Shourai
Author: Yuiki Nagi-chan PM
"Aku mencintaimu. Aku
selalu menunggu dan mencintaimu Hinata."/Bukankah Kami-sama begitu
adil?/SakuNaruHinaSasu/...::NaruHina ever after::... / Last Chapter
Update!
Rated: Fiction T - Indonesian - Romance/Hurt/Comfort - Naruto U. & Hinata H. - Chapters: 7 - Words: 14,942 - Reviews: 112 - Favs: 40 - Follows: 9 - Updated: 06-21-12 - Published: 04-20-12 - Status: Complete - id: 8041710
-:-
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
...::Shourai::...
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Story: Yuiki Nagi-chan
Warning: AU. OoC. TYPO. Bad for EYD & Language. NaruHina rules
.:NaruHina Ever After:.
-:-
-5-
~Waiting for You~
.
.
.
.
.
.:Flashback:.
"I Love You."
Sakura kaget bukan main. Apa maksudnya ini? Apa yang terjadi?
"Naruto, kau bercanda?" Sakura berusaha bersikap normal, walau sebenarnya jantungnya mulai berdetak tidak karuan.
"Tidak.
Aku sungguh-sungguh mencintaimu." Sakura tidak tahu harus menjawab apa,
sedangkan Naruto memilih diam, menunggu respon Sakura. Di dalam suasana
yang hening itu, sinar matahari pagi menerobos masuk dari balik kaca
jendela dan memantul di layar ponsel milik Naruto. Memperjelas isi dari
pesan yang tadi dikirimkan Hinata untuk Naruto. Pesan terakhir sebelum
akhirnya mereka benar-benar akan berpisah.
I Love You...
Katakan itu pada Sakura, jika kau benar-benar bukan lelaki yang pengecut.
-:-
Setelah keheningan yang cukup lama, Sakura akhirnya berhasil meyakinkan hatinya. Mungkin... Naruto memang yang terbaik untuknya.
"Naruto, aku..."
"Maaf,
Sakura-chan," Naruto memotong kata-kata Sakura seraya menampilkan
cengirannya. "Mungkin perasaanku padamu sudah lama berubah."
Nyuut...
Sakura merasa sakit di dadanya.
"Entah mengapa, setelah mengungkapkan perasaanku padamu, semuanya terasa melegakan."
Sakura memaksakan diri untuk tersenyum.
"Sepertinya,
aku jadi yakin sekarang," secercah harapan tampak jelas di kedua mata
biru Naruto. "Semenjak bersama Hinata, perasaanku terhadapmu
perlahan-lahan terkikis. Mungkin sebenarnya, aku memang sangat mencintai
Hinata."
Sakura merasa air mata menggenangi kedua matanya. Dengan
cepat dihapusnya, sebelum Naruto menyadari bahwa dirinya mulai
menangis.
"I-itu bagus," tanpa sadar Sakura berkata dengan suara bergetar.
"Maaf,
Sakura. Aku jadi membuatmu bingung." Naruto kembali tertawa. "Soalnya
aku tahu kalau kau hanya menganggapku sebagai seorang teman. Tidak
lebih."
Sakura mengangguk perlahan seraya menundukkan wajahnya.
"Aku
harus segera pulang sekarang," Naruto beranjak dari kursinya dan
kembali menatap sosok Sakura yang tengah menunduk. "Aku harus memikirkan
cara yang tepat agar Hinata mau kembali padaku," lanjutnya mantap.
Sakura
akhirnya memberanikan diri menatap wajah Naruto. Sosok yang kini justru
sangat dicintainya. Mungkin sudah terlambat untuk menyadari, bahwa
Naruto-lah yang selalu berada di sisinya tiap ia merasa kesepian.
"Semoga berhasil, Naruto."
"Yosh! Aku pasti bisa!"
Begitu
Naruto pergi meninggalkannya demi Hinata, Sakura baru menyadari betapa
egoisnya ia. Mungkin, ini seperti balasan karena ia begitu memonopoli
Naruto tanpa memikirkan perasaan gadis itu. Perlahan pertahanannya
runtuh, dan air mata berhasil mengalir, membasahi wajahnya yang putih
bersih.
"Justru aku yang egois, Naruto..."
-:-
.:End of Flashback:.
.
.
.
Ruangan
mewah yang terkesan klasik itu tampak menggelap ketika awan menutupi
matahari di atas sana, segelap pandangan pria berumur 27 tahun yang
tengah menatap selembar kertas berisikan deretan informasi penting akan
sesuatu. Beberapa menit setelah cahaya matahari tersembunyi, beberapa
awan gelap perlahan bergerak menuju kota Tokyo hingga akhirnya
berkondensasi menjadi butiran air yang jatuh ke permukaan tanah.
Seharusnya
pria itu bisa menyalakan lampu di ruangan tersebut, atau setidaknya
mulai menyalakan pemanas melihat temperatur udara yang perlahan menurun.
Sayangnya, pria yang dikenal sebagai seorang Jaksa tersebut masih
terlihat enggan beranjak dari kursinya dan memilih kembali membaca isi
kertas yang tergeletak di meja tanpa menyentuhnya. Terus begitu hingga
ia bisa mengingat dengan jelas isi dari kertas tersebut.
"Jaksa
Hyuuga," seorang pria dengan jas coklat gelapnya masuk ke ruangan
tersebut dengan beberapa lembar kertas dokumen di tangan kanannya. "Kami
sudah berhasil melacak keberadaan gadis itu."
"Benar, kah?" Jaksa
terkenal di kota metropolitan itu akhirnya mengalihkan perhatiannya
setelah lima belas menit memandangi selembar kertas di mejanya.
"Perlihatkan padaku informasi yang berhasil kalian cari."
Pria
lainnya yang merupakan asisten dari Jaksa Hyuuga tersebut berjalan
mendekat ke meja atasannya lalu meletakkan beberapa lembar dokumen yang
tadi dibawanya. "Ini, Jaksa Hyuuga. Kami mendapatkannya setelah berhasil
menyusup ke kediaman Miyamoto di London."
"Hmm," Jaksa Hyuuga itu
mengambil dokumen yang di letakkan di mejanya, melupakan sebuah kertas
yang kini tertumpuk di bawah dokumen lainnya. "Dia di Jepang?"
"Ya, bersama Uchiha Sasuke."
Tanpa sadar pria keturunan Hyuuga itu menggertakkan giginya dan mengepalkan tangannya yang tidak memegang dokumen.
"Uchiha
Sasuke, Direktur Utama Uchiha Corporation..." hening sejenak ketika
Jaksa Hyuuga itu menarik selembar kertas di bawah tumpukan beberapa
dokumen tadi. "Cari informasinya beserta data lengkap anak laki-laki
ini."
Asisten Jaksa tersebut mengerutkan keningnya heran. "Uchiha Obito?"
Jaksa
Hyuuga itu mengangguk tegas. "Setelah kau selidiki, tolong atur waktu
yang paling tepat untukku dan Inspektur Namikaze. Kami harus segera
bertemu."
"Baik."
-:-
"Uchiha Sasuke, tolong beritahukan alasan Anda kembali ke Jepang."
"Tidak
ada alasan khusus," Sasuke berkata seraya terus melangkah bersama dua
pengawal setianya di sisi kanan-kirinya. "Aku hanya ingin kembali
membangung cabang Uchiha lainnya bersama isteriku."
"Kabarnya isteri Anda itu tidak menyetujuinya hingga tidak ikut kembali ke Jepang?"
"Itu
tidak benar," Sasuke menjawabnya dengan tenang. "Justru dia yang
mengusulkan. Makanya aku menyuruhnya kembali ke Jepang terlebih dahulu
tanpa pemberitahuan pada publik."
"Lalu bagaimana dengan gosip yang mengatakan bahwa Anda berpoligami?"
Sasuke sedikit mengernyit tidak suka.
"Seorang wartawan dari Swiss mengatakan bahwa Anda menikah dengan seorang wanita asal Rusia. Bagaimana reaksi isteri Anda?"
"Itu gosip lama. Sama sekali tidak benar."
"Tapi
kami memiliki foto-foto Anda bersama wanita asal Rusia itu. Di dalam
gambar tersebut Anda juga menggendong seorang anak laki-laki. Apa itu
anak Anda dengan wanita tersebut?"
