DILEMA CINTA DIANTARA SAHABAT PART 30

Senin, 24 Desember 2012
Dilema Cinta Diantara Sahabat
By Dini-chan
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing: NaruHina, SasuSaku. And slight NaruSaku, SasuHina.
Warning: AU, OOC, OC, and little Fantasy!

 YOOKAI

Chapter 30
*#~DCDS~#*
Note: Natsumi=Naruto
Hikari=Hinata.
Kyosuke=Sasuke
Sayaka=Sakura.

*#~DCDS~#*
"Sayaka, menikahlah denganku."
"Hah? K-kau sedang bercanda kan Natsumi?"
"Tidak Sayaka. Aku serius!"
"Hey Dobe Sialan! Kau–"
"Kalau kau tidak menerima lamaranku, Hikari-chan dalam keadaan bahaya."
.
.
Raut wajah Kyosuke mengerut, menahan amarahnya. Sayaka memasang tampang terkejut sekaligus khawatir. "Apa maksudmu Natsumi? Hikari kenapa?"
Natsumi membuka mulutnya hendak bicara, namun Kyosuke mendahuluinya.
"Cukup Dobe!" Kyosuke meraih lengan baju Natsumi dan mendorongnya menjauh dari Sayaka. "Jangan membuat lelucon di sini!" desisnya seraya menunjuk wajah Natsumi.
Natsumi mengerang. "Aku tidak sedang membuat lelucon! Dari tadi Aku serius! Dan jangan menghalangiku Teme!" Natsumi terbawa emosi, terlihat jelas dari wajahnya yang memerah.
Kyosuke siap membalas, "Kau–"
"Kyosuke-kun," Sayaka memeluk lengan Kyosuke, segera mengambil tindakan untuk menenangi pangeran Uchiha tersebut. "Tenangkan dirimu." Gadis itu mengelus dada Kyosuke yang naik turun karena menahan amarah. "Biarkan Natsumi menjelaskan semuanya dulu," ia menatap lembut mata onyx Kyosuke untuk meyakinkannya.
Kyosuke menghela nafas. "Baiklah," ujar Kyosuke pada akhirnya, meski nadanya terdengar kasar.
Natsumi juga ikut terbawa suasana, perlahan emosinya kembali menurun. Tetapi, melihat Sayaka dan Kyosuke begitu 'dekat' di hadapannya, menimbulkan sedikit rasa iri di hati Natsumi, kenapa dia juga tidak bisa sedekat itu bersama Hikari?
"Natsumi, Apa alasanmu? Hingga kau mendadak ingin melamarku? Dan apa hubungannya dengan Hikari-chan? " tanya Sayaka heran.
Natsumi tersentak, membuyarkan lamunannya sejenaknya dengan Hikari. Pemuda pirang itu menghela nafas, yang terdengar seperti nafas keputus-asaan. "Ini semua bermula tadi pagi, aku baru saja tertangkap basah sedang. . . . tidur bersama Hikari-chan."
"Lantas? Kau dan Hikari dihukum apa? Kalian 'kan masih bisa membantah, yakinkan saja pada mereka kalau kalian sudah terbiasa sejak kecil tidur bersama, dan ini semua hanya salam paham," cerocos Sayaka langsung.
"Bukan! Bukan seperti itu!" Natsumi menggeleng keras. "Kali ini mereka tidak salah paham, ini beneran, bukan sekedar tidur biasa, maksudku, aku memang sedang tidur berdua dengan Hikari-chan dalam keadaan. . . err. . . maksudku–" Natsumi bingung mau menjelaskan seperti apa, wajahnya sudah memerah duluan. "Aaagh! Masa' kalian tidak tahu sih! Itu loh, yang kalau orang tidur berdua, berpelukan, menempel, trus, trus,. . . melakukan, lakukan–" Natsumi yang bingung, membuat peragaan dengan tangannya, menyatukan jari-jarinya lalu menubruknya dengan tangan yang lain, seperti kedua tangannya. Ia mendongak takut untuk melihat reaksi Kyosuke dan Sayaka.
Yang ternyata, kedua sahabatnya itu juga sudah memerah padam. "Oh. . . kalian juga sudah tahu rupanya," tangkap Natsumi dengan melihat reaksi mereka berdua.
"Jadi. . . Hukuman apa yang diberikan Raja Hyuuga pada kalian?" tanya Kyosuke, pemuda itu mulai penasaran.
Natsumi, lagi-lagi menghela nafas berat. "Awalnya kupikir juga begitu. Tapi ternyata. . . semua kesalahan HANYA dibebankan pada Hikari-chan–"
"Kenapa bisa begitu? Bukankah seharusnya yang bertanggung jawab adalah pria? Hikari 'kan hanya seorang perempuan. Bisa-bisanya dia yang disalahkan, sementara kau, pria yang hanya ambil enaknya saja–"
"Sayaka!" potong Natsumi cepat. "Tenanglah dulu, Aku belum selesai bicara. Tolong, jangan potong kalimatku dulu," pinta Natsumi.
"Maaf." Sayaka menunduk malu.
Natsumi kembali bercerita, "Saat itu, Ayahku benar-benar murka. Beliau menuