Pairing:
Naruto X Hinata
Rate:
T, tidak ada adegan berbahaya di fict ini!
Disclaimer:
Mbah Masashi Kishimoto yang selalu ikut Light puja sekaligus gemess!
Warning:
Canon
verse. OOCness! GAJEness! The ugly romantic scene. Alur yang
berganti-ganti antara maju dan mundur. Typo, salah-salah yang kentara,
dan keanehan lainnya!
Italic: poetry, may be? I don't think so… T__T
Bold: Hinata's POV, with her mother.
Rasanya, hampir gak ada poetry di chapter ini!
.
Have a nice read! ^__~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
"Tolong terima permohonan ini…"Suara memelas itu sekali lagi memecah keheningan dengan harum kebimbangan di kantor itu.
Sang Pemimpin tengah dilanda kebimbangan. Ia diminta melakukan sesuatu yang terlampau sulit… Dan mempertaruhkan siapa yang paling ia sayang.
Sosok berwajah tegas yang ada di hadapannya kini meminta dengan sangat memelas. Dia juga berani bayar dan mempertanggungjawabkan semua yang nanti akan terjadi. Asalkan, apa yang ia minta bisa dikabulkan pemimpin yang ada di hadapannya.
"Ini sulit…" Kata pemimpin itu, menopang wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu memberikan isyarat pada sang Asisten untuk memberikannya segelas minuman.
"Tolong anakku! Kau juga ingin melihatnya berkembang kan?" Tanya Pria yang ada di hadapannya.
Pemimpin berwajah tegas ini mengangguk, "tapi tidak begini caranya…"
Sang Pria baru saja mau berkata, ketika ketukan di pintu membuat konsentrasi pembicaraan seriuspun terpecah.
"Masuk!" Perintah Pemimpin.
Seorang Shinobi masuk ke dalam ruangan setelah menutup pintu, setelah membungkukkan badan, ia mendekat ke meja perdebatan itu. "Ne, kata tim peneliti, ini bisa digunakan…" Shinobi itupun mengangkat benda yang ia pegang.
Belum Pemimpin itu sempat berkomentar, Tamunya tersebut tersenyum lalu berbicara, "gunakan itu saja!"
Mata yang satu-satunya berfungsi untuk melihat bersamaan dengan sepasang mata Onyx melebar dalam keterkejutan. "Apa?! Itu berbahaya!" kata Sang Asisten dan Shinobi tadi.
"Biarkan anakku yang memakainya!" Potongnya tegas. "Aku punya strategi, aku berjanji tidak akan ada yang terluka… Kalau ada yang rusak, akan kuganti semua kerusakannya! Jadi, maukah kalian bekerja sama denganku?" Tanya Tamu yang lancang tersebut.
"Keras kepala…" Sindir Pemimpin, tapi tak lama, ia sendiri tersenyum. "Baiklah…"
Pemimpin dan tamunya itu saling mengulurkan tangan. Lalu berjabat tangan, dan seringai, terpeta di wajah mereka…
#~**~#
"Ino, kita sudah selesai melukis, mereka belum berubah posisi…" Bisik Sai di balik keranjang mawar putih.Ino menoleh lalu terkikik pelan dengan bunga lily di atas kepalanya. "Benar sekali. Biarkan saja. Aku mau tahu seberapa lama mereka akan bertahan."
TING TONG!
"Oh no…" Keluh Ino.
"Sayang sekali," komentar Sai.
Sakura bersama dengan kawan-kawan yang lain menghambur masuk. "KONICHIWA!"
Sakura melihat Sai yang menyabarkan Ino yang tampak mengeluh. "Mereka di sana!"
"DOOORRR! Hayooo~ lagi ngapain?!" Goda Tenten dan Sakura melihat Ino dan Sai.
"KUTU KUPREEET~!" Jerit Ino kaget. Oh ternyata dia punya penyakit latah…
Semua geleng-geleng. Masih belum sadar rupanya…
Hinata menarik lengannya, "g-gomenasai," bisik Hinata lirih sehingga terdengar oleh Naruto. Lalu menyembunyikan kedua tangannya ke belakang punggungnya.
"Gomenasai…" Balas Naruto juga pelan. Keduanya saling membuang muka dan menjauhkan diri.
"INO! Telinga kami sakiiitt!" Balas Sakura dan Tenten.
Ino cepat-cepat menoleh, mencari objek lukisnya tadi dengan Sai. Tiba-tiba, mata Ino berkaca-kaca, lalu hidungnya kembang kempis, dan akhirnya Ino memeluk Sai. Keduanya jatuh terduduk… Buku sketsa yang dipegang Sai pun ikut jatuh.
"Kalian sih dataaaang! SAI! Huhuhuhu… Mereka!" Isak Ino tidak jelas.
"Sabar, Ino… Sudah takdir," kata Sai mengelus-ngelus rambut pirang Ino.
"Loh? Kok malah nangis?" Tanya Sakura panik. Lalu ia dan Tenten berjongkok di sebelah Ino yang terisak di bahu Sai.
"Oh, diamlah, Ino…" Kata Shikamaru malas.
"Ino kena tamu bulanan yah?" Tanya Chouji inosen.
Shino menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ino… Lebih baik semangat! Selagi kita masih muda!" Kata Lee mencoba menghibur.
Sebuah buku mengenai kaki Sasuke, membuat Neji dan Sasuke menoleh. Bukunya terbuka. Sasuke memungutnya, dan melihatnya bersama Neji. Lalu melirik Neji dengan ujung matanya. 'Mudah-mudahan penyakitnya tidak kambuh…' Doa Sasuke dalam hati.
Kiba menoleh ke kanan dan ke kiri. "WAAAH~ ada Naruto-sama dan Hinata yah di sini? Hai, sini!" Kiba melambai kepada Naruto dan Hinata yang berdiri jauh-jauhan.
Hinata menelan ludah dengan gugup, lalu mendekati Kiba, dan akhirnya sembunyi di belakang Shino. Dan tanpa kata, hanya dengan bahasa tubuh, Shino sudah mengerti, Hinata sedang merasa takut, malu, atau gugup…
"Baru sadar?!" Tanya Naruto ceria, mencoba menutupi dan mengalihkan perhatiannya dari kejadian yang mendebarkan hatinya barusan.
Sasuke berjalan mendekati Sai. Lalu mengulurkan tangan, sebuah keajaiban. Suasana mendadak hening. Neji juga ikut mendekati Sai.
Sai menerima uluran tangan Sasuke, "terima kasih, Sasuke…"
Sasuke mengangguk, lalu menyeringai, "gambar yang bagus, teman…"
Ada angin apa Sasuke memanggil Sai teman? Bagus sih… Tapi, ada yang mengganjal.
"Pasti gambarmu adalah penyebab Ino menangis," kata Neji dingin.
Sai tersenyum, sebuah senyum palsu seperti biasa. "Jadi, wahai kedua temanku, apa yang kalian temukan di buku sketsaku?"
Sasuke membuka halaman pas di tengah. Lalu melirik Sai yang tersenyum puas memandangi hasil karyanya sendiri. "Bagus…"
Neji, Sasuke dan Sai menengok ke kanan, Naruto yang sedang heboh mengobrol dengan Kiba dan Lee, lalu menoleh ke kiri, mendapati Hinata yang bersembunyi di punggung Shino.
"Ada yang salah dengan penampilanku?" Tanya Shino datar.
Neji, Sasuke dan Sai menjawab, seolah hati mereka terikat rasa persaudaraan yang kuat. "Siapa juga yang melihatmu…" Kata mereka serempak.
Shikamaru dan Chouji sweatdrop.
"Kau kenapa menangis, Ino?" Tanya Tenten heran.
"Hiks… Ada saja. Pokoknya-" Ino baru mau menjelaskan, ketika suara Naruto membuat semua perhatian teralih.
"Ngomong-ngomong, mengapa kalian semua mendadak ada di sini?" Tanya Naruto heran.
Sebagian muka memucat, Naruto langsung mendapatkan firasat tidak enak. "Ada apa?!"
"Katanya, dari sebuah kota kecil dari Otogakure, salah satu klan di sana akan melakukan serangan ke Sunagakure, dari pihak Suna meminta bantuan ke Konoha. Dan kabarnya lagi, klan itu kuat," Sakura menarik napas, dan semua memandang ke arah Sasuke.