"Sudah ku bilang itu tidak
benar!" Sasuke hampir berteriak ke arah para wartawan yang terus
mengikutinya. "Itu memang benar putraku, tapi dengan istriku, Uchiha
Hinata."
"Lalu siapa wanita asal Rusia itu?"
"Temanku."
Beberapa wartawan tampak saling berbisik sebelum kembali menyorot Sasuke yang beranjak pergi.
"Kalau begitu, bisa Anda beritahukan nama wanita tersebut?"
"Karin, dia mantan asisten sekaligus temanku dan Hinata di London."
Para wartawan kembali saling beradu argumen.
"Baiklah, terima kasih atas informasi yang Anda berikan Uchiha-san."
-:-
Piip!
Naruto
mematikan televisi di depannya dengan ekspresi dingin yang jarang ia
tunjukkan. Dadanya terasa bergemuruh hebat begitu otaknya memutar ulang
adegan beberapa tahun yang lalu. Berita yang barusan membahas kepulangan
Uchiha Sasuke juga berhasil membuat moodnya bertambah berantakkan. Di
tambah sejak tadi, sosok yang ia tunggu tidak kunjung muncul di layar
televisi. Gadis yang masih ia tunggu hingga saat ini. Moodnya langsung
hancur total.
Setelah terdiam cukup lama, Naruto akhirnya menekan
nomor seseorang yang sudah sangat dihafalnya pada ponsel flip miliknya.
Saat ini ia harus menenangkan diri dan hanya 'orang' itu yang bisa
mendengarkan seluruh keluh kesahnya.
"Sakura," entah sejak kapan
embel-embel '-chan' yang dulu melekat pada sahabatnya itu menghilang,
Naruto tidak tahu. Yang pasti saat ini gadis itulah yang paling tepat
dijadikan tempat curhat. "Apa kau masih ada praktek?"
"Iya, tapi
tinggal seorang anak lelaki lagi," Sakura menjawab seraya tersenyum pada
pasiennya. Anak lelaki dengan paras tampan tersebut balas tersenyum
walau tidak selebar senyum anak seumurannya.
"Perkenalkan, namaku Obito."
Samar-samar Naruto mendengar suara anak kecil di seberang telepon. Sepertinya Sakura terlalu sibuk menyambut pasien barunya itu.
"Kau datang sendirian? Mana orangtuamu?"
"Aku datang sama Mommy, kok!"
Naruto masih setia menunggu Sakura yang sepertinya belum memutuskan sambungan telepon.
"Kenapa kau pergi sendirian Obito?"
Degg!
Naruto
kenal. Ia kenal dan akan selalu ingat suara lembut yang mengalun merdu
itu. Sayangnya kejadian di masa lalu membuatnya enggan berharap terlalu
banyak. Naruto jadi berpikir kalau stress yang ia alami kini mulai
membuatnya berhalusinasi.
"Mommy, kan masih harus menerima telepon tadi."
Prangg!
Naruto mendengar suara barang terjatuh beberapa saat kemudian. Jantungnya makin berdetak diluar batas.
"Hi-Hinata?"
Suara Sakura yang terdengar cukup terkejut itu berhasil menyentak Naruto pada kenyataan.
Hinata telah kembali. Dan kini berada tidak jauh darinya.
.
.
.
Awalnya
dokter muda itu sudah curiga. Anak lelaki itu memiliki warna kulit yang
berbeda dengan Hinata. Putih tapi tidak sepucat milik Hinata maupun
Sasuke. Warna rambutnya memang khas Uchiha seperti Sasuke, tapi warna
merah matanya harus dipertanyakan.
Sakura memang pernah mendengar
kalau beberapa keluarga Uchiha memiliki warna mata merah menyala. Tapi
tidak seperti warna merah milik anak lelaki itu. Warna merah pada bola
matanya sebening batu ruby merah. Sedangkan warna mata khas mata
keluarga Uchiha adalah merah pekat dengan bintik hitam yang tampak
familiar.
Itu semua hanya sebuah dugaan, bukan fakta karena Sakura tidak memiliki bukti.
Tapi kini dugaan itu terbukti benar.
Uchiha Obito bukan putra Hyuuga Hinata.
"Kalian
yakin ini tidak tertukar?" Sakura kembali bertanya pada beberapa
perawat yang tadi bertugas mengambil sampel darah Hinata dan Obito.
