dengan menjadikan pangkuan Hinata sebagai bantalan. "Kau tidak keberatan, 'kan?"
Hinata menelan ludah gugup. Dialihkannya pandangan pada sepasang kaki Naruto yang menjuntai di pinggir bangku yang mereka tempati—entah kenapa mendadak menjadi objek yang menarik untuk diamati.
"I-i-iya, Naruto-kun."
Naruto mengembuskan napas panjang. Cengiran nakal bermain di wajahnya. Dimiringkannya kepalanya ke arah kanan. Matanya terpejam. Dikuasai rasa kantuk.
Kesunyian menelan lembut suara Hinata yang bergema panjang dari atas bukit tersebut. Hinata tak berani bergerak, sekujur tubuhnya terasa kaku. Begitu pula dengan Naruto yang belum bisa merilekskan dirinya.
Sampai akhirnya, titik-titik kecil beterbangan memenuhi sekeliling mereka. Sinar mereka yang redup tak kalah berkelip dengan taburan bintang di hamparan langit malam. Kepak sayap rapuh mereka mengundang bunyi halus yang mengusir nyanyian jangkrik.
"Kireii naa, hotaru no hikari…" (#1) gumam Hinata yang tertangkap gendang telinga Naruto.
Pemuda itu membuka matanya, takjub dengan sekeping potret keindahan yang memenuhi ruang pandangnya seolah diabadikan oleh memorinya. Ada Hinata, yang terpana dengan mata berbinar penuh kilau refleksi cahaya, dikelilingi kunang-kunang. Naruto terpana.
Semua itu menyebabkan sudut-sudut bibirnya terlengkung melawan poros gravitasi. Naruto kembali memejamkan mata. Tubuhnya mulai menyerah pada rasa lelah dan nyaman yang membungkusnya.
"Naruto-kun…" Naruto menaikkan sedikit sebelah kelopak matanya, lalu bergumam tak jelas dengan lagak sangat mengantuk.
Tentu dalam hati ia tertawa gembira. Haha, apakah Hinata sedang berupaya membuatnya terbangun? Padahal ia belum benar-benar jatuh tertidur.
"Naruto-kun, ada kunang-kunang…"
"Aku tahu." Naruto menguap sekali lagi. Berupaya keras menahan bibirnya yang berkedut menahan senyum.
"Jarang sekali, ya? Biasanya ada di musim panas."
"…"
"Naruto-kun?" Hinata menundukkan kepalanya, untuk menatap Naruto dalam pangkuannya yang seolah telah tertidur pulas. Dihelanya napas lega. Sebenarnya Hinata sendiri sudah kesulitan berupaya mencari topik bahasan untuk diperbincangkan dengan Naruto.
Hinata tersenyum lembut. Sepasang mata khas klan Hyuuga-nya menatap lekat seraut wajah yang tampak pulas di pangkuannya. Dilarikannya tangan kanannya pada helaian rambut pirang pemuda itu. Membelainya perlahan-lahan meski getar hebat di tangannya menjalar hingga kepala si pemuda yang berpura-pura jatuh tertidur.
Dalam hati, Naruto Uzumaki bersorak penuh kemenangan.
Kemudian tangan kirinya terangkat, ibu jarinya menyentuh pipi yang memiliki tiga garis tersebut. Mengelusnya perlahan. Dilanjutkan dengan merambat ke seluruh wajahnya. Sepasang tangannya seakan berekspedisi dan berkenalan dengan daerah mana saja yang dapat disentuh dari wajah pemuda tersebut.
Siapa yang menyangka bahwa ternyata ia bisa sedekat ini dengan Naruto? Membayangkannya saja Hinata tidak pernah. Terlintas oleh mimpi pun tidak.
Namun Naruto dalam dekapannya adalah konkrit, sebagaimana kehangatan mereka saling beresonansi, maka Hinata tak lagi memiliki daya untuk bersikap skeptis atas semua realita yang terhampar di hadapannya.
Meski terlalu sempurna untuk diyakini, toh, tetap seperti ini sama sekali tidak buruk.
