Malam itu Naruto memejamkan matanya. Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidurnya dan mengacak rambutnya dengan frustasi.
Sesekali ia memeriksa keitai-nya dan mendapati bahwa banyak pemberitahuan yang ia abaikan.
Pesan dari Hinata
Telpon dari Hinata
Semuanya
"Baka. Hountou ni baka na ore da" Umpatnya dengan kesal.
Ia mengingat bahwa ia telah melakukan kesalahan. Pikirannya di sekolah tadi sedang tidak seimbang, membuatnya emosi dan membentak Sakura, termasuk Hinata.
Pikirannya pun melayang, menuju saat-saat yang menurutnya lebih dari 'mengejutkan'
"Apa yang mau kau katakan, pak tua?" Naruto berdiri seraya memandangi pria tua yang ada di hadapannya dengan serius
"Ya… Aku rasa aku harus memberitahumu sekarang" Pria tua itu menatap Naruto dengan lebih serius.
"Umurmu…."
"Ya?"
"Umurmu, hanya tinggal sebulan lagi. Namikaze Naruto."
"Eh? Apa? Sebulan lagi?" Naruto menatap pria tua itu dengan tidak percaya, seolah-olah semuanya hanya gurauan semata.
"Ya. Sebenarnya, seharusnya kau sudah mati dua minggu yang lalu. Dan perlu kau tahu, aku hanya memendekkan umurmu 30%..." Jelas pria tua itu membuat Naruto tidak mengerti.
"Hei pak tua, kau bercanda, kan? Masa umurku pendek sekali?" Ujarnya dengan tatapan sedikit mengatakan –aku tidak bisa kau bodohi.
"Memang kenyataanya begitu" Pria tua itu memunggungi Naruto.
"Karena…"
"…"
"3 bulan setelah Hinata meninggal, kau juga meninggal" Penjelasan singkat dari pria tua itu berhasil membuat Naruto tersentak.
'apa? 3-3 bulan?' Naruto berpikir dengan keras. Sependek itukah jarak yang ia punya?
"Naru-kun…. Waktunya makan malam…" Terdengar suara lembut dari seorang wanita dari luar pintu kamaranya dan membuyarkan lamunannya seketika.
"Ya… Ka-san, aku segera menyusul" Ujarnya lalu duduk di tempat tidurnya.
Ia mengalihkan pandangannya menuju sebuah foto yang tersimpan rapi di meja belajarnya.
Fotonya dan Hinata.
"Aku pikir, aku bisa bersamamu lebih lama, Hina-chan…" gumamnya dengan sedih.
Ia menghampiri meja belajarnya dan mengusap pelan ujung bingkai foto itu.
Ia menatap dalam foto itu.
Foto pertamanya dengan Hinata, di kencan pertama mereka.
Perlahan air mata meluncur dari mata biru-nya dan membasahi pipinya.
"Ini semua tidak adil… Aku tidak akan melakukan ini kalau aku tahu aku akan meninggalkanmu secepat ini, Hina-chan…" Ujarnya dan tangisannya pun pecah.
Pesan yang ia kirim pada Naruto tidak ada yang di balas satupun.
Seluruh telponnya tidak ada yang di angkat.
Ini semua membuat Hinata bingung, frustasi, sedih, semua perasaan itu berkecamuk di hatinya. Membuat dirinya menumpahkan air matanya.
"Doushitte? Doushitte Naruto-kun…?" Isaknya seraya mendekap sebuah bantal berwarna ungu muda bentuk hati. Hinata sejenak memejamkan matanya. Mencoba berpikir akan beberapa hal yang terjadi belakangan ini.
"Aku pikir, terkadang resiko itu memang sangat mengerikan dan menyakitkan Hina-chan. Tapi… jika resiko itu membuat kita memilih hal yang memang lebih penting, itu jauh lebih baik"
Hinata teringat akan kata-kata Naruto beberapa hari yang lalu. Aneh. Memang tidak ada yang aneh dengan Naruto, tapi dengan kata-katanya. Tidak seperti biasanya Naruto berkata hal semacam itu padanya.
Hinata menatap sebuah foto yang tersimpan di atas meja belajarnya. Perlahan ingatannya pun melayang. Ia dan Naruto di kencan pertama mereka. Secara tidak langsung, hal itu menyadarkan Hinata akan suatu hal. Perubahan Naruto tidak akan terjadi bila tidak ada hal yang sedang mengganggu pikirannya.
Saat itu pun ia berpikir keras.
'Apa yang sebaiknya aku lakukan?' gumamnya seraya mendekap bantal kecil itu semakin erat.
'Aku harus menemui Naruto-kun' akhirnya ia memantapkan hatinya.
Naruto menghentikan langkahnya ketika ia sampai di depan gerbang rumah kediaman Hyuuga. Ia tahu ini penuh resiko. Ia tahu Hinata belum tentu akan memaafkannnya. Tapi, tak ada salahnya kan mencoba?
Saat ia membuka gerbang yang menjulang tinggi yang ternyata tak –belum- di kunci itu, ia melihat ada seorang gadis berambut indigo yang sedang dengan hati-hati menutup pintu. Nampak ia sedang berusaha membuat semua orang tak menyadari kepergiannya.
Naruto tersenyum tipis. Ia lalu mencoba memanggil Hinata dengan suara se-pelan mungkin.
"Hina-chan…?" Tanyanya dengan hati-hati dan berhasil membuat gadis penyuka lavender itu menengakkan bahunya.
Tubuhnya pun berputar dan menatap Naruto dengan ekspresi yang sangat terkejut.
"Na… Naru-kun…!" Hinata pun berlari dengan langkah kecil dan langsung memeluk Naruto.
"Naru-kun… Naruto-kun…. Hiks…" Isak Hinata.
