SHOURAI CHAPTER 7 (Early In My Life)

Minggu, 23 Juni 2013
Shourai Author: Yuiki Nagi-chan PM
"Aku mencintaimu. Aku selalu menunggu dan mencintaimu Hinata."/Bukankah Kami-sama begitu adil?/SakuNaruHinaSasu/...::NaruHina ever after::... / Last Chapter Update!
Rated: Fiction T - Indonesian - Romance/Hurt/Comfort - Naruto U. & Hinata H. - Chapters: 7 - Words: 14,942 - Reviews: 112 - Favs: 40 - Follows: 9 - Updated: 06-21-12 - Published: 04-20-12 - Status: Complete - id: 8041710 



Disclaimer: Masashi Kishimoto
Story: It's Mine
Warning: AU. OoC. TYPO. Bad for EYD & Language. NaruHina rules.
.
.
.
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
...::Shourai::...
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
-:-
.:NaruHina Ever After:.
-7-
~Early in My Life~
*The Ending*
.
.
.
.
.
Hujan mengguyur prefektur Saitama tanpa ampun. Angin kencang yang berhembus pun terlihat mengayunkan ratusan ranting pohon yang menghuni kawasan pemakaman umum. Di salah satu nisan yang dipenuhi puluhan kelopak bunga kamelia dan sebuket bunga lili, wanita itu terduduk seraya memanjatkan doa dengan khusyuk. Tidak peduli pada derasnya hujan ataupun angin yang menerjang dengan keras.
Di belakangnya berdiri sosok tampan Namikaze Naruto yang memayungi sosok rapuh sang wanita. Warna biru yang berpendar di matanya tersebut terlihat menggelap. Rambut pirangnya sendiri tidak lagi berdiri tegak seakan menantang gravitasi, melainkan menjuntai halus di sekitar kening dan pelipisnya. Garis rahang yang kuat dan tegas menambah kesan maskulin yang selalu menguar dari sosok rupawannya.
"Ayah..." alunan melodi angin dan gesekan daun momiji mengikuti intonasi suara tersebut. "Maafkan aku."
Naruto memejamkan matanya. Turut merasa bersalah. Seharusnya ia sudah mengetahui hal ini sejak dulu. Tapi, patah hati yang ia alami membuatnya tak peka pada sosok tegas ayah dari wanita di depannya.
Hyuuga Hiashi. Lahir 7 Juli 19xx. Wafat 21 November 20xx.
"Aku benar-benar anak yang tidak berguna," bisikan itu di iringi isakan lirih Hinata. "Bahkan di saat ayah tengah berada dalam kondisi kritis, aku sama sekali tidak mengetahuinya."
Lengan kokoh itu turut memeluk tubuh Hinata dari belakang. Mengacuhkan sebuah payung hitam yang terbawa arus angin. "Ini bukan salah siapa-siapa."
Tangisan itu terdengar makin keras.
"Tidak. Ini salahku... Salahku."
Mata beriris ungu pucat itu terpejam erat. air hujan yang membasahinya seakan tidak mampu untuk turut menyembunyikan kesedihannya.
"Jangan merasa bersalah. Semua orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya."
Dan pria itu selalu berhasil menyampaikan kata-kata penenang yang mampu mengubah cara pandang Hinata.
"Aku meninggalkannya saat perusahaannya hancur dan ia tengah dilanda kemiskinan. Tidakkah itu egois, Naruto?"
"Tidak," Naruto meletakkan dagunya pada bahu mungil Hinata. Menghirup aroma segar lavender yang tercampur dengan dinginnya air hujan. "Justru lebih egois lagi jika kau tetap berada di sisinya yang selalu berusaha untuk membahagiakanmu. Melihatmu menderita dalam kemiskinan sama seperti ia memiliki raga tanpa nyawa, itu yang Neji katakan."
Dan Hinata akan selalu percaya. Percaya pada kata-kata pria kekanakkan yang sekarang telah tumbuh dewasa.
"Sangat aneh mendengarmu mengatakan kata-kata seperti itu," Hinata tersenyum tipis. "Kelihatan keren..."
Naruto terkekeh melihat senyum Hinata. "Dan aku memang keren."
"Narsis."
Naruto kembali tertawa. "Melihatmu bersedih seperti tadi membuatku sesak. Apa usahaku membuatmu tersenyum sudah berhasil?"
"Sepertinya begitu," Hinata mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Rasa bersalah itu perlahan memudar. Aku harap itu adalah tanda bahwa ayah bahagia di alam sana bersama ibu."
"Tentu saja."
Hujan deras itu perlahan mereda. Proses kondensasi yang terhenti di atas langit membuat hujan tersebut terganti dengan cuaca baru yang lebih baik. Angin kencang yang berhembus menerbangkan puluhan awan gelap tersebut ke arah selatan hingga tak lagi terlihat. Sebagai gantinya, puluhan awan putih bersih dari utara berdatangan bersama sang mentari yang kembali hadir dengan sinarnya yang begitu terang.
"Tadi malam Obito telah sadar," Hinata beranjak dari makam tersebut dengan senyumannya yang sejak dulu dinanti oleh Naruto. "Apa kau ingin menemuinya?"
"Apa tidak masalah?" Naruto terlihat ragu. "Aku takut dia akan kaget karena memiliki dua ayah."
"Mm," tiba-tiba wajah manis Hinata dipenuhi rona merah. "Naruto, sebenarnya..."
.
.
.
"Daddy!" Obito berteriak riang begitu sosok Naruto memasuki ruang rawatnya. Sosok mungilnya yang biasanya tenang dan penurut kini berubah riang dan penuh semangat. "Akhirnya aku bisa bertemu dengan Daddy!"
Naruto menoleh ke kanan lalu ke kiri dengan bingung sebelum akhirnya menunjuk dirinya sendiri. "Apa dia barusan memanggilku 'Daddy'?"
Hinata bersembunyi di balik punggung Naruto dengan wajah yang masih bersemu. "Sejak Karin meninggal setelah melahirkan Obito, aku diserahi Obito oleh Sasuke. Dari saat itulah aku merawatnya di Rusia sedangkan Sasuke kembali ke London."
"Jadi, karena ingin memberinya sosok ayah, kau..."
Hinata mengangguk malu-malu. "A-aku memperlihatkannya fotomu dan mengatakan kalau kau adalah ayahnya."
Naruto tersenyum menggoda. "Oohh?"
"J-jangan salah paham dulu!" Hinata menoleh ke arah lain. "I-itu karena aku tidak memiliki satupun foto Sasuke!"
"Lalu," senyum itu masih belum pudar. "Kenapa kau masih menyimpan fotoku?"
"I-itu..." Hinata kehabisan kata-kata.
"Mommy, Daddy! Aku lapar..."
"Ah, iya Obito-kun..." Hinata bergegas meninggalkan Naruto sebelum pria itu tambah menggoda dirinya.
"Bicara soal sosok ayah, kenapa Obito memanggilku Daddy, bukan Otousan?" Naruto setengah menggerutu. "Kau, kan tahu aku tidak bisa berbahasa Inggris."
"Sudah jadi Inspektur masih belum bisa berbahasa Inggris?" Hinata tersenyum menyindir. "Kau ingin menghancurkan harapan Obito, ya?"
"Hei, hei..."
"Nah, Obito-kun. Karena Daddy tidak tahu bahasa Inggris, kau pakai bahasa Jepang saja, ya kalau bicara dengannya."
"Iya, Mommy!"
Raut wajah Naruto berubah cemberut. "Keterlaluan."
"Biar saja," Hinata tertawa lepas.
Kini Naruto menyadari kalau ia begitu merindukan sosok hangat Hinata. Seandainya mereka benar-benar bisa membangun sebuah keluarga...
"Apa aku mengganggu?" suara penuh arogansi tinggi khas Uchiha memecah kebahagiaan di ruangan tersebut. Naruto menggeram pelan.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Tunggu, Naruto," Hinata mencegah pria itu melayangkan sebuah tinju dari kepalan tangannya yang makin mengerat. "Sasuke kemari untuk membicarakan tentang konferensi pers yang akan dia lakukan perihal kebenaran hubungannya denganku dan Obito."
"Jadi, kau sungguh-sungguh melepaskan Hinata dan Obito untukku?" Naruto bertanya dengan nada berintonasi datar.
"Sasuke sudah lama melepaskanku Naruto," Hinata kembali menjelaskan. "Kau saja yang lama menjemputku kembali."
"Tch," Naruto membuang mukanya yang memerah.
"Kalau kau menderita bersama si pirang itu..." Sasuke mendesis tajam. "Kau bisa kembali padaku kapan saja."
Hinata tersenyum. "Tentu."
"Hei, hei..."
"Aku bercanda," setelah mengatakan hal itu, Sasuke langsung meninggalkan ruangan tersebut dengan raut wajah yang tidak berubah. "Kita akan membicarakan hal ini lain kali saja."
"Ya," Hinata masih tersenyum.
"Uchiha itu benar-benar tidak pandai mengeluarkan lelucon," Naruto menautkan kedua alisnya. "Dasar aneh."
"Sudahlah, sebaiknya kita ke kafetaria rumah sakit ini untuk makan siang."
Naruto mengangguk semangat. "Baiklah," lalu beranjak menghampiri Obito. "Mau ku gendong?"
"Iya!"
.
.
.
"Apa yang kau lakukan baka!" Naruto menjauhkan ponselnya sejauh mungkin dari telinganya. Teriakan Hinata memang tidak sekeras dan sekencang teriakan Sakura, tapi tetap mampu membuat telinganya tuli sejenak. "Kenapa belum sampai? Para tamu sudah lama menunggumu!"
"Tadi aku mengejar tersangka yang melarikan diri saat di sergap anak buahku," Naruto memberi alasan. "Dan sekarang aku terjebak macet."
"Kau ini berniat menikah denganku atau tidak, sih?"
"Tentu saja, Hime," Naruto mengacak rambutnya yang menjuntai halus di kening. "Hanya agar tidak terlambat ke pesta pernikahan, aku sampai lupa memakai gel rambut."
"Pokoknya aku tunggu lima menit lagi! Kalau tidak datang, pesta ini aku batalkan!"
Tutt... Tutt... Tutt...
"Hinata, hei, Hinata!"
Naruto mengacak rambutnya kembali lalu menyuruh supirnya menghentikan mobil, tepat di tengah jalan tol. "Aku akan berlari dari sini."
-:-
"Kenapa dia bisa terlambat di pesta pernikahannya sendiri?" Hinata berjalan mengitari kolam air mancur yang berdiri megah di depan gedung tempat berlangsungnya pesta pernikahan. "Dasar tidak pernah berubah."
"Hinata!" Obito yang sejak tadi turut menemani ibunya menunggu sang ayah langsung berteriak senang. "Itu Daddy, Mom!"
"Maaf, ya..." Naruto meminta maaf dengan nafas yang terengah-engah. Hinata tersenyum sebelum menarik tangan Naruto untuk segera memasuki gedung tersebut.
"Ayo, cepat!"
.
.
.
Pesta pernikahan tersebut sebagian besar dihadiri oleh anak buah ataupun rekan kerja Naruto dari kepolisian pusat. Beberapa lainnya berasal dari teman lama mereka di universitas dan SMA, juga klien-klien Neji yang merupakan pejabat terkenal.
"Akhirnya kalian menikah juga," Yamanaka Ino mengedipkan sebelah matanya, menggoda. "Lama juga perkembangan cinta kalian."
"I-Ino-chan..." Hinata tersipu malu sedangkan Naruto hanya menjawab 'begitulah' seraya memasang cengiran lebar. Ino memang teman seangkatan Naruto dan Hinata saat mereka masih kuliah di universitas Enma.
"Jaga adikku," itu pesan Neji saat pria dengan wibawa tinggi itu menghampiri mereka dengan seorang anak kecil dan wanita manis yang ia perkenalkan sebagai anak dan isterinya.
Semuanya berjalan damai dan tenang. Hampir, jika Haruno Sakura tidak datang dan menyapa mereka dengan kedua mata yang sembab. Emerald itu nampak meredup dan menggelap. "Selamat untuk pernikahan kalian Naruto, Hinata."
Naruto tampak bingung sebelum menoleh ke arah Hinata, meminta penjelasan. Seingatnya ia tidak pernah mengundang Sakura ke pesta pernikahan ini.
"Syukurlah kau mau datang, Sakura."
Di luar dugaan, Hinata memeluk Sakura dengan hangat. "Maafkan aku dan Naruto yang egois ini, ya."
Sakura menggigit bibirnya menahan gemetar tubuhnya yang muncul tiba-tiba. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Ti-tidak. Seharusnya akulah yang minta maaf. Kalian pantas bahagia."
Hinata tersenyum dan kilauan dari emerald Sakura yang sebelumnya hilang mulai muncul kembali. "Kita bisa jadi sahabat baik."
Sakura mengangguk seraya mengeluarkan senyum tulus.
Dalam suatu hubungan, memang harus ada pihak yang menyakiti dan pihak yang disakiti.
.
.
.
Bulan selalu terlihat indah dengan bentuknya yang berubah-ubah tiap malamnya. Kadang purnama dengan bentuk bulat utuh yang seperti mutiara. Terkadang sabit atau setengah lingkaran yang berpendar dengan dikelilingi ratusan bintang dan planet. Naruto selalu menyukainya. Karena bulan begitu mirip dengan wanita yang ia cintai.
"Ba-bagaimana penampilanku, Na-Naruto?" Hinata bertanya, gugup.
Naruto berbalik untuk menatap sosok manis Hinata yang tengah terbalut baju tidur tipis berwarna peach pucat dengan renda manis yang menghiasi ujung baju yang hanya selutut. Di dadanya terpasang pita-pita kecil yang terhubung dengan renda yang melilit pinggang rampingnya dengan manis. Naruto tersipu.
"Wah, kau lebih seksi daripada menggunakan gaun yang tadi pagi."
Buaghh!
Hinata melemparkan bantal berwarna pink yang berada di ujung ranjang mereka. "Mesum!"
Naruto tertawa menggoda. "Darimana gaun tidur itu? Aku tidak yakin kalau kau sendiri yang membelinya."
"Ini dari ibumu," wajah Hinata tiba-tiba kembali merona. "Ka-katanya untuk menggodamu di malam pertama."
Naruto kembali tersenyum tulus sebelum beranjak meninggalkan beranda untuk menyambut Hinata dengan sebuah pelukan.
"Kalau begitu tidak akan ku sia-siakan..."
.
.
.
Obito hanyalah anak kecil berumur 5 tahun yang masih polos dan belum mengenal apapun tentang arti sebuah keluarga. Hal itu di sebabkan karena sedari kecil, ia hanya hidup bersama sosok Hinata yang ia anggap sebagai ibunya. Sampai akhirnya ia bertemu pada sosok tampan ayahnya dan sosok misterius calon adiknya yang pagi ini di beritahukan oleh kedua orangtua angkatnya.
"Na-Naruto..." Hinata memanggil suaminya dengan cemas. Di bulan ke-5 pernikahan mereka, Hinata masih belum bisa membiasakan diri untuk tidak gugup ataupun malu di hadapan suaminya. "A-ada yang ingin ku sampaikan."
Naruto mengerling bingung ke arah Obito yang ikut memandangnya. Omelet yang masih dikunyahnya tertelan begitu saja saat melihat Hinata yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Sebagai seorang suami ia ikut cemas. "Apa itu?"
"A-aku..." Hinata menunduk malu. "Hamil."
Naruto mengedipkan matanya berkali-kali. Menggumam. "Ohh," sebelum menegak air mineral di sampingnya.
Byurrrr...
Obito terkaget melihat Naruto mengeluarkan kembali air yang ia minum. "A-apa? Hamil?"
Hinata mengesalkan sikap Naruto yang terlambat merespon kata-katanya. Tapi tetap tersenyum saat pria itu memasang cengiran bahagia. "Iya."
Obito menatap Naruto dan Hinata dengan bingung sebelum akhirnya pertanyaan polos itu meluncur dari bibir mungilnya. "Hamil itu apa, Mommy?"
Hinata dan Naruto tertawa mendengarnya. "Itu artinya kau akan punya adik."
Dan suara teriakan Obito selanjutnya terdengar begitu bahagia.
Ikatan ini memang membawa sebuah cobaan. Tapi di akhir takdir kelak, pasti ada cahaya yang membawa kebahagiaan.
Diawali oleh sebuah ikatan tanpa cinta. Dan diakhiri oleh ikatan lain yang dipenuhi cinta yang tulus.
.
.
.
.:The End:.

0 komentar:

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut