SHOURAI CHAPTER 5 (Waiting For You)

Minggu, 23 Juni 2013
Shourai Author: Yuiki Nagi-chan PM
"Aku mencintaimu. Aku selalu menunggu dan mencintaimu Hinata."/Bukankah Kami-sama begitu adil?/SakuNaruHinaSasu/...::NaruHina ever after::... / Last Chapter Update!
Rated: Fiction T - Indonesian - Romance/Hurt/Comfort - Naruto U. & Hinata H. - Chapters: 7 - Words: 14,942 - Reviews: 112 - Favs: 40 - Follows: 9 - Updated: 06-21-12 - Published: 04-20-12 - Status: Complete - id: 8041710 


-:-
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
...::Shourai::...
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Story: Yuiki Nagi-chan
Warning: AU. OoC. TYPO. Bad for EYD & Language. NaruHina rules
.:NaruHina Ever After:.
-:-
-5-
~Waiting for You~
.
.
.
.
.
.:Flashback:.
"I Love You."
Sakura kaget bukan main. Apa maksudnya ini? Apa yang terjadi?
"Naruto, kau bercanda?" Sakura berusaha bersikap normal, walau sebenarnya jantungnya mulai berdetak tidak karuan.
"Tidak. Aku sungguh-sungguh mencintaimu." Sakura tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan Naruto memilih diam, menunggu respon Sakura. Di dalam suasana yang hening itu, sinar matahari pagi menerobos masuk dari balik kaca jendela dan memantul di layar ponsel milik Naruto. Memperjelas isi dari pesan yang tadi dikirimkan Hinata untuk Naruto. Pesan terakhir sebelum akhirnya mereka benar-benar akan berpisah.
I Love You...
Katakan itu pada Sakura, jika kau benar-benar bukan lelaki yang pengecut.
-:-
Setelah keheningan yang cukup lama, Sakura akhirnya berhasil meyakinkan hatinya. Mungkin... Naruto memang yang terbaik untuknya.
"Naruto, aku..."
"Maaf, Sakura-chan," Naruto memotong kata-kata Sakura seraya menampilkan cengirannya. "Mungkin perasaanku padamu sudah lama berubah."
Nyuut...
Sakura merasa sakit di dadanya.
"Entah mengapa, setelah mengungkapkan perasaanku padamu, semuanya terasa melegakan."
Sakura memaksakan diri untuk tersenyum.
"Sepertinya, aku jadi yakin sekarang," secercah harapan tampak jelas di kedua mata biru Naruto. "Semenjak bersama Hinata, perasaanku terhadapmu perlahan-lahan terkikis. Mungkin sebenarnya, aku memang sangat mencintai Hinata."
Sakura merasa air mata menggenangi kedua matanya. Dengan cepat dihapusnya, sebelum Naruto menyadari bahwa dirinya mulai menangis.
"I-itu bagus," tanpa sadar Sakura berkata dengan suara bergetar.
"Maaf, Sakura. Aku jadi membuatmu bingung." Naruto kembali tertawa. "Soalnya aku tahu kalau kau hanya menganggapku sebagai seorang teman. Tidak lebih."
Sakura mengangguk perlahan seraya menundukkan wajahnya.
"Aku harus segera pulang sekarang," Naruto beranjak dari kursinya dan kembali menatap sosok Sakura yang tengah menunduk. "Aku harus memikirkan cara yang tepat agar Hinata mau kembali padaku," lanjutnya mantap.
Sakura akhirnya memberanikan diri menatap wajah Naruto. Sosok yang kini justru sangat dicintainya. Mungkin sudah terlambat untuk menyadari, bahwa Naruto-lah yang selalu berada di sisinya tiap ia merasa kesepian.
"Semoga berhasil, Naruto."
"Yosh! Aku pasti bisa!"
Begitu Naruto pergi meninggalkannya demi Hinata, Sakura baru menyadari betapa egoisnya ia. Mungkin, ini seperti balasan karena ia begitu memonopoli Naruto tanpa memikirkan perasaan gadis itu. Perlahan pertahanannya runtuh, dan air mata berhasil mengalir, membasahi wajahnya yang putih bersih.
"Justru aku yang egois, Naruto..."
-:-
.:End of Flashback:.
.
.
.
Ruangan mewah yang terkesan klasik itu tampak menggelap ketika awan menutupi matahari di atas sana, segelap pandangan pria berumur 27 tahun yang tengah menatap selembar kertas berisikan deretan informasi penting akan sesuatu. Beberapa menit setelah cahaya matahari tersembunyi, beberapa awan gelap perlahan bergerak menuju kota Tokyo hingga akhirnya berkondensasi menjadi butiran air yang jatuh ke permukaan tanah.
Seharusnya pria itu bisa menyalakan lampu di ruangan tersebut, atau setidaknya mulai menyalakan pemanas melihat temperatur udara yang perlahan menurun. Sayangnya, pria yang dikenal sebagai seorang Jaksa tersebut masih terlihat enggan beranjak dari kursinya dan memilih kembali membaca isi kertas yang tergeletak di meja tanpa menyentuhnya. Terus begitu hingga ia bisa mengingat dengan jelas isi dari kertas tersebut.
"Jaksa Hyuuga," seorang pria dengan jas coklat gelapnya masuk ke ruangan tersebut dengan beberapa lembar kertas dokumen di tangan kanannya. "Kami sudah berhasil melacak keberadaan gadis itu."
"Benar, kah?" Jaksa terkenal di kota metropolitan itu akhirnya mengalihkan perhatiannya setelah lima belas menit memandangi selembar kertas di mejanya. "Perlihatkan padaku informasi yang berhasil kalian cari."
Pria lainnya yang merupakan asisten dari Jaksa Hyuuga tersebut berjalan mendekat ke meja atasannya lalu meletakkan beberapa lembar dokumen yang tadi dibawanya. "Ini, Jaksa Hyuuga. Kami mendapatkannya setelah berhasil menyusup ke kediaman Miyamoto di London."
"Hmm," Jaksa Hyuuga itu mengambil dokumen yang di letakkan di mejanya, melupakan sebuah kertas yang kini tertumpuk di bawah dokumen lainnya. "Dia di Jepang?"
"Ya, bersama Uchiha Sasuke."
Tanpa sadar pria keturunan Hyuuga itu menggertakkan giginya dan mengepalkan tangannya yang tidak memegang dokumen.
"Uchiha Sasuke, Direktur Utama Uchiha Corporation..." hening sejenak ketika Jaksa Hyuuga itu menarik selembar kertas di bawah tumpukan beberapa dokumen tadi. "Cari informasinya beserta data lengkap anak laki-laki ini."
Asisten Jaksa tersebut mengerutkan keningnya heran. "Uchiha Obito?"
Jaksa Hyuuga itu mengangguk tegas. "Setelah kau selidiki, tolong atur waktu yang paling tepat untukku dan Inspektur Namikaze. Kami harus segera bertemu."
"Baik."
-:-
"Uchiha Sasuke, tolong beritahukan alasan Anda kembali ke Jepang."
"Tidak ada alasan khusus," Sasuke berkata seraya terus melangkah bersama dua pengawal setianya di sisi kanan-kirinya. "Aku hanya ingin kembali membangung cabang Uchiha lainnya bersama isteriku."
"Kabarnya isteri Anda itu tidak menyetujuinya hingga tidak ikut kembali ke Jepang?"
"Itu tidak benar," Sasuke menjawabnya dengan tenang. "Justru dia yang mengusulkan. Makanya aku menyuruhnya kembali ke Jepang terlebih dahulu tanpa pemberitahuan pada publik."
"Lalu bagaimana dengan gosip yang mengatakan bahwa Anda berpoligami?"
Sasuke sedikit mengernyit tidak suka.
"Seorang wartawan dari Swiss mengatakan bahwa Anda menikah dengan seorang wanita asal Rusia. Bagaimana reaksi isteri Anda?"
"Itu gosip lama. Sama sekali tidak benar."
"Tapi kami memiliki foto-foto Anda bersama wanita asal Rusia itu. Di dalam gambar tersebut Anda juga menggendong seorang anak laki-laki. Apa itu anak Anda dengan wanita tersebut?"
"Sudah ku bilang itu tidak benar!" Sasuke hampir berteriak ke arah para wartawan yang terus mengikutinya. "Itu memang benar putraku, tapi dengan istriku, Uchiha Hinata."
"Lalu siapa wanita asal Rusia itu?"
"Temanku."
Beberapa wartawan tampak saling berbisik sebelum kembali menyorot Sasuke yang beranjak pergi.
"Kalau begitu, bisa Anda beritahukan nama wanita tersebut?"
"Karin, dia mantan asisten sekaligus temanku dan Hinata di London."
Para wartawan kembali saling beradu argumen.
"Baiklah, terima kasih atas informasi yang Anda berikan Uchiha-san."
-:-
Piip!
Naruto mematikan televisi di depannya dengan ekspresi dingin yang jarang ia tunjukkan. Dadanya terasa bergemuruh hebat begitu otaknya memutar ulang adegan beberapa tahun yang lalu. Berita yang barusan membahas kepulangan Uchiha Sasuke juga berhasil membuat moodnya bertambah berantakkan. Di tambah sejak tadi, sosok yang ia tunggu tidak kunjung muncul di layar televisi. Gadis yang masih ia tunggu hingga saat ini. Moodnya langsung hancur total.
Setelah terdiam cukup lama, Naruto akhirnya menekan nomor seseorang yang sudah sangat dihafalnya pada ponsel flip miliknya. Saat ini ia harus menenangkan diri dan hanya 'orang' itu yang bisa mendengarkan seluruh keluh kesahnya.
"Sakura," entah sejak kapan embel-embel '-chan' yang dulu melekat pada sahabatnya itu menghilang, Naruto tidak tahu. Yang pasti saat ini gadis itulah yang paling tepat dijadikan tempat curhat. "Apa kau masih ada praktek?"
"Iya, tapi tinggal seorang anak lelaki lagi," Sakura menjawab seraya tersenyum pada pasiennya. Anak lelaki dengan paras tampan tersebut balas tersenyum walau tidak selebar senyum anak seumurannya.
"Perkenalkan, namaku Obito."
Samar-samar Naruto mendengar suara anak kecil di seberang telepon. Sepertinya Sakura terlalu sibuk menyambut pasien barunya itu.
"Kau datang sendirian? Mana orangtuamu?"
"Aku datang sama Mommy, kok!"
Naruto masih setia menunggu Sakura yang sepertinya belum memutuskan sambungan telepon.
"Kenapa kau pergi sendirian Obito?"
Degg!
Naruto kenal. Ia kenal dan akan selalu ingat suara lembut yang mengalun merdu itu. Sayangnya kejadian di masa lalu membuatnya enggan berharap terlalu banyak. Naruto jadi berpikir kalau stress yang ia alami kini mulai membuatnya berhalusinasi.
"Mommy, kan masih harus menerima telepon tadi."
Prangg!
Naruto mendengar suara barang terjatuh beberapa saat kemudian. Jantungnya makin berdetak diluar batas.
"Hi-Hinata?"
Suara Sakura yang terdengar cukup terkejut itu berhasil menyentak Naruto pada kenyataan.
Hinata telah kembali. Dan kini berada tidak jauh darinya.
.
.
.
Awalnya dokter muda itu sudah curiga. Anak lelaki itu memiliki warna kulit yang berbeda dengan Hinata. Putih tapi tidak sepucat milik Hinata maupun Sasuke. Warna rambutnya memang khas Uchiha seperti Sasuke, tapi warna merah matanya harus dipertanyakan.
Sakura memang pernah mendengar kalau beberapa keluarga Uchiha memiliki warna mata merah menyala. Tapi tidak seperti warna merah milik anak lelaki itu. Warna merah pada bola matanya sebening batu ruby merah. Sedangkan warna mata khas mata keluarga Uchiha adalah merah pekat dengan bintik hitam yang tampak familiar.
Itu semua hanya sebuah dugaan, bukan fakta karena Sakura tidak memiliki bukti.
Tapi kini dugaan itu terbukti benar.
Uchiha Obito bukan putra Hyuuga Hinata.
"Kalian yakin ini tidak tertukar?" Sakura kembali bertanya pada beberapa perawat yang tadi bertugas mengambil sampel darah Hinata dan Obito. "Kenapa bisa hasilnya negatif seperti ini?"
"Kami tidak tahu, Sakura-san," perawat-perawat itu tampak ketakutan. "Kami hanya menjalankan tugas. Wanita itu meminta dilakukan pemeriksaan darah sebelum menemui Anda karena putranya terkena demam tinggi kemarin malam. Wanita itu juga mengatakan ingin menyumbangkan darahnya pada korban kecelakaan di kamar rawat 305, makanya kami..."
"Sudahlah, kalian boleh pergi," Sakura tidak tega melihat wajah para perawat tersebut yang sudah pucat pasi. Selain itu ia juga harus memikirkan beberapa kemungkinan lainnya yang menyebabkan negatifnya hasil pemeriksaan darah antara Hinata dan Obito.
Apa hal ini harus diberitahukan pada Naruto? Atau...
"Tidak, aku tidak bisa..." Sakura berkata lirih seraya menatap langit-langit ruangan tempat laboratorium untuk pemeriksaan darah tersebut. "Aku tidak ingin kehilangan Naruto lagi."
.
.
.
Setelah berhasil menjadi seorang dokter, Sakura memutuskan untuk memantau butik peninggalan ibunya dari jauh. Ia juga sudah menunjuk seseorang yang ia percayai untuk mengelola butik itu. Karena walau hobi membuat berbagai desain gaun yang menawan, Sakura tetap ingin menjadi seorang dokter sesuai cita-citanya sejak kecil. Naruto juga menyetujui hal ini. Itu salah satu alasan Sakura menggemari pekerjaannya kini. Sayangnya, walau sudah kembali dekat seperti dulu, perasaan cinta Naruto terhadapnya tetap belum bisa kembali. Dan yang membuatnya makin putus asa adalah senyum cerah pria itu yang telah lama lenyap, seakan ikut pergi bersama Hinata.
"Dimana? Dimana Hinata, Sakura?"
Pria itu muncul 6 menit setelah Hinata meninggalkan rumah sakit. Rekor yang menakjubkan mengingat padatnya kota Tokyo dan jauhnya letak ruang kerja Sakura yang berada di sisi utara rumah sakit. Sakura sendiri menyunggingkan senyum tipis yang sebenarnya penuh luka dan penyesalan. Kedua tangannya perlahan terkepal erat.
"Sudah pergi, Naruto."
"P-Pergi?" senyum Naruto tadi menghilang diikuti hancurnya perasaan Sakura. "Kenapa kau membiarkannya pergi?"
"Memangnya aku bisa melakukan apa?" Sakura berusaha menahan air matanya. "Kenapa kau masih mengharapkannya, Naruto? Padahal dia sudah menikah dengan pria tampan yang kaya raya!"
"Sama seperti dirinya dulu..." kini Sakura bisa melihat tekad yang kuat dari kedua bola mata berwarna biru cerah Naruto. "Aku juga akan menunggunya, seperti saat dia menungguku."
Sakura tidak tahu harus merespon seperti apa ucapan Naruto tadi. Melihat ketulusannya, membuat Sakura makin merasa bersalah. Tapi...
Dia juga mencintai Naruto. Bahkan mungkin lebih besar dari cinta Hinata untuk Naruto.
"Dia pergi setelah tahu kalau aku adalah dokter yang akan memeriksa putranya," Sakura berkata dengan nada datar. "Jika melihatku saja dia sudah seperti itu, bagaimana jika dia bertemu denganmu?"
Naruto terdiam begitu mendengar kata-kata Sakura.
"Kau tidak memiliki harapan lagi, Naruto."
"Walau harapannya nol persen, walau dia menghindariku, bahkan membenciku sekalipun, perasaan ini tidak akan pernah berubah..." Naruto menampilkan kembali senyum cerahnya yang hangat. Senyum yang telah lama hilang. Dan Sakura tahu senyum itu bukan ditujukan untuknya. Tapi untuk Hinata. "...Aku akan tetap mencintainya."
Mungkin, sudah terlambat untuk mengharapkan cinta Naruto lagi.
.
.
.