"Kenapa bisa hasilnya negatif seperti ini?"
"Kami tidak tahu,
Sakura-san," perawat-perawat itu tampak ketakutan. "Kami hanya
menjalankan tugas. Wanita itu meminta dilakukan pemeriksaan darah
sebelum menemui Anda karena putranya terkena demam tinggi kemarin malam.
Wanita itu juga mengatakan ingin menyumbangkan darahnya pada korban
kecelakaan di kamar rawat 305, makanya kami..."
"Sudahlah, kalian
boleh pergi," Sakura tidak tega melihat wajah para perawat tersebut yang
sudah pucat pasi. Selain itu ia juga harus memikirkan beberapa
kemungkinan lainnya yang menyebabkan negatifnya hasil pemeriksaan darah
antara Hinata dan Obito.
Apa hal ini harus diberitahukan pada Naruto? Atau...
"Tidak,
aku tidak bisa..." Sakura berkata lirih seraya menatap langit-langit
ruangan tempat laboratorium untuk pemeriksaan darah tersebut. "Aku tidak
ingin kehilangan Naruto lagi."
.
.
.
Setelah
berhasil menjadi seorang dokter, Sakura memutuskan untuk memantau butik
peninggalan ibunya dari jauh. Ia juga sudah menunjuk seseorang yang ia
percayai untuk mengelola butik itu. Karena walau hobi membuat berbagai
desain gaun yang menawan, Sakura tetap ingin menjadi seorang dokter
sesuai cita-citanya sejak kecil. Naruto juga menyetujui hal ini. Itu
salah satu alasan Sakura menggemari pekerjaannya kini. Sayangnya, walau
sudah kembali dekat seperti dulu, perasaan cinta Naruto terhadapnya
tetap belum bisa kembali. Dan yang membuatnya makin putus asa adalah
senyum cerah pria itu yang telah lama lenyap, seakan ikut pergi bersama
Hinata.
"Dimana? Dimana Hinata, Sakura?"
Pria itu muncul 6
menit setelah Hinata meninggalkan rumah sakit. Rekor yang menakjubkan
mengingat padatnya kota Tokyo dan jauhnya letak ruang kerja Sakura yang
berada di sisi utara rumah sakit. Sakura sendiri menyunggingkan senyum
tipis yang sebenarnya penuh luka dan penyesalan. Kedua tangannya
perlahan terkepal erat.
"Sudah pergi, Naruto."
"P-Pergi?" senyum Naruto tadi menghilang diikuti hancurnya perasaan Sakura. "Kenapa kau membiarkannya pergi?"
"Memangnya
aku bisa melakukan apa?" Sakura berusaha menahan air matanya. "Kenapa
kau masih mengharapkannya, Naruto? Padahal dia sudah menikah dengan pria
tampan yang kaya raya!"
"Sama seperti dirinya dulu..." kini
Sakura bisa melihat tekad yang kuat dari kedua bola mata berwarna biru
cerah Naruto. "Aku juga akan menunggunya, seperti saat dia menungguku."
Sakura
tidak tahu harus merespon seperti apa ucapan Naruto tadi. Melihat
ketulusannya, membuat Sakura makin merasa bersalah. Tapi...
Dia juga mencintai Naruto. Bahkan mungkin lebih besar dari cinta Hinata untuk Naruto.
"Dia
pergi setelah tahu kalau aku adalah dokter yang akan memeriksa
putranya," Sakura berkata dengan nada datar. "Jika melihatku saja dia
sudah seperti itu, bagaimana jika dia bertemu denganmu?"
Naruto terdiam begitu mendengar kata-kata Sakura.
"Kau tidak memiliki harapan lagi, Naruto."
"Walau
harapannya nol persen, walau dia menghindariku, bahkan membenciku
sekalipun, perasaan ini tidak akan pernah berubah..." Naruto menampilkan
kembali senyum cerahnya yang hangat. Senyum yang telah lama hilang. Dan
Sakura tahu senyum itu bukan ditujukan untuknya. Tapi untuk Hinata.
"...Aku akan tetap mencintainya."
Mungkin, sudah terlambat untuk mengharapkan cinta Naruto lagi.
.
.
.
Pantai
ini masih sama seperti saat Hinata mengunjungi terakhir kali. Begitu
indah dan menenangkan. Warna kuning, orange, biru, dan ungu gelap yang
berpendar di langit kala itu terlihat menakjubkan. Suara lirih angin
yang berhembus dan kicauan beberapa burung camar yang saling bersahutan
memainkan melodi alam yang mengiringi terbenamnya matahari. Deburan
ombak sesekali menyusup diantara jari-jari kakinya yang ramping, membawa
beberapa rangsangan yang berbeda tiap Hinata jalan melangkah. Dingin
lalu hangat. Hangat lalu kembali dingin. Terasa sangat... tidak
konsisten.
"Mom, airnya dingin!" keluh Obito seraya mengimbangi
langkah cepat wanita 26 tahun di hadapannya. "Ayo, pulang! Aku mau
ketemu Daddy."
Hinata tetap melangkah seakan tengah berada di
dunianya sendiri. Pikirannya tidak menentu membuat kepalanya sakit
seakan bisa pecah kapan saja. Obito yang lelah mengejar Hinata akhirnya
berhenti melangkah. "Mom, aku kedinginan..."
Dingin. Airnya memang
dingin. Tapi hati Hinata terasa panas terbakar. Perlahan Hinata
menghentikan langkahnya, menunduk, lalu menatap kedua kakinya yang
kembali dialiri deburan ombak halus yang dingin.
"Hangat, tapi..." Hinata menautkan kedua alisnya. "...Terasa makin panas."
Obito
yang tidak mengerti kata-kata Ibunya itu ikut menatap kaki-kaki
mungilnya dan merasakan air laut yang menerjang dengan rasa dingin yang
menusuk tulang.
Obito makin tidak mengerti.
"Mom, sudah malam," bujuk Obito seraya menatap langit yang kian menggelap. "Aku sudah lapar..."
Hinata
berbalik untuk menatap wajah polos putra tunggalnya itu. Ia baru
menyadari betapa jahat dan egoisnya ia saat mengacuhkan anak lelaki
sebaik dan setulus Obito.
"Maaf, Obito," Hinata berbisik lirih lalu berjalan mendekati Obito.
"U-Uhuk!"
Hinata membulatkan kedua matanya saat melihat Obito jatuh terduduk seraya memegangi mulutnya.
"Ada apa? Kau kenapa Obito?"
"T-tidak,
aku tidak apa-apa," Obito berusaha tersenyum walau akhirnya kembali
terbatuk dengan keras. Wajah Hinata makin memucat saat melihat darah
merembes dari tangan mungil Obito.
"Mom, s-sesak..." Obito berkata pelan seraya meremas kemejanya di bagian dada. Tepat di depan organ jantungnya berada.
"T-tunggu
sebentar!" Hinata mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi nomor
rumah sakit yang ia kenal. Sayangnya, rumah sakit yang ia ketahui di
Jepang hanya rumah sakit yang siang tadi ia kunjungi.
"H-halo!"
Hinata terlihat sedikit lega begitu ada yang mengangkat panggilannya.
"Bisa kirim ambulans ke Saitama? Saya butuh pertolongan secepatnya."
.
.
.
.:Flashback:.
Sasuke
mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata yang perlahan memucat,
memiringkan kepalanya lalu bersiap mencium calon isterinya itu.
"Aah..."
Sasuke merasakan tekanan kedua tangan Hinata pada dada bidangnya. Tanda kalau Hinata menolak ciumannya. "A-aku tidak siap."
Tidak siap?
"Kenapa?" Sasuke berbisik di telinga Hinata seraya menekan punggung Hinata agar merapat padanya.
"A-aku hanya belum siap untuk..."
"Kenapa?" Sasuke mengulang pertanyaannya. "Kenapa kau siap saat dicium olehnya tapi tidak siap saat akan dicium olehku?"
"T-tidak, Sasuke, aku..."
Kata-kata
Hinata tercekat di tenggorokan saat merasakan hidung ramping Sasuke
menggesek leher jenjangnya dengan erotis. Kedua lengan kekarnya ikut
bergerak memeluk pinggang ramping Hinata seiring tubuhnya yang beringsut
turun.