"Teme, kira-kira, Klan apakah yang berbahaya itu?" Tanya Naruto khawatir.
Sasuke menggeleng, "semua yang di Otogakure sudah kubunuh, aku yakin."
Hening sejenak.
"Mudah sekali bagimu untuk mengatakan bunuh, Sasuke..." Naruto bergidik ngeri.
Sasuke memutar kedua bola matanya, "sudah mati… Aku yakin. Itu pasti bukan dari Otogakure."
"Lalu, kalau bukan, darimana?" Tanya Kiba.
Shikamaru angkat bicara, "mungkin saja dari penduduk luar yang mengungsi ke Oto, lalu menjadikan tempat itu sebagai markas, mungkin Klan mereka diserang oleh Suna, sehingga, kini setelah mereka sudah kuat, mereka siap balas dendam pada Suna…"
Semua memikirkan Shikamaru, dan Sasuke yang pertama mengangguk. "Masuk akal," kata Sasuke.
"Lalu, kita harus apa?" Tanya Lee, "bukannya tidak perlu kita semua turun tangan? Cukup satu tim sudah cukup…"
Semua mengangkat bahu, Naruto menjawab, "maka dari itu, sekarang kita ke kantor Hokage! Untuk tahu informasi lebih lanjut!"
Naruto mulai melangkah ketika sebuah pertanyaan membuat langkahnya terhenti.
"Tidak jadi ke TMPK, Naruto-sama?" Sindir Ino.
Hinata menundukkan kepalanya di belakang Shino. Dia tahu, sebagaimanapun ia ingin ke 'rumah' Kaa-sannya, ada hal penting yang harus diutamakan. Ia bisa ke tempat Kaa-sannya kapan saja, tapi jika nyawa melayang, tidak ada waktu yang tersisa.
Naruto membalikkan badannya perlahan, garis wajahnya menunjukkan kebimbangan, jujur ia ingin pergi dengan dia… Entah mengapa ada yang menahannya. Ada firasat buruk… Perasaan tidak enak yang mengganjalnya.
"Kita pergi," sebuah suara lembut membuat Naruto mengangkut kepalanya. Menemukan seseorang yang tadi bergandengan dengannya. Matanya bertemu tatap dengan tegas seolah menguatkannya untuk melangkah pergi.
"Kalau sampai kita semua dipanggil untuk turun tangan, bahkan, Hokage-sama juga," Hinata menelan ludah gugup, tangannya mendingin dan terkepal. "Berarti itu sangat penting, dan bukan lawan sembarangan. Ada yang membutuhkan pertolongan kita... Dan mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi."
Semua kecuali Rokudaime-Hokage menatap Hinata dengan tidak percaya, lalu senyum lembut terkembang di wajah mereka semua… Termasuk Rokudaime-sama. Hati mereka menghangat.
"KITA PERGII!" Seru semua. Lalu berlarian seperti anak kecil seolah bel akademi tanda masuk ke kelas sehabis istirahat, berbunyi.
Naruto memimpin di depan, tapi mendadak jalannya melambat, mendekati seseorang yang merasa jantungnya bisa meledak sewaktu-waktu. "Arigatou gozaimasu, Hinata-chan…" Bisik Naruto lirih. Lalu melempar senyum lembut. Mencoba mengenyahkan perasaan tidak enaknya dengan menatap wajah teduh nan lembut yang selalu membuat hatinya hangat.
Untuk pertama kalinya, dengan melihat senyum pemuda bermata biru serupa langit biru yang melempar senyum, hati sang gadis mereda dari kegugupan, dan bahkan balas tersenyum… "Ya. Kita berjuang sama-sama yah…"
"Mereka ngobrol apaan sih di depan? Bikin iri saja…" Keluh Sakura.
"Kau bilang bikin iri? Aku setuju sih..." Kata Ino.
Tenten geleng-geleng, "mereka itu cocok sekali!"
Ketiga gadis itu mengangguk. Ketika terguran dari teman-teman mereka di belakang yang laki-laki membuat mereka menoleh.
"Kalian ini, bergosip terus!" Tegur Kiba kesal.