"eh? Doushitte? " Naruto sedikit gelagapan akan sikap Hinata kala itu
"hiks… Gomen…. Gomennasai… Aku minta maaf…. Aku mau melakukan apapun asalkan Naruto-kun mau memaafkanku…. Dan… aku mohon ja-jangan benci padaku… hiks hiks…" Hinata akhirnya mengeluarkan semua yang ada dipikirannya, membuat Naruto terkejut.
"etto… kau tidak salah ko, Hinata-chan… aku-, justru aku yang seharusnya minta maaf…" Ujarnya dan membalas pelukan Hinata.
"hanya saja aku sedang banyak pikiran dan capek, hehe… maafkan aku, ya?" Naruto mengelus rambut Hinata dengan lembut.
Hinata mendongak.
"eh? Benarkah itu?" Air mata masih terlihat jelas di pipi putihnya. Namun nampaknya Hinata cukup lega tapi masih penasaran.
Naruto mengangguk.
Hinata pun memeluk Naruto lebih erat dari sebelumnya, dan itu malah membuat Naruto berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.
Dan-
Besok adalah waktunya.
Naruto pun memilih untuk membuang itu semua. Toh sekeras apapun ia memikirkannya, semuanya akan tetap berjalan seperti yang telah ditentukan. Ia akan tetap mati. Perjanjian adalah perjanjian. Ia tak mungkin bisa mengganti semuanya dan kembali merubah semuanya. Jika takdir sudah menghampirinya, tak mungkin ada toleransi, kan?
Ia pun memutar grandel pintu kamarnya untuk bergegas pergi ke sekolah.
Naruto berjalan dengan langkah santai saat akan memasuki gerbang sekolah Konoha Senior High School. Seakan-akan tidak ada masalah apapun. Namun, ia dikejutkan dengan teriakan lembut yang keluar dari mulut seorang perempuan.
"Naruto-kun!"
Naruto berbalik. Melihat gadis bermata semi abu-abu itu menghampirinya dengan kaki-kaki mungilnya. Ia tersenyum tipis. Ada sedikit rasa sakit menelusup ke dalam hatinya saat melihat Hinata.
"Ohayou~" Hinata tersenyum dengan manis. Sangat manis malah.
"O-ohayou~" Naruto membalas sapaan pagi Hinata dan bersikap ceria seperti biasanya.
"Bagaimana? Kemarin Naruto-kun tidak di marahi, kan?" Hinata menanyakan hal yang sesungguhnya Naruto sudah lupa akan hal itu.
Oh ya, well, lebih baik kita ceritakan sejenak.
Naruto kemarin pulang terlambat karena di hukun oleh Kurenai-sensei karena nilai ulangan Biologinya hancur berantakan. Dan, hal itu akan jadi pemicu kemarahan kedua orang tua Naruto, Minato dan Kushina.
"eh? Eh ya, aku tidak di marahi, ko… hehehe" Naruto nyengir.
"Yokatta ne~" Hinata kembali tersenyum.
"Hai… yokatta… hehe" Naruto membalas perkataan Hinata dengan gelagapan.
"Ah, anou… Hinata-chan" Naruto menarik Hinata untuk lebih dekat dengannya.
"Nani?" Hinata mengalihkan pandangannya dan menatap mata Naruto.
"Etto… bisakah hari ini kita bolos saja?" Tanyanya dan membuat Hinata terkejut.
"Bo-bolos? Kenapa harus bolos?" Hinata bertanya dengan alis tertaut.
"Soal itu sih… ah ayolah, sekali ini saja… ya? Onegai…" Naruto memohon.
"De-demo sa… kalau hari ini aku bolos, aku tidak akan dapat nilai dari Kakashi-sensei… Naruto-kun juga ada tes lisan pelajaran IPS Sejarah kan dari Kakashi-sensei hari ini?" Hinata berbicara panjang lebar.
"I-iya sih… tapi- ini kan cuman sekali… ayolah…" Naruto kembali memohon.
"Etto…" Hinata nampak berpikir.
"Ayolah…" Naruto menarik jaket Hinata dengan gerakan cepat.
"Ah~~ Hai hai~~! Tapi to-tolong jangan menarik jaketku sepeti itu…" Ujar Hinata.
"Eh? Ehehehe gomen…" Naruto kembali nyengir.
"Kita mau apa di sini, Naruto-kun?" Hinata bertanya pada Naruto yang sedari tadi hanya diam.
"Etto… sebenarnya… aku mau bertanya satu hal padamu, Hinata-chan" Naruto berkata dengan wajah serius.
"Nani?" Hinata menanggapinya dengan wajah yang tidak kalah serius.
"Anou… bagaimana jika tiba-tiba aku mati?" Mata biru itu menatap Hinata dengan lembut.
"Eh? Kenapa Naru-kun tiba-tiba bertanya hal seperti itu?" Ujar Hinata penuh keheranan.
"Bukan apa-apa sih… hanya saja… ya, kau tahu kan –aku, ah maksudku, kita itu tidak tahu kapan kita akan mati… iya kan?" Tanya Naruto.
"Iya sih… tapi- kalau pertanyaannya seperti itu aku tetap tidak bisa menjawabnya…" Hinata menatap Naruto –masih- dengan wajah keheranannya.
"Mou… Daijoubu yo" Naruto pun –pasrah dan tersenyum tipis pada Hinata.
"Demo… aku rasa… kematian itu adalah takdir. Dan- apapun yang berhubungan dengan takdir, kita hanya mampu menerima. Meskipun mungkin kita memberontak, tak akan ada perubahan apapun…" Hinata berkata panjang lebar.
Blue shappire itu sedikit melebar. Lalu redup dengan cepat. Akhirnya Naruto hanya diam dan melukiskan seulas senyum tipis, sebelum pikirannya kembali melayang, Hinata membuyarkan semuanya.
"Daijoubu?" Hinata bertanya dengan ekspresi khawatir.
Naruto mengangguk.
"Kau tahu? Aku senang dengan jawabanmu itu, Hinata-chan… entah kenapa rasanya aku sedikit lega" Naruto tersenyum menatap Hinata.
"Eh? Maksudnya?" Hinata bertanya tidak mengerti.
"Iie~ Tidak udah dipikirkan, hehe" Naruto nyengir.
Hinata masih diam. Menatap mata Naruto yang menurutnya cahaya semangat dari mata itu sedikit meredup. Membuat otaknya berputar-putar.
"Doushitte?" Kini Naruto yang bertanya keheranan.
Hinata menggeleng pelan.
"Maa… bagaimana kalau kita beli makanan?" Naruto berdiri dari tempat duduknya dan menarik lengan Hinata untuk ikut berdiri.
"Ikou…~" Naruto menarik lengan Hinata dan mereka pun berjalan bergandengan tangan pergi meninggalkan taman itu.
"Sst~ jangan keras-keras, nanti tou-san mendengarnya" Hinata menaruh telunjuknya dan otomatis Naruto langsung mengangguk-angguk pelan.
"Sa~ Kalau begitu aku juga mau pulang ya," Naruto mendekatkan wajahnya, membuat Hinata sedikit mundur.
Lalu Naruto memiringkan kepalanya dan mencium pipi Hinata dengan lembut.
"Arigatou ne, Hinata-chan" Naruto tersenyum lembut. Lalu ia pun pergi meninggalkan Hinata yang membatu di sana dengan wajahnya yang merah padam.
Hinata yang masih membatu karena –sedikit shock, tiba-tiba di kejutkan oleh suara dari seseorang yang sudah akrab dengan kehidupannya.
"Mau sampai kapan nee-chan berdiri di sana?" Hanabi menghampiri Hinata dengan sedikit berlari dan menarik tas sekolah Hinata.
"Eh? Ah, gomen" Hinata sedikit gelagapan ketika tahu Hanabi sudah ada di belakangnya.
"Hayaku~ Katanya tou-san ingin bicara dengan nee-chan." Hanabi berkata seraya meninggalkan Hinata yang menautkan alisnya. Heran.
"Tadaima" Hinata membuka pintu rumahnya dan nampaklah di sana Neji dan Hiashi, yang nampaknya sudah menunggu kepulangan Hinata sedari tadi.
"Sumimasen, aku terlambat" Hinata menundukan kepalanya, merasa bersalah karena telah melanggar jam pulang yang sudah ditetapkan di keluarganya.
"Daijoubu. Duduklah" Hiashi memerintahkan Hinata untuk duduk dan Hinata segera menurut.
"Begini, Hinata," Hiashi memperbaiki posisi duduknya dan secara tidak langsung ia meminta Hinata untuk mendengarkan semua yang ia katakan dengan serius.
"Tou-san sudah tahu, bahwa kau berpacaran dengan bocah itu" Hiashi mengucapkan hal yang membuat bahu Hinata menegak. Dan tergambarlah rasa terkejut luar biasa dari gadis manis berambut indigo itu.
"Etto…" Hinata mengepalkan tangannya yang ada di atas pahanya.
"Tou-san hanya ingin bicara, bahwa," Hiashi sedikit memberikan jeda pada kalimatnya.
"Kau boleh berpacaran dengannya sekarang" Hiashi pun menuntaskan kalimatnya dan membuat mata Hinata terbuka lebar.
"Eh?" Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan.
Hiashi pun tersenyum meskipun sangat-sangat tipis.
"Tou-san tahu, bahwa ia anak yang baik. Tapi ingat –jangan lupa- kau tetap harus menuruti beberapa aturan yang sudah tou-san berikan padamu. Kau sanggup?" Hiashi kembali memperlihatkan wajah serius.
"Ha-hai!" Hinata mengangguk cepat.
"Kalau begitu, cepat ke kamarmu. Kita bertemu saat makan malam"
"Ha-hai!"
Hinata berlari kecil menuju kamarnya dan ia pun mengusap air mata yang menngalir dari matanya.
Air mata bahagia.
Kamar mandi.
Hinata menatap wajahnya di cermin. Pagi ini, ia telah merencanakan sesuatu. Di hari libur ini, setelah ia sarapan, ia berniat untuk menemui Naruto dan mengatakan bahwa mereka sudah bebas bersama. Karena ayahnya telah mengizinkan mereka untuk berpacaran. Dan itu merupakan berita yang menurutnya akan membuat Naruto bahagia. Ia menyematkan jepit berwarna ungu muda di rambutnya yang indah. Menambah manis penampilannya kala itu.
"Ohayou~" Hinata menyapa seluruh anggota keluarganya dengan ceria, persisi dengan apa yang ia rasakan kala itu.
"Ohayou" Neji tersenyum lembut pada Hinata dan mengajaknya ke ruang makan. Sebelum ia dan Hinata sampai di ruang makan, tiba-tiba handphone-nya berbunyi.
"Kau duluan saja, aku mau mengangkat telepon dulu" Ujar Neji dan pergi meninggalkan Hinata.
"Moshi moshi" Neji menjawab teleponnya dengan malas, saat ia tahu bahwa yang meneleponnya menurutnya bukan orang penting.
"Ada apa?"
"Apa? Kenapa memangnya dengan dia? Sudahlah aku mau sarapan, perutku lapar"
"Haa? Hei, hei, kau jangan bercanda!" Saat ia mendengar penjelasan singkat dari telepon itu, tiba-tiba ia menutup teleponnya dengan kasar. Perlahan keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ruang makan.
"Gomen, aku harus pergi sekarang. Dan- ah ya, Hinata, nanti ada sesuatu yang ingin aku beritahu padamu" Neji langsung pergi begitu selesai dengan pembicaraannya, meninggalkan Hinata yang terdiam keheranan.
"Neji nii-san kenapa sih" Omel Hanabi.
Hinata hanya tersenyum pada Hanabi dan melanjutkan sarapannya. Meskipun ia merasa ada hal janggal dan ini bukan –seperti biasanya.
"Terima kasih atas makanannya" Hinata tersenyum dan berdiri dari kursinya.
"Tou-san, aku mau ke rumah Naruto-kun dulu. Ittekimasu" Hinata langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukan perkataan ayahnya yang menyuruhnya untuk tidak kemana-mana.
Ia sampai di depan rumah Naruto, perlahan rasa tidak enaknya mulai meningkat. Di rumah Naruto, -tepatnya di luar rumah- terdapat banyak sekali orang. Bahkan, ia melihat Sakura yang sedang menangis di peluk oleh Ino. Penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri mereka.
"Anou… Ino-san, kenapa Sakura menangis? Dan…"
"Eh? Hinata?" Sakura yang mendengar suara Hinata, tiba-tiba langsung melepaskan diri dari Ino dan memeluk Hinata.
"Gomennasai… Gomennasai…. Hiks" Sakura terus menangis dan membuat Hinata semakin kebingungan.
"Na-naruto… Naruto, Hinata, hiks hiks" Sakura kembali melanjutkan perkataannya dan membuat alis Hinata tertaut.
"Naruto… meninggal Hinata…!" Sakura mengeratkan pelukannya dan membuat dunia Hinata serasa berhenti berputar.
"Eh? Sakura-chan… kau bohong kan? Aku mohon jangan bercanda dengan hal-hal seperti itu… apalagi…"
"Aku tidak bohong! Maafkan aku yang tidak memberitahumu... hiks" Sakura melepaskan pelukannya dan memegang bahu Hinata dengan erat.
"Naruto sudah pergi Hinata! Dia sudah pergi dari dunia ini!" Sakura mengguncang-guncangkan tubuh Hinata, membuat nafas Hinata tiba-tiba naik.
"Lepaskan aku!" Hinata tiba-tiba bersikap kasar, dan ia pun masuk ke rumah Naruto.
Di dalam, ia melihat banyak sekali orang-orang yang ia kenal. Semua teman-teman Naruto ada di sana. Dan… ia melihat Neji ada di sana juga.
Neji yang terkejut melihat Hinata, langsung menghela nafas dan menghampiri Hinata.
"Gomen…"
Hinata tiba-tiba mendorong Neji dan ia langsung pergi ke salah satu ruangan di mana di sana ada Kushina dan Minato, orang tua Naruto.
Hinata termangu saat ia melihat dari pintu ruangan itu. Sebuah peti mati yang berwarna coklat itu membuat Hinata bergidik. Membayangkan bahwa benar, kekasihnya itu telah meninggal. Hinata menggelengkan kepalanya 'masaka….' Ia kembali membuang pikirannya.
Kushina yang melihat Hinata ada di sana, tiba-tiba berdiri dan menghampiri Hinata. Kushina yang masih menangis lalu mengajak Hinata masuk dan memberikan secarik kertas pada Hinata. Secara tidak langsung, ia menyuruh Hinata membacanya.
Hinata menatap heran Kushina, ia lalu membuka kertas yang terlipat itu.
Untuk Hinata-Chan-
Hinata-chan, aku harap saat kau membaca ini, kau tidak menangis, ya? Hehe
Sebenarnya, aku bingung harus memulai dari mana, tapi… aku hanya ingin minta maaf. Aku mohon maafkan aku.
Aku tahu, pasti banyak sekali yang tidak kau mengerti, iya kan? Tapi aku tak mungkin menjelaskan semuanya dan menceritakan semuanya. Hanya saja, aku sudah tahu bahwa aku akan meninggalkanmu.
Bagaimapun juga, aku sama sekali tidak mau melihatmu bersedih. Aku mohon, tetaplah tersenyum seperti biasa. Dan- ya, terima kasih karena kau telah menjawab pertanyaanku tentang kematian itu, aku benar-benar lega karena kau mau menjawabnya dengan kalimat seperti itu. Karena aku tahu ini adalah takdir.
Aku mohon, jangan pernah berpikir hal-hal yang lain tentang ini, apapun itu.
Ini takdir. Aku benar-benar yakin ini takdir. Meskipun aku sudah lebih dahulu mengetahuinya.
Dan-
Aku akan selalu menyayangimu. Meskipun dunia kita sudah lain, tapi percayalah, kita bisa bersama. Aku akan selalu ada di sampingmu. Percayalah. Karena, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Hinata.
Naruto
Saat membaca surat itu, otomatis Hinata melihat siapa yang ada di peti mati itu, dan saat ia tahu siapa yang ada di dalamnya, perlahan air mata mulai membasahi pipinya…
Author: Aizakii Okumura PM
http://www.fanfiction.net/s/8041095/3/Keep-Smile
Sesekali ia memeriksa keitai-nya dan mendapati bahwa banyak pemberitahuan yang ia abaikan.
Pesan dari Hinata
Telpon dari Hinata
Semuanya
"Baka. Hountou ni baka na ore da" Umpatnya dengan kesal.
Ia mengingat bahwa ia telah melakukan kesalahan. Pikirannya di sekolah tadi sedang tidak seimbang, membuatnya emosi dan membentak Sakura, termasuk Hinata.
Pikirannya pun melayang, menuju saat-saat yang menurutnya lebih dari 'mengejutkan'
"Apa yang mau kau katakan, pak tua?" Naruto berdiri seraya memandangi pria tua yang ada di hadapannya dengan serius
"Ya… Aku rasa aku harus memberitahumu sekarang" Pria tua itu menatap Naruto dengan lebih serius.
"Umurmu…."
"Ya?"
"Umurmu, hanya tinggal sebulan lagi. Namikaze Naruto."
"Eh? Apa? Sebulan lagi?" Naruto menatap pria tua itu dengan tidak percaya, seolah-olah semuanya hanya gurauan semata.
"Ya. Sebenarnya, seharusnya kau sudah mati dua minggu yang lalu. Dan perlu kau tahu, aku hanya memendekkan umurmu 30%..." Jelas pria tua itu membuat Naruto tidak mengerti.
"Hei pak tua, kau bercanda, kan? Masa umurku pendek sekali?" Ujarnya dengan tatapan sedikit mengatakan –aku tidak bisa kau bodohi.
"Memang kenyataanya begitu" Pria tua itu memunggungi Naruto.
"Karena…"
"…"
"3 bulan setelah Hinata meninggal, kau juga meninggal" Penjelasan singkat dari pria tua itu berhasil membuat Naruto tersentak.
'apa? 3-3 bulan?' Naruto berpikir dengan keras. Sependek itukah jarak yang ia punya?
"Naru-kun…. Waktunya makan malam…" Terdengar suara lembut dari seorang wanita dari luar pintu kamaranya dan membuyarkan lamunannya seketika.
"Ya… Ka-san, aku segera menyusul" Ujarnya lalu duduk di tempat tidurnya.
Ia mengalihkan pandangannya menuju sebuah foto yang tersimpan rapi di meja belajarnya.
Fotonya dan Hinata.
"Aku pikir, aku bisa bersamamu lebih lama, Hina-chan…" gumamnya dengan sedih.
Ia menghampiri meja belajarnya dan mengusap pelan ujung bingkai foto itu.
Ia menatap dalam foto itu.
Foto pertamanya dengan Hinata, di kencan pertama mereka.
Perlahan air mata meluncur dari mata biru-nya dan membasahi pipinya.
"Ini semua tidak adil… Aku tidak akan melakukan ini kalau aku tahu aku akan meninggalkanmu secepat ini, Hina-chan…" Ujarnya dan tangisannya pun pecah.
===###===
Hinata duduk di sudut kamarnya. Perasaannya sangat sedih saat itu, bagaimana tidak? Naruto seperti benar-benar membencinya.Pesan yang ia kirim pada Naruto tidak ada yang di balas satupun.
Seluruh telponnya tidak ada yang di angkat.
Ini semua membuat Hinata bingung, frustasi, sedih, semua perasaan itu berkecamuk di hatinya. Membuat dirinya menumpahkan air matanya.
"Doushitte? Doushitte Naruto-kun…?" Isaknya seraya mendekap sebuah bantal berwarna ungu muda bentuk hati. Hinata sejenak memejamkan matanya. Mencoba berpikir akan beberapa hal yang terjadi belakangan ini.
"Aku pikir, terkadang resiko itu memang sangat mengerikan dan menyakitkan Hina-chan. Tapi… jika resiko itu membuat kita memilih hal yang memang lebih penting, itu jauh lebih baik"
Hinata teringat akan kata-kata Naruto beberapa hari yang lalu. Aneh. Memang tidak ada yang aneh dengan Naruto, tapi dengan kata-katanya. Tidak seperti biasanya Naruto berkata hal semacam itu padanya.
Hinata menatap sebuah foto yang tersimpan di atas meja belajarnya. Perlahan ingatannya pun melayang. Ia dan Naruto di kencan pertama mereka. Secara tidak langsung, hal itu menyadarkan Hinata akan suatu hal. Perubahan Naruto tidak akan terjadi bila tidak ada hal yang sedang mengganggu pikirannya.
Saat itu pun ia berpikir keras.
'Apa yang sebaiknya aku lakukan?' gumamnya seraya mendekap bantal kecil itu semakin erat.
'Aku harus menemui Naruto-kun' akhirnya ia memantapkan hatinya.
===###===
Naruto mengambil jaket orange
miliknya yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Ia memutuskan untuk
menemui Hinata dan meminta maaf. Tak peduli akan apapun yang akan
terjadi, yang penting ia akan meminta maaf pada Hinata.Naruto menghentikan langkahnya ketika ia sampai di depan gerbang rumah kediaman Hyuuga. Ia tahu ini penuh resiko. Ia tahu Hinata belum tentu akan memaafkannnya. Tapi, tak ada salahnya kan mencoba?
Saat ia membuka gerbang yang menjulang tinggi yang ternyata tak –belum- di kunci itu, ia melihat ada seorang gadis berambut indigo yang sedang dengan hati-hati menutup pintu. Nampak ia sedang berusaha membuat semua orang tak menyadari kepergiannya.
Naruto tersenyum tipis. Ia lalu mencoba memanggil Hinata dengan suara se-pelan mungkin.
"Hina-chan…?" Tanyanya dengan hati-hati dan berhasil membuat gadis penyuka lavender itu menengakkan bahunya.
Tubuhnya pun berputar dan menatap Naruto dengan ekspresi yang sangat terkejut.
"Na… Naru-kun…!" Hinata pun berlari dengan langkah kecil dan langsung memeluk Naruto.
"Naru-kun… Naruto-kun…. Hiks…" Isak Hinata.
"eh? Doushitte? " Naruto sedikit gelagapan akan sikap Hinata kala itu
"hiks… Gomen…. Gomennasai… Aku minta maaf…. Aku mau melakukan apapun asalkan Naruto-kun mau memaafkanku…. Dan… aku mohon ja-jangan benci padaku… hiks hiks…" Hinata akhirnya mengeluarkan semua yang ada dipikirannya, membuat Naruto terkejut.
"etto… kau tidak salah ko, Hinata-chan… aku-, justru aku yang seharusnya minta maaf…" Ujarnya dan membalas pelukan Hinata.
"hanya saja aku sedang banyak pikiran dan capek, hehe… maafkan aku, ya?" Naruto mengelus rambut Hinata dengan lembut.