Pantai ini masih sama seperti saat Hinata mengunjungi terakhir kali. Begitu indah dan menenangkan. Warna kuning, orange, biru, dan ungu gelap yang berpendar di langit kala itu terlihat menakjubkan. Suara lirih angin yang berhembus dan kicauan beberapa burung camar yang saling bersahutan memainkan melodi alam yang mengiringi terbenamnya matahari. Deburan ombak sesekali menyusup diantara jari-jari kakinya yang ramping, membawa beberapa rangsangan yang berbeda tiap Hinata jalan melangkah. Dingin lalu hangat. Hangat lalu kembali dingin. Terasa sangat... tidak konsisten.
"Mom, airnya dingin!" keluh Obito seraya mengimbangi langkah cepat wanita 26 tahun di hadapannya. "Ayo, pulang! Aku mau ketemu Daddy."
Hinata tetap melangkah seakan tengah berada di dunianya sendiri. Pikirannya tidak menentu membuat kepalanya sakit seakan bisa pecah kapan saja. Obito yang lelah mengejar Hinata akhirnya berhenti melangkah. "Mom, aku kedinginan..."
Dingin. Airnya memang dingin. Tapi hati Hinata terasa panas terbakar. Perlahan Hinata menghentikan langkahnya, menunduk, lalu menatap kedua kakinya yang kembali dialiri deburan ombak halus yang dingin.
"Hangat, tapi..." Hinata menautkan kedua alisnya. "...Terasa makin panas."
Obito yang tidak mengerti kata-kata Ibunya itu ikut menatap kaki-kaki mungilnya dan merasakan air laut yang menerjang dengan rasa dingin yang menusuk tulang.
Obito makin tidak mengerti.
"Mom, sudah malam," bujuk Obito seraya menatap langit yang kian menggelap. "Aku sudah lapar..."
Hinata berbalik untuk menatap wajah polos putra tunggalnya itu. Ia baru menyadari betapa jahat dan egoisnya ia saat mengacuhkan anak lelaki sebaik dan setulus Obito.
"Maaf, Obito," Hinata berbisik lirih lalu berjalan mendekati Obito.
"U-Uhuk!"
Hinata membulatkan kedua matanya saat melihat Obito jatuh terduduk seraya memegangi mulutnya.
"Ada apa? Kau kenapa Obito?"
"T-tidak, aku tidak apa-apa," Obito berusaha tersenyum walau akhirnya kembali terbatuk dengan keras. Wajah Hinata makin memucat saat melihat darah merembes dari tangan mungil Obito.
"Mom, s-sesak..." Obito berkata pelan seraya meremas kemejanya di bagian dada. Tepat di depan organ jantungnya berada.
"T-tunggu sebentar!" Hinata mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi nomor rumah sakit yang ia kenal. Sayangnya, rumah sakit yang ia ketahui di Jepang hanya rumah sakit yang siang tadi ia kunjungi.
"H-halo!" Hinata terlihat sedikit lega begitu ada yang mengangkat panggilannya. "Bisa kirim ambulans ke Saitama? Saya butuh pertolongan secepatnya."
.
.
.
.:Flashback:.
Sasuke mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata yang perlahan memucat, memiringkan kepalanya lalu bersiap mencium calon isterinya itu.
"Aah..."
Sasuke merasakan tekanan kedua tangan Hinata pada dada bidangnya. Tanda kalau Hinata menolak ciumannya. "A-aku tidak siap."
Tidak siap?
"Kenapa?" Sasuke berbisik di telinga Hinata seraya menekan punggung Hinata agar merapat padanya.
"A-aku hanya belum siap untuk..."
"Kenapa?" Sasuke mengulang pertanyaannya. "Kenapa kau siap saat dicium olehnya tapi tidak siap saat akan dicium olehku?"
"T-tidak, Sasuke, aku..."
Kata-kata Hinata tercekat di tenggorokan saat merasakan hidung ramping Sasuke menggesek leher jenjangnya dengan erotis. Kedua lengan kekarnya ikut bergerak memeluk pinggang ramping Hinata seiring tubuhnya yang beringsut turun.