Jika ini mimpi, maka Hinata akan berusaha untuk terbangun—kendati tidak rela. Apa baiknya terus tertidur dan bahagia hanya di dalam mimpi? Kenyataanlah yang harus dihadapi, bukannya melarikan diri dengan terus konsisten memeluk mimpi.
Namun, karena ini nyata, tinggal bagaimana insan tersebut menghayati dan mensyukuri anugerah yang telah dialamatkan Tuhan kepadanya.
Seperti halnya Hinata yang kini bersama Naruto.
Merasakan kehangatan Hinata lewat setiap sentuhannya, sudut-sudut bibirnya tertarik melawan poros gravitasi. Semua itu tak lolos dari pandangan awas Hinata. Gadis itu menyadari, pemuda yang tersenyum dalam pelukannya tidak sepenuhnya benar-benar tertidur.
Hinata tertawa pelan dan Naruto tidak bisa menahan diri untuk tidak nyengir lebar—meski kelopak matanya tetap terkatup rapat.
Gadis berambut indigo itu kini menyisiri helaian pirang yang terurai tak pernah rapi, sesekali tangan satunya yang masih bebas menepuk lembut bahu seseorang yang bercita-cita menjadi Hokage sejak belia.
Mendengar tarikan napasnya yang perlahan teratur serta tubuh yang kian rileks dalam dekapan hangatnya, Hinata menerawang memandangi kelopak mata yang seperti tirai tan, menghalanginya dari sepasang mata biru cemerlang yang selalu berbinar ekspresif.
"Naruto-kun, a-aku tahu kau belum ti-tidur."
Tiada respon dari Naruto. Pemuda itu bergeming dalam buaian kasih sayang Hinata.
"Masih ingat pertemuan kita dulu? Kau membuatku pingsan, lalu mengantarku pulang dan menggeletakkanku di pinggir gerbang masuk utama klan Hyuuga."
Naruto membuka sebelah matanya, mengerling dengan tatapan inosen pada Hinata. "Kau menceritakanku seakan aku ini telah melakukan tindak kejahatan."
Hinata tak menghiraukan respon Naruto. Ia kembali melanjutkan, "Jika sekarang aku jatuh tertidur, kau pasti akan bangun, dan mengulang hal yang sama."
Pemuda itu kembali memejamkan mata. Ia menggeleng kecil. "Benarkah? Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu."
Terkejut dengan tanggapan Naruto, Hinata mengalihkan tatapan pada pemuda yang sangat hiperaktif tersebut. Keterkejutan lebih dalam menyapa Hinata, ketika tangan berkulit tan itu menyelinapkan tangannya dalam dekapan hangat di dada bidang pemuda itu.
"Astaga, kau sadar tidak dari tadi aku tidak bisa tidur karena kau? Oh, tidak usah banyak berpikir, Hinata," keluh Naruto. "Aku sudah menunggu saat ini akan terjadi. Akhirnya kesampaian juga." Nada yang merajuk. Pura-pura—tentu saja.
Naruto mengintip lewat celah kelopak matanya. Hinata sama sekali tak terpengaruh perkataannya, gadis itu masih tersenyum, seindah seperti yang selalu terpatri dalam benaknya.
"Baiklah. Maafkan aku yang telah lancang mengganggu tidurmu, Naruto-kun." Hinata mengalah, ia melihat Naruto tersenyum, yang turut menularkan senyum pada dirinya. "Katakan, apa yang harus aku lakukan sementara kau tidur?"
Kena! Teriak Naruto penuh kemenangan dalam hati. Ia menampilkan seringai rubah liciknya, dan itu tetap menjerat Hinata dalam pesonanya.
"Bernyanyi untukku, mungkin?" tawar Naruto cepat. "Lagu pengantar tidur itu yang aku ajarkan padamu di pertemuan kedua kita—jika kau masih ingat."
Hinata tercekat. Ia tahu, sangat tahu lagu tersebut. Hanya saja… —lekas warna seindah senja menyapu wajahnya.