Hinata mendongak.
"eh? Benarkah itu?" Air mata masih terlihat jelas di pipi putihnya. Namun nampaknya Hinata cukup lega tapi masih penasaran.
Naruto mengangguk.
Hinata pun memeluk Naruto lebih erat dari sebelumnya, dan itu malah membuat Naruto berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.
===###===
Naruto
melihat kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Ia sudah menandai
hari di mana ia akan kehilangan nyawanya. Meninggalkan semuanya.
Meninggalkan kedua orang tuanya. Meninggalkan teman-temannya. Dan,
meninggalkan kekasih yang sangat ia cintai, Hinata.Dan-
Besok adalah waktunya.
Naruto pun memilih untuk membuang itu semua. Toh sekeras apapun ia memikirkannya, semuanya akan tetap berjalan seperti yang telah ditentukan. Ia akan tetap mati. Perjanjian adalah perjanjian. Ia tak mungkin bisa mengganti semuanya dan kembali merubah semuanya. Jika takdir sudah menghampirinya, tak mungkin ada toleransi, kan?
Ia pun memutar grandel pintu kamarnya untuk bergegas pergi ke sekolah.
Naruto berjalan dengan langkah santai saat akan memasuki gerbang sekolah Konoha Senior High School. Seakan-akan tidak ada masalah apapun. Namun, ia dikejutkan dengan teriakan lembut yang keluar dari mulut seorang perempuan.
"Naruto-kun!"
Naruto berbalik. Melihat gadis bermata semi abu-abu itu menghampirinya dengan kaki-kaki mungilnya. Ia tersenyum tipis. Ada sedikit rasa sakit menelusup ke dalam hatinya saat melihat Hinata.
"Ohayou~" Hinata tersenyum dengan manis. Sangat manis malah.
"O-ohayou~" Naruto membalas sapaan pagi Hinata dan bersikap ceria seperti biasanya.
"Bagaimana? Kemarin Naruto-kun tidak di marahi, kan?" Hinata menanyakan hal yang sesungguhnya Naruto sudah lupa akan hal itu.
Oh ya, well, lebih baik kita ceritakan sejenak.
Naruto kemarin pulang terlambat karena di hukun oleh Kurenai-sensei karena nilai ulangan Biologinya hancur berantakan. Dan, hal itu akan jadi pemicu kemarahan kedua orang tua Naruto, Minato dan Kushina.
"eh? Eh ya, aku tidak di marahi, ko… hehehe" Naruto nyengir.
"Yokatta ne~" Hinata kembali tersenyum.
"Hai… yokatta… hehe" Naruto membalas perkataan Hinata dengan gelagapan.
"Ah, anou… Hinata-chan" Naruto menarik Hinata untuk lebih dekat dengannya.
"Nani?" Hinata mengalihkan pandangannya dan menatap mata Naruto.
"Etto… bisakah hari ini kita bolos saja?" Tanyanya dan membuat Hinata terkejut.
"Bo-bolos? Kenapa harus bolos?" Hinata bertanya dengan alis tertaut.
"Soal itu sih… ah ayolah, sekali ini saja… ya? Onegai…" Naruto memohon.
"De-demo sa… kalau hari ini aku bolos, aku tidak akan dapat nilai dari Kakashi-sensei… Naruto-kun juga ada tes lisan pelajaran IPS Sejarah kan dari Kakashi-sensei hari ini?" Hinata berbicara panjang lebar.
"I-iya sih… tapi- ini kan cuman sekali… ayolah…" Naruto kembali memohon.
"Etto…" Hinata nampak berpikir.
"Ayolah…" Naruto menarik jaket Hinata dengan gerakan cepat.
"Ah~~ Hai hai~~! Tapi to-tolong jangan menarik jaketku sepeti itu…" Ujar Hinata.
"Eh? Ehehehe gomen…" Naruto kembali nyengir.
===###===
Naruto
dan Hinata kini duduk di salah satu bangku yang berada di taman Konoha.
Sebenarnya Hinata sudah meminta Naruto untuk tidak memilih tempat ini,
karena ini adalah tempat yang ramai. Bisa-bisa mereka ketahuan kalau
sedang bolos. Tapi Naruto sama sekali tak mendengarnya."Kita mau apa di sini, Naruto-kun?" Hinata bertanya pada Naruto yang sedari tadi hanya diam.
"Etto… sebenarnya… aku mau bertanya satu hal padamu, Hinata-chan" Naruto berkata dengan wajah serius.
"Nani?" Hinata menanggapinya dengan wajah yang tidak kalah serius.
"Anou… bagaimana jika tiba-tiba aku mati?" Mata biru itu menatap Hinata dengan lembut.
"Eh? Kenapa Naru-kun tiba-tiba bertanya hal seperti itu?" Ujar Hinata penuh keheranan.
"Bukan apa-apa sih… hanya saja… ya, kau tahu kan –aku, ah maksudku, kita itu tidak tahu kapan kita akan mati… iya kan?" Tanya Naruto.
"Iya sih… tapi- kalau pertanyaannya seperti itu aku tetap tidak bisa menjawabnya…" Hinata menatap Naruto –masih- dengan wajah keheranannya.
"Mou… Daijoubu yo" Naruto pun –pasrah dan tersenyum tipis pada Hinata.
"Demo… aku rasa… kematian itu adalah takdir. Dan- apapun yang berhubungan dengan takdir, kita hanya mampu menerima. Meskipun mungkin kita memberontak, tak akan ada perubahan apapun…" Hinata berkata panjang lebar.
Blue shappire itu sedikit melebar. Lalu redup dengan cepat. Akhirnya Naruto hanya diam dan melukiskan seulas senyum tipis, sebelum pikirannya kembali melayang, Hinata membuyarkan semuanya.
"Daijoubu?" Hinata bertanya dengan ekspresi khawatir.
Naruto mengangguk.
"Kau tahu? Aku senang dengan jawabanmu itu, Hinata-chan… entah kenapa rasanya aku sedikit lega" Naruto tersenyum menatap Hinata.
"Eh? Maksudnya?" Hinata bertanya tidak mengerti.
"Iie~ Tidak udah dipikirkan, hehe" Naruto nyengir.
Hinata masih diam. Menatap mata Naruto yang menurutnya cahaya semangat dari mata itu sedikit meredup. Membuat otaknya berputar-putar.
"Doushitte?" Kini Naruto yang bertanya keheranan.
Hinata menggeleng pelan.
"Maa… bagaimana kalau kita beli makanan?" Naruto berdiri dari tempat duduknya dan menarik lengan Hinata untuk ikut berdiri.
"Ikou…~" Naruto menarik lengan Hinata dan mereka pun berjalan bergandengan tangan pergi meninggalkan taman itu.
#Skip Time#
"Hari ini menyenangkan sekali ya. Meskipun kita bolos, hehe" Naruto nyengir ketika sampai di depan kediaman Hyuuga."Sst~ jangan keras-keras, nanti tou-san mendengarnya" Hinata menaruh telunjuknya dan otomatis Naruto langsung mengangguk-angguk pelan.
"Sa~ Kalau begitu aku juga mau pulang ya," Naruto mendekatkan wajahnya, membuat Hinata sedikit mundur.
Lalu Naruto memiringkan kepalanya dan mencium pipi Hinata dengan lembut.
"Arigatou ne, Hinata-chan" Naruto tersenyum lembut. Lalu ia pun pergi meninggalkan Hinata yang membatu di sana dengan wajahnya yang merah padam.
Hinata yang masih membatu karena –sedikit shock, tiba-tiba di kejutkan oleh suara dari seseorang yang sudah akrab dengan kehidupannya.
"Mau sampai kapan nee-chan berdiri di sana?" Hanabi menghampiri Hinata dengan sedikit berlari dan menarik tas sekolah Hinata.
"Eh? Ah, gomen" Hinata sedikit gelagapan ketika tahu Hanabi sudah ada di belakangnya.
"Hayaku~ Katanya tou-san ingin bicara dengan nee-chan." Hanabi berkata seraya meninggalkan Hinata yang menautkan alisnya. Heran.
"Tadaima" Hinata membuka pintu rumahnya dan nampaklah di sana Neji dan Hiashi, yang nampaknya sudah menunggu kepulangan Hinata sedari tadi.
"Sumimasen, aku terlambat" Hinata menundukan kepalanya, merasa bersalah karena telah melanggar jam pulang yang sudah ditetapkan di keluarganya.
"Daijoubu. Duduklah" Hiashi memerintahkan Hinata untuk duduk dan Hinata segera menurut.
"Begini, Hinata," Hiashi memperbaiki posisi duduknya dan secara tidak langsung ia meminta Hinata untuk mendengarkan semua yang ia katakan dengan serius.
"Tou-san sudah tahu, bahwa kau berpacaran dengan bocah itu" Hiashi mengucapkan hal yang membuat bahu Hinata menegak. Dan tergambarlah rasa terkejut luar biasa dari gadis manis berambut indigo itu.
"Etto…" Hinata mengepalkan tangannya yang ada di atas pahanya.
"Tou-san hanya ingin bicara, bahwa," Hiashi sedikit memberikan jeda pada kalimatnya.
"Kau boleh berpacaran dengannya sekarang" Hiashi pun menuntaskan kalimatnya dan membuat mata Hinata terbuka lebar.
"Eh?" Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan.
Hiashi pun tersenyum meskipun sangat-sangat tipis.
"Tou-san tahu, bahwa ia anak yang baik. Tapi ingat –jangan lupa- kau tetap harus menuruti beberapa aturan yang sudah tou-san berikan padamu. Kau sanggup?" Hiashi kembali memperlihatkan wajah serius.
"Ha-hai!" Hinata mengangguk cepat.
"Kalau begitu, cepat ke kamarmu. Kita bertemu saat makan malam"
"Ha-hai!"
Hinata berlari kecil menuju kamarnya dan ia pun mengusap air mata yang menngalir dari matanya.
Air mata bahagia.
===###===
Kilatan
cahaya matahari pagi masuk melalui sela-sela jendela kamar Hinata,
membuat gadis itu sedikit bergumam tidak jelas. Ia lalu bangun dan
menyibakan selimutnya, perlahan matanya terbuka dengan jelas, dan ia pun
berjalan pelan menuju salah satu ruangan.Kamar mandi.
Hinata menatap wajahnya di cermin. Pagi ini, ia telah merencanakan sesuatu. Di hari libur ini, setelah ia sarapan, ia berniat untuk menemui Naruto dan mengatakan bahwa mereka sudah bebas bersama. Karena ayahnya telah mengizinkan mereka untuk berpacaran. Dan itu merupakan berita yang menurutnya akan membuat Naruto bahagia. Ia menyematkan jepit berwarna ungu muda di rambutnya yang indah. Menambah manis penampilannya kala itu.
"Ohayou~" Hinata menyapa seluruh anggota keluarganya dengan ceria, persisi dengan apa yang ia rasakan kala itu.
"Ohayou" Neji tersenyum lembut pada Hinata dan mengajaknya ke ruang makan. Sebelum ia dan Hinata sampai di ruang makan, tiba-tiba handphone-nya berbunyi.
"Kau duluan saja, aku mau mengangkat telepon dulu" Ujar Neji dan pergi meninggalkan Hinata.
"Moshi moshi" Neji menjawab teleponnya dengan malas, saat ia tahu bahwa yang meneleponnya menurutnya bukan orang penting.
"Ada apa?"
"Apa? Kenapa memangnya dengan dia? Sudahlah aku mau sarapan, perutku lapar"
"Haa? Hei, hei, kau jangan bercanda!" Saat ia mendengar penjelasan singkat dari telepon itu, tiba-tiba ia menutup teleponnya dengan kasar. Perlahan keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ruang makan.
"Gomen, aku harus pergi sekarang. Dan- ah ya, Hinata, nanti ada sesuatu yang ingin aku beritahu padamu" Neji langsung pergi begitu selesai dengan pembicaraannya, meninggalkan Hinata yang terdiam keheranan.
"Neji nii-san kenapa sih" Omel Hanabi.
Hinata hanya tersenyum pada Hanabi dan melanjutkan sarapannya. Meskipun ia merasa ada hal janggal dan ini bukan –seperti biasanya.
"Terima kasih atas makanannya" Hinata tersenyum dan berdiri dari kursinya.
"Tou-san, aku mau ke rumah Naruto-kun dulu. Ittekimasu" Hinata langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukan perkataan ayahnya yang menyuruhnya untuk tidak kemana-mana.
===###===
Hinata
berjalan dengan langkah pelan. Ia pun melihat sebuah kotak kecil yang
terbungkus rapi lengkap dengan pita. Ia berniat memberikan sedikit
makanan kepada Naruto. Entah mengapa meskipun ia akan memberitahukan hal
yang bagus, perasaannya sama sekali tidak enak. Sungguh perasaan yang
sama sekali tidak enak.Ia sampai di depan rumah Naruto, perlahan rasa tidak enaknya mulai meningkat. Di rumah Naruto, -tepatnya di luar rumah- terdapat banyak sekali orang. Bahkan, ia melihat Sakura yang sedang menangis di peluk oleh Ino. Penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri mereka.
"Anou… Ino-san, kenapa Sakura menangis? Dan…"
"Eh? Hinata?" Sakura yang mendengar suara Hinata, tiba-tiba langsung melepaskan diri dari Ino dan memeluk Hinata.
"Gomennasai… Gomennasai…. Hiks" Sakura terus menangis dan membuat Hinata semakin kebingungan.
"Na-naruto… Naruto, Hinata, hiks hiks" Sakura kembali melanjutkan perkataannya dan membuat alis Hinata tertaut.
"Naruto… meninggal Hinata…!" Sakura mengeratkan pelukannya dan membuat dunia Hinata serasa berhenti berputar.
"Eh? Sakura-chan… kau bohong kan? Aku mohon jangan bercanda dengan hal-hal seperti itu… apalagi…"
"Aku tidak bohong! Maafkan aku yang tidak memberitahumu... hiks" Sakura melepaskan pelukannya dan memegang bahu Hinata dengan erat.
"Naruto sudah pergi Hinata! Dia sudah pergi dari dunia ini!" Sakura mengguncang-guncangkan tubuh Hinata, membuat nafas Hinata tiba-tiba naik.
"Lepaskan aku!" Hinata tiba-tiba bersikap kasar, dan ia pun masuk ke rumah Naruto.
Di dalam, ia melihat banyak sekali orang-orang yang ia kenal. Semua teman-teman Naruto ada di sana. Dan… ia melihat Neji ada di sana juga.
Neji yang terkejut melihat Hinata, langsung menghela nafas dan menghampiri Hinata.
"Gomen…"
Hinata tiba-tiba mendorong Neji dan ia langsung pergi ke salah satu ruangan di mana di sana ada Kushina dan Minato, orang tua Naruto.
Hinata termangu saat ia melihat dari pintu ruangan itu. Sebuah peti mati yang berwarna coklat itu membuat Hinata bergidik. Membayangkan bahwa benar, kekasihnya itu telah meninggal. Hinata menggelengkan kepalanya 'masaka….' Ia kembali membuang pikirannya.
Kushina yang melihat Hinata ada di sana, tiba-tiba berdiri dan menghampiri Hinata. Kushina yang masih menangis lalu mengajak Hinata masuk dan memberikan secarik kertas pada Hinata. Secara tidak langsung, ia menyuruh Hinata membacanya.
Hinata menatap heran Kushina, ia lalu membuka kertas yang terlipat itu.
Untuk Hinata-Chan-
Hinata-chan, aku harap saat kau membaca ini, kau tidak menangis, ya? Hehe
Sebenarnya, aku bingung harus memulai dari mana, tapi… aku hanya ingin minta maaf. Aku mohon maafkan aku.
Aku tahu, pasti banyak sekali yang tidak kau mengerti, iya kan? Tapi aku tak mungkin menjelaskan semuanya dan menceritakan semuanya. Hanya saja, aku sudah tahu bahwa aku akan meninggalkanmu.
Bagaimapun juga, aku sama sekali tidak mau melihatmu bersedih. Aku mohon, tetaplah tersenyum seperti biasa. Dan- ya, terima kasih karena kau telah menjawab pertanyaanku tentang kematian itu, aku benar-benar lega karena kau mau menjawabnya dengan kalimat seperti itu. Karena aku tahu ini adalah takdir.
Aku mohon, jangan pernah berpikir hal-hal yang lain tentang ini, apapun itu.
Ini takdir. Aku benar-benar yakin ini takdir. Meskipun aku sudah lebih dahulu mengetahuinya.
Dan-
Aku akan selalu menyayangimu. Meskipun dunia kita sudah lain, tapi percayalah, kita bisa bersama. Aku akan selalu ada di sampingmu. Percayalah. Karena, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Hinata.
Naruto
Saat membaca surat itu, otomatis Hinata melihat siapa yang ada di peti mati itu, dan saat ia tahu siapa yang ada di dalamnya, perlahan air mata mulai membasahi pipinya…
Author: Aizakii Okumura PM
http://www.fanfiction.net/s/8041095/3/Keep-Smile
2 komentar:
keren bro :D
oke...thanks cak
Posting Komentar