"Apa sih?" Tanya ketiga gadis itu kompak.
"Kalau tidak mau iri, cari pacar sana! Makanya, jadi Perempuan jangan sok jual mahal…" Celetuk Sasuke.
Seseorang merasa tersindir, "Apa maksudmu berkata seperti itu, Sasuke-kun?!"
Sasuke menoleh dengan tatapan dingin mematikan. Menatap gadis bermata Emerald yang kini bergidik ngeri melihat tatapannya, "Merasa tersindir? Kau merasa menjadi Perempuan yang jual mahal?" Tanya balik Sasuke datar.
Muka gadis itu merah padam, "a-aku tidak merasa se-seperti itu!" Elaknya.
Sasuke memutar kedua bola matanya. "Lalu, kenapa mesti marah?"
Gadis itu melepaskan amarahnya. "Aku TIDAK marah!" Katanya, nyaris berteriak karena kesal, sejujurnya, dalam hatinya… Ia merasa SERATUS persen tersindir.
"Tapi, aku sendiri mengiramu marah… Dilihat dari caramu berbicara yang seperti ini, aku tahu, kamu marah…" Kata Lee pelan. Gaadis itu menatap Lee dengan tatapan tidak percaya…
Seseorang yang selalu mencintainya bahkan saat Lee tahu ia mencintai Sasuke setengah mati, kini… Pikir Sakura lemas.
Sakura menatap yang lain, meminta bantuan. Semua menggeleng, dan Sakura menatap Ino, memelas… Tapi Sahabatnya hanya diam saja. Minta tolong Naruto? Semakin memalukan saja… Kalau begitu, siapa?
Kita tinggalkan dulu Sakura yang sedang berpikir mencari bantuan pada siapa.
"Sasuke, sudah punya pacar yah?" Tanya Neji pelan.
Sasuke dengan malas menatapnya, "kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?"
"Yeee~ ini orang, ditanya balik bertanya!" Keluh Neji.
Sasuke menyembunyikan senyum tipisnya dalam hati…
Sakura menemukan orang yang tepat untuk dimintai pertolongan. Mendukungnya, Sakura sedikit berlari lebih cepat, lalu menarik pelan orang itu, dan orang itu menoleh, agak kaget. "A-ada apa, Sakura-chan?"
"Baka…" Gumam Sasuke.
Sepertinya, Sakura salah pilih orang.
"Hinata, aku tidak seperti orang yang dikatakan Sasuke, kan?" Tanya Sakura berharap, berdiri menghalangi Hinata yang menatap Naruto.
Langkah mereka semua terhenti. Dan Hinata menoleh ke samping. Sasuke menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengangkat tangannya. Tidak perlu jadi jenius untuk memahami maksud Sasuke.
Tapi Hinata malah menatap Sakura, lalu tersenyum… Ramah, dan mengeluarkan jurusnya yang selalu membuat orang yang bertanya padanya pasti tersenyum senang, sedang hatinya … Terasa tertusuk menyakitkan. Hatinya kadang merintih perlahan saat merasakan sakit yang sama kembali menerpanya. Sakit yang tidak akan pernah bisa akrab dengannya.
Hinata perlahan menggigit bibir bawahnya, sekalipun lidahnya terasa kelu. Ia tidak akan membiarkan dirinya menodai setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Hinata tidak mengerti duduk permasalahan…
Tapi… "Benar, tidak seperti kata Sasuke-kun."
Hinata tidak tahu. Kalau orang yang kini berdiri di belakang orang di hadapannya merasakan sakit sama sepertinya, ketika Hinata memanggil Sahabatnya dengan begitu akrab. "Sasuke-kun," biasanya ia juga tidak pernah merasa seperti ini…
"Sakura-chan sangat cerdas, cantik dan baik hati. Kesayangan Godaime-sama dan semuanya. Dan sangat setia…" Hinata mengerling Sasuke yang pura-pura tidak mendengar. "Semua menyayangimu…"
Dan Hinata menyesal telah berkata seperti itu. Rasanya menohok dirinya sendiri. Tapi ekspressi sakit di hatinya tidak tampak sedikitpun di wajah berparas lembut itu.
Tangan Hinata terkepal, mendingin. Matanya terasa perih dan berat… Ia takut menangis lagi. Hinata masih bisa tersenyum lembut, walaupun hatinya bagai berdarah.
Dan senyum Sakura melebar. "Arigatou gozaimasu, Hinata!" Dan menatap Hinata dengan tatapan begitu berterimakasih.
Neji menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mendengar Kiba bergumam.
"Kalau ada Hanabi, sepertinya akan ada perang dunia di sini. Sakura bisa mati di tangan gadis kecil itu."
"Hinata terlalu baik…" Balas Shino.
"Merepotkan…" Keluh Shikamaru kesal.
"Romantis, hiksu!" Lee mengelap air mata. Suasana hening seketika, dan dengan gerakan patah-patah a la robot, menatap Lee.
"Kenapa kalian melihatku dengan pandangan begitu? Memang aku ini hantu?!" Kata Lee jengah.
Tawa kecil dari Sai mengundang tawa dari yang lain. Membuat Sakura menoleh dan membalikkan badannya. "Ada apa?" Tanya Sakura heran.
Naruto mundur selangkah, lalu berjalan mendekatinya, dan menariknya, berjalan tanpa kata untuk cepat-cepat sampai ke Menara Hokage. Meninggalkan teriakan kesal dari yang lain.
"Na-Naruto…-Kun! Y-yang lain tertinggal!" Kata Hinata, dirinya terlalu kaget dengan gerakan cepat Naruto.
Wajah Naruto tampak begitu tegas, terlihat lebih tampan. "Biarkan saja, tidak apa-apa kan, Hinata-chan?" Tanyanya tanpa menoleh.
Hinata akhirnya mengangguk tanpa suara. Dan melangkah bersama Naruto. Naruto terus menggenggam tangannya, tidak memerdulikan banyak Shinobi yang begitu sopan memberi hormat padanya. Hinata mencoba untuk membungkuk, tapi tidak bisa, Naruto tidak menghentikan jalannya.
Hinata hanya bisa tersenyum sopan.
Dengan cepat, keduanya sampai di kantor Hokage.
Tsunade mengangkat kepalanya, "datang juga, kau, Naruto!"
"Aku tidak terlambat, kan? Yang lain belum datang…" Balas Naruto, lalu mendudukkan diri di kursi depan meja Hokage. Setelah melihat Hinata ikut duduk di sebelahnya. Naruto menatap Tsunade. "Jadi, ada masalah serius, Baa-chan?"
Tsunade merubah raut wajahnya yang letih kini menjadi serius. "Tunggu yang lain."
Tak lama, yang lain datang dengan gerutuan dan memelototi Naruto. Tapi, tak urung mereka pun ingin mendengar misi apa yang sebegitu seriusnya sampai Suna yang terkenal kuat Shinobi-nya, sampai minta bantuan Konoha…
"Naruto, kau bertanggung jawab dalam tim ini!" Tsunade mulai berdiri dari kursinya dan berjalan hilir mudik.
Naruto ikut berdiri dan membuntuti Tsunade dengan kedua tangan terlipat.
"Jangan membuat onar dan keributan, kau ini kan Hokage! Jangan bertindak serampangan. Kau itu harus melindungi…" Tsunade melanjutkan ocehannya dengan macam-macam gerakan yang semua ditiru Naruto dari belakang dengan sempurna.
Tsunade mengangkat tangan kanannya dan menunjuk ke sana kemari dengan manyun, Naruto pun mengikutinya. Maju satu kali, mundur satu kali, semua ditiru dengan sempurna oleh Naruto.
Naruto yang cemberut dan meniru Tsunade merupakan suguhan hiburan lelucon yang tidak lucu sebenarnya, namun membuat semua yang ada di ruangan, sakit perut menahan tawa.
"Mengerti, NARUTO?!" Tsunade membalik dengan cepat.
Karena terlalu refleks, Naruto pun ikut membalik ke belakang. Tiba-tiba kepalanya disentil sesuatu. "AWWW! Sakit, Baa-chan!" Naruto berbalik menghadap Tsunade dengan cengiran salah tingkah setengah hati, dan mengusap-ngusap kepalanya yang terasa sakit.
"Kau tadi mendengar tidak apa yang kukatakan tadi?!" Tantang Tsunade.
"Tentu saja!" Naruto membalikkan badannya, lalu mengoceh dan hilir mudik seperti Tsunade tadi. "Aku tidak boleh membuat onar dan keributan-padahal aku kan tidak membuat keributan! Aku ini kan Hokage! Aku harus berada di belakang untuk melindungi…"
Gantian. Kini Tsunade yang berbalik dan mengikuti gaya bicara Naruto. Dengan tangan kadang ingin memukul kepala dengan rambut kuning terang itu. Naruto berputar, Tsunade berputar.
"Aku mengerti, BAACHAN!" Naruto berbalik dengan cepat, menemukan seringai seram Tsunade berbuah menjadi senyum manis yang tampak dipaksakan.
Tsunade menghela napas, lalu duduk kembali ke kursi Hokage-nya. "Bagus kalau begitu. Kalian harus bergerak berpasang-pasangan. Sebentar…" Tsunade membuka laci, lalu mengambil sebuah kertas.
"Hm… Sai dengan Ino, Neji dengan Tenten," kata Tsunade sambil lalu.
Dua pasang yang sudah tersebut saling berpandangan heran.
Tsunade memutar kedua bola matanya, "Sakura dengan Sasuke-"
Sakura maju ke depan meja Hokage, "aku tidak mau dengan Sasuke!"
Yang bersangkutan hanya memutar bola matanya dalam bosan, "siapa juga yang mau denganmu…"
Tsunade balas menatap murid kesayangannya dengan pandangan tajam. "Kenapa? Ini misi, Sakura! Jangan campurkan dengan urusan pribadimu dengan Sasuke! Kalau ada, nanti saja… Karena ini menyangkut nyawa!" Kata Tsunade sedikit keras.
Hening seketika, tidak ada yang berani bersuara termasuk Naruto. Sakura merengut kesal. Sasuke memandang Konoha yang terbias sinar matahari.
"Lalu, Rokudaime-sama, dengan Hinata," kata Tsunade seolah tidak terjadi apa-apa.
Ekspressi boleh tidak tampak, tapi~ hati pasti berdetak. Betul tidak?
"Kenapa Rokudaime-sama tidak dengan Neji saja?" Tanya Ino, ia cukup sadar bahwa Naruto sedang memberikan tatapan mematikan padanya.
Tsunade menatap Ino, "Kan Neji berpasangan dengan Tenten."
'Pasti ada apa-apanya…' Batin Naruto curiga.
"Ya sudah, ingat, untuk empat pasangan tersebut, kalian tidak boleh terpisah! Mengerti? Karena empat titik inti dipegang oleh kalian!" Kata Tsunade lagi, dan empat pasangan tersebut mengangguk. Tsunade membuka laci lagi. Mengeluarkan peta. Dan mulai menjelaskan titik mana saja, yang harus mereka jaga.
#***#
Para
Shinobi itu melangkah keluar satu persatu dengan muka pucat, beban
mereka ternyata lebih berat dari perkiraan. Angin mendesau lirih di sela
keheningan yang menguasai mereka. Di kejauhan terdengar kicauan burung
menuju matahari terbenam. Hari terlampau sore, benar-benar nyaris malam.
Bulan purnama saja sudah terlihat.Naruto berjalan dengan tangan terkepal, matanya menyinarkan tekad kuat.
Semua hanya mengikuti ke mana Naruto melangkah, ke sebuah bukit… Tidak terlalu susah didaki untuk Shinobi professional macam mereka semua. Tapi ada satu hati yang merasa… Tempat ini sangat dikenalnya. Ia sedari tadi menggigiti bibir bawahnya dengan gugup. Kedua tangannya saling menggenggam mengusir rasa dingin.
Ketika mereka sudah sampai di atas puncak bukit itu. Pemandangan itu terlihat jelas di matanya. Naruto sendiri kini merebahkan dirinya di rerumputan. Berbantalkan tangannya. Menatap ke langit malam yang kini begitu terlihat gelap dan berhiaskan bintang-bintang…
Naruto tersenyum kecil, senyum yang tidak bisa dibaca. Ia menatap bintang tanpa suara. Lalu sedikit mendongak lebih ke atas, bangku saat ia dan seorang gadis kecil yang ditemuinya… Masih ada. Pohonnya, kebunnya… Tak ada yang berubah.