Naruto tidak mengadakan siaran ulang mengenai permintaan keduanya. Meskipun lagu itu sangat sederhana dan liriknya tidak berkesinambungan—maklumlah itu lagu dari masa kanak-kanaknya, tapi hanya itu satu-satunya cara untuk membuatnya tahu apakah Hinata benar-benar menautkan tali rasa yang sama seperti yang dirasakan dan telah diungkapkannya.
Sudahlah. Naruto akan tetap menunggu, walau memakan waktu. Persis seperti yang selalu Hinata lakukan selama ini.
Hinata menengadahkan kepala. Menatap hamparan langit malam yang dihiasi kerlap-kerlip kecil bintang. Setitik bintang yang bersinar paling mencolok dari yang lainnya, seakan mengedip padanya, dan terjatuh.
Hari ini musim semi, sepuluh tahun sejak hari itu. Sejak ia mendapatkan mimpi bertemu Ibunya yang terkasih. Baginya, Ibu yang telah menjadi bintang dengan latar langit gelap malam, senantiasa terlukis patrian di setiap sudut kenangannya.
"Ketahuilah artinya, sepuluh tahun lagi di musim semi, dan jika saat itu tiba, bawalah anak itu datang ke tempat Kaa-san."
Begitu
gamblang penuturan Ibunya—dan ini adalah saat yang ditunggu, tapi
Hinata masih tidak tahu karena Naruto tidak dibawa olehnya menuju tempat
Ibu, melainkan Naruto yang datang untuknya.Sepasang mata beriris lavendernya beralih, hendak memandang pada pemuda yang bergeming sejak mengutarakan permintaannya. Ternyata, ia menemukan sepasang bola mata biru itu tengah menatapnya.
Kunang-kunang masih setia menemani mereka. Ratusan cahaya mungil yang berpendar itu memercikkan sinar pada sekitarnya. Termasuk pada dua pasang mata yang bertautan.
"—dan aku harus menjadi bintang itu." Adalah sederet kata Naruto sejak kanak-kanak yang sarat determinasi.
Tatkala menemukan pantulan sinar itu berpijar laksana bintang dari refleksi bola mata beriris seperti lazuardi yang menyorot lembut padanya, sirna sudah segala sikap skeptis yang sempat membias dalam diri Hinata.
Ya, setelah semua yang terjadi, apalagi yang harus diragukan?
Naruto tersenyum lega menemukan Hinata—dengan wajah merah berseri—membalas senyumnya begitu hangat. Ia tahu, Hinata pun tak akan mengecewakannya.
"Tidurlah," bisik Hinata.
Naruto mengatupkan mata—sesuai dengan yang diinstruksikan Hinata. Sehembus napas panjang, dan genggaman tangan yang kian mengerat.
Sejurus kemudian, keheningan dipecahkan oleh suara lembut Hinata yang bersenandung, dengan lirih nan merdu mendendangkan lagu pengantar tidur sejak masa kecil. Suara yang bening itu merasukkan kantuk pada Naruto, menuntun dalam buaian menuju alam mimpi.
(*1)"Shizuka kimori no ue,
Kagayakeru hoshi hitotsu
Ai no uta kanaderu
Makiba no kaze yasashiku."
Tangan Hinata yang bebas dari genggaman Naruto, membelai surai pirang pemuda dalam pangkuannya itu. Mereka saling meresonansikan kehangatan. Tersenyum ketika kedamaian mendekap erat mereka.
Cerita ini bukan tentang bagaimana romantisme mereka di tempat yang indah, atau mengapa tiada eksistensi persona lain, dan mereka leluasa untuk berduaan berbagi afeksi yang merupakan hierarki intimasi cinta.
(*2)"Kotori mo koyagi mo
Haha ni idakare
Yume nite asobu no wa
Hana hiraku kaguwashiki niwa."
Naruto tersenyum di hari peringatan wafatnya seseorang yang telah membuatnya berjumpa dengan Hinata. Ya, perjuangannya tidak sia-sia. Penantiannya telah terjawab. Sayup-sayup suara Hinata yang dicintai oleh ruang pendengarannya terus menelusupkan ketentaraman dalam konsistensi yang sama.
(*3)Sugiyuku kyou no hi no
Hohoemi wote no hiro ni
Oyasumi, oyasumi
Kono te ni
Koibito yo."
Cerita ini yang dimulai dari sebuah dongeng Tentang Bintang, mengisahkan romansa sederhana. Ketika di ujung jalan setapak tatkala langkah sepasang tokoh utama bersinggungan, maka kisah ini diperbaharui namun tetap dengan latar dongeng Tentang Bintang mengiringinya.
Suara dengkur halus menjawab nyanyian sederhananya. Dan tuan putri dalam cerita ini mendaratkan satu kecupan manis di pipi tan sang pangeran, seraya berbisik lembut…
"Oyasuminasai, Atashi no Hoshi."
.
#~**~#
Kaasan, apa kabar?
Aku telah mengabulkan kehendakmu
Dan tak perlu engkau risaukan aku lagi
Tetaplah menjadi bintang
Agar aku senantiasa tiada lelah merindukanmu
Kendati aku telah menemukan bintang terindah di sisiku
Meniti sejak hari ini hingga seterusnya kelak
Aku bahagia
Agar kau turut berbahagia
Di mana pun kini kau berada, Kaasan.
.
OWARI
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Ket++: (#1) "Indahnya, cahaya kunang-kunang…"
"Oyasuminasai, Atashi no Hoshi." : "Selamat tidur, Bintangku."
.
Terjemahan:
(*1) Above a quiet forest
A single shining star
Sing a song of love
The wind blows gently in pasture
(2*)All the little birds and the young kids
Are held in their mother's embrace
The place where we play in our dreams
Is a fragmen gardens where flowers bloom
(*3)Today's sun is passing us by
But it smiles I will hold in my hand
Goodnight, goodnight
To this hand
My dear love
.
Versi Indonesia:
Ada suatu hutan yang sunyi senyap
Sebuah bintang menyala terang
Bertanya-tanya akan arti cinta
Angin berhembus di malam
Anak burung anak kambing
Di dalam dekapan sang Ibu
Bagai dalam mimpi bermain bersama
Taman beraroma bunga-bunga bermekaran
Kemudian di hari itu mekar senyuman manismu
Selamat tidur selamat tidur
Duhai engkau
Kekasih Kucinta
.
Saya melanggar guidelines, melanggar guidelines, melanggar guidelines banget… TIDAAAK! *headbangs* hukum saya… hukum… #ngais tanah
Waktu di chapter enam, saat Hinata harus memastikan mana Naruto yang asli, dia menyanyikan sepenggal lirik lagu, 'kan? Nah, itu versi Indonesia-nya lagu Etoile anime Ashita no Nadja. Berhubung waktu itu saya belum tahu lirik aslinya, saya tulis dalam versi Indonesia hasil rekaman dari Televisi stasiun Swasta. Tapi, karena saya sekarang sudah tahu, saya selipkan versi aslinya—Jepang—lengkap dengan terjemahan bahasa Inggris. Namun, karena sudah terlanjur sempat saya tulis penggalan liriknya dalam bahasa Indonesia, di A/N ini saya tulis lengkap versi bahasa Indonesia.
Saya ucapkan mohon maaf untuk segala kesalahan yang terdapat dalam fic ini maupun dari saya pribadi, serta terima kasih banyak untuk RnR yang terus mengikuti kelanjutan fic ini hingga tamat. Sejuta cinta untuk kaliaaan~ *peluk satu-satu* Tak lupa untuk semua yang telah menyumbangkan segala apresiasi dalam bentuk apa pun, saya cinta kaliaaan. 8'D
.
Sampai jumpa di karya-karya saya selanjutnya pada lain kesempatan!
We are NHL! We are FAMILY! Keep stay cool, Friends! ^_~
.
Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan kehadirannya. ;)
.
Sweet smile,
Light of Leviathan (LoL)
0 komentar:
Posting Komentar