"T-tidak..." Hinata berkata dengan bergetar. Sedikit lagi,
tangan Sasuke akan bergerak melepas resleting dressnya yang terletak di
bagian punggung. "J-jangan..." Hinata kembali berbisik lirih. "JANGAN!"
'BRUAKKK'
Hinata
memejamkan kedua matanya seerat mungkin. Tubuhnya masih bergetar
ketakutan sedangkan kedua tangannya terlihat mencengkram erat dressnya
yang longgar di bahu. Sedikit lagi. Sedikit lagi ia mungkin akan
menyesali kejadian ini.
"Ahh..." Sasuke menyentuh punggungnya yang
terasa sakit setelah tadi terhantam lemari baju di belakangnya. Sedikit
meringis sebelum akhirnya berdiri lalu menatap Hinata yang masih
memejamkan matanya dengan erat. "Tidak kusangka gadis lemah sepertimu
punya kekuatan seperti itu."
Kedua pipi Hinata sontak memerah
menahan malu. Perlahan ia bergerak mundur hingga menyentuh meja rias
dengan ukiran klassik pada bingkai kacanya.
"Sudahlah..." Sasuke, untuk pertama kalinya menghela nafas tanda mengalah. "Kau sebaiknya siap-siap. Kita akan ke Rusia besok."
"R-Rusia?" Hinata membuka kedua matanya, kaget. "Untuk apa? Kita, kan baru saja sampai di London."
Sasuke melangkah menuju pintu lalu menjawab. "Kita menikah di sana. Nenekmu juga sudah setuju."
.
.:End Of Flashback:.
.
.
.
Pria
itu sama sekali tidak berusaha mendekatinya. Hanya mengamati dengan
tatapan penuh kerinduan dan rasa bersalah yang tak terbendung lagi.
Ingin rasanya pria itu kembali ke sisi wanita dengan aroma segar bunga
lavender itu. Berjalan ke arahnya. Mendekapnya dengan erat. Memberikan
bahu tegapnya untuk tempat bersandar. Dan memberinya ciuman hangat yang
dapat menenangkan hatinya yang gelisah. Pria itu, Namikaze Naruto,
sangat ingin melakukannya. Tapi kedua kakinya terasa tertanam kuat
seakan ada gravitasi mengerikan yang mencegahnya menghampiri wanita
dengan rambut panjangnya yang berwarna indigo. Hatinya kembali tersayat
seakan luka yang sudah ia coba sembuhkan bertahun-tahun yang lalu
kembali terbuka lebar.
"Obito, bertahanlah..."
Wanita itu
menangis seraya terus mengulang kata-katanya dengan suara bergetar.
Langkahnya penuh kegelisahan dengan air mata yang terus mengalir di
kedua pipinya. Terus memberi semangat pada anak lelaki yang tengah di
bawa beberapa perawat menuju ruang ICU, walaupun tubuhnya sudah terlalu
lelah untuk sekedar berjalan dan menopang beratnya sendiri.
Naruto
menyaksikan hal itu. Naruto mendengar kata-kata dan isakan lirih dari
wanita itu. Naruto bahkan masih bisa mengulang kembali kejadian tadi di
dalam otaknya, betapa wanita itu begitu mencintai puteranya dari Uchiha
Sasuke itu. Betapa wanita itu begitu mengkhawatirkannya, yang berarti
tidak ada kesempatan lagi untuknya berharap lebih banyak. Berharap agar
hubungan mereka kembali seperti dulu. Semuanya terasa semakin jelas.
"Ada apa, Inspektur?"
Naruto
baru bisa mengalihkan pandangannya setelah sosok wanita itu menghilang
di sebuah tikungan menuju ruang ICU. "Tidak. Tidak ada apa-apa."
Ya, semuanya akan baik-baik saja..
... Harus baik-baik saja...
"Kita harus kembali ke kantor untuk menginterogasi tersangka dan mengamankan barang bukti yang telah ditemukan."
Dengan berat hati, Naruto melangkah menjauh. Menjauh dari wanita yang sudah ia cintai selama bertahun-tahun lamanya.
Bukankah, Kami-sama itu begitu adil?
"Hinata..."
Dan selama perjalannya menuju kantor polisi di pusat kota Tokyo, hanya nama Hinata yang terus berputar di pikirannya...
.
.
.
.
.
.:To Be Continued:.