"Pintar juga kau memilih tempat, Naruto…" Kata Shikamaru, lalu ikut merebahkan diri.
Satu persatu, yang lain menyusul, menyusaikan diri. Menatap langit malam, besok lusa mereka harus berangkat dengan harapan terbebankan di pundak mereka.
Hinata berjalan mengitari yang lain. Pelan-pelan, ia duduk di bangku panjang itu. Lalu tersenyum kecil melihat teman-temannya yang seolah dibelai oleh lembutnya angin, dengan gesekkan dedaunan dan bunyi air mengalir di kejauhan. Mereka dimanja oleh alam. Kesadaran mereka hilang perlahan, kini hanya dengkur damai nan halus yang terdengar.
"Tidak tidur juga, Hinata-chan?" Tanya seseorang mengejutkannya.
Hinata menoleh dengan cepat, sama seperti ketika ia pertama kali menatap mata biru itu untuk pertama kalinya. "T-tidak… Malam ini indah sekali."
Keduanya saling melepas pandang Dan beralih menatap bintang, menikmati keberadaan satu sama lain dan teman-teman yang kini tidur dengan damai. Menikmati kerlap-kerlip bintang…
"Shooting star…" Gumam Hinata. Naruto mengangguk.
Keduanya memanjatkan permohonan, yang kini terbawa bintang jatuh, sang bintang akan mengantarkan doa mereka pada tempatnya. Pada saat yang tepat.
Hinata yang biasanya selalu menunggu untuk disapa, kini mendapatkan keberanian diri untuk menyapa. "Em… Naruto-kun."
"Ya?" Naruto tersenyum kecil
"Kalau nanti ada sesuatu yang memaksa kau harus pergi di sana nanti, kau pergi yah?" Tanya Hinata pelan, meminta tepatnya.
Naruto menoleh dengan cepat, "tadi kau dengar, kita tidak boleh berpisah!"
Hinata menoleh, dan Naruto mendapati dirinya terpesona oleh senyum lembut nan sederhana sang gadis. "Aku dengar, tapi… Kalau memaksa, kalau penting dan lebih baik."
Naruto berpikir sejenak, pemikiran Hinata ada benarnya. Naruto menghela napas berat. "Baiklah… Tapi aku janji, aku akan kembali secepatnya!" Kata Naruto, dan menatap Hinata dengan senyum lembut yang terukir di wajahnya.
"Kembali?" Tanya Hinata, ia mencoba untuk mengerti tapi…
Naruto mengangguk, "Aku akan kembali. Pasti! Secepatnya! Kau tidak boleh bertindak gegabah… Dan, tunggu aku!" Kata Naruto, sedikit nada khawatir terselip di perkataannya.
Entah, mungkin hati mereka sudah terjahit benang merah si benang cinta. Karena tangan mereka berdua sama-sama terangkat, mengulurkan kelingking mereka. Kini, hati mereka bertautan bersamaan dengan kelingking mereka yang mengait dengan manis.
"Kita buat janji," gumam mereka berdua.
"Kalau aku harus pergi karena keadaan mendesak, aku akan pergi… Dan pasti cepat kembali! Percayalah padaku…" Ucap Naruto dengan senyum.
"Dan aku akan menjaga diri serta menunggu kedatanganmu, percayalah padaku…" Balas Hinata dengan senyum kecil.
Ketika janji sudah tertanam di hati bintang jatuh kembali bersinar mengabulkan permohonan jika sudah saatnya harus terkabul.
#~**~#
Dari sebuah perjanjian kecil yang begitu indah.
Satu persatu bintang mengantarkan doa kalian.
Bukan sebuah impian muluk-muluk.
Bukan sebuah permohonan konyol.
Bukan tentang keegoisan diri.
Hanya sebuah permintaan pertepatan janji.
Tentang kepercayaan.
"Tunggu aku…"
"Aku akan menunggumu…"
Hanya diberikan kekuatan.
Untuk kuat menunggu dan cepat datang karena ditunggu.
.
To be continued~
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
0 komentar:
Posting Komentar