"T-tidak..." Hinata berkata dengan bergetar. Sedikit lagi, tangan Sasuke akan bergerak melepas resleting dressnya yang terletak di bagian punggung. "J-jangan..." Hinata kembali berbisik lirih. "JANGAN!"
'BRUAKKK'
Hinata memejamkan kedua matanya seerat mungkin. Tubuhnya masih bergetar ketakutan sedangkan kedua tangannya terlihat mencengkram erat dressnya yang longgar di bahu. Sedikit lagi. Sedikit lagi ia mungkin akan menyesali kejadian ini.
"Ahh..." Sasuke menyentuh punggungnya yang terasa sakit setelah tadi terhantam lemari baju di belakangnya. Sedikit meringis sebelum akhirnya berdiri lalu menatap Hinata yang masih memejamkan matanya dengan erat. "Tidak kusangka gadis lemah sepertimu punya kekuatan seperti itu."
Kedua pipi Hinata sontak memerah menahan malu. Perlahan ia bergerak mundur hingga menyentuh meja rias dengan ukiran klassik pada bingkai kacanya.
"Sudahlah..." Sasuke, untuk pertama kalinya menghela nafas tanda mengalah. "Kau sebaiknya siap-siap. Kita akan ke Rusia besok."
"R-Rusia?" Hinata membuka kedua matanya, kaget. "Untuk apa? Kita, kan baru saja sampai di London."
Sasuke melangkah menuju pintu lalu menjawab. "Kita menikah di sana. Nenekmu juga sudah setuju."
.
.:End Of Flashback:.
.
.
.
Pria itu sama sekali tidak berusaha mendekatinya. Hanya mengamati dengan tatapan penuh kerinduan dan rasa bersalah yang tak terbendung lagi. Ingin rasanya pria itu kembali ke sisi wanita dengan aroma segar bunga lavender itu. Berjalan ke arahnya. Mendekapnya dengan erat. Memberikan bahu tegapnya untuk tempat bersandar. Dan memberinya ciuman hangat yang dapat menenangkan hatinya yang gelisah. Pria itu, Namikaze Naruto, sangat ingin melakukannya. Tapi kedua kakinya terasa tertanam kuat seakan ada gravitasi mengerikan yang mencegahnya menghampiri wanita dengan rambut panjangnya yang berwarna indigo. Hatinya kembali tersayat seakan luka yang sudah ia coba sembuhkan bertahun-tahun yang lalu kembali terbuka lebar.
"Obito, bertahanlah..."
Wanita itu menangis seraya terus mengulang kata-katanya dengan suara bergetar. Langkahnya penuh kegelisahan dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. Terus memberi semangat pada anak lelaki yang tengah di bawa beberapa perawat menuju ruang ICU, walaupun tubuhnya sudah terlalu lelah untuk sekedar berjalan dan menopang beratnya sendiri.
Naruto menyaksikan hal itu. Naruto mendengar kata-kata dan isakan lirih dari wanita itu. Naruto bahkan masih bisa mengulang kembali kejadian tadi di dalam otaknya, betapa wanita itu begitu mencintai puteranya dari Uchiha Sasuke itu. Betapa wanita itu begitu mengkhawatirkannya, yang berarti tidak ada kesempatan lagi untuknya berharap lebih banyak. Berharap agar hubungan mereka kembali seperti dulu. Semuanya terasa semakin jelas.
"Ada apa, Inspektur?"
Naruto baru bisa mengalihkan pandangannya setelah sosok wanita itu menghilang di sebuah tikungan menuju ruang ICU. "Tidak. Tidak ada apa-apa."
Ya, semuanya akan baik-baik saja..
... Harus baik-baik saja...
"Kita harus kembali ke kantor untuk menginterogasi tersangka dan mengamankan barang bukti yang telah ditemukan."
Dengan berat hati, Naruto melangkah menjauh. Menjauh dari wanita yang sudah ia cintai selama bertahun-tahun lamanya.
Bukankah, Kami-sama itu begitu adil?
"Hinata..."
Dan selama perjalannya menuju kantor polisi di pusat kota Tokyo, hanya nama Hinata yang terus berputar di pikirannya...
.
.
.
.
.
.:To Be Continued:.

0 komentar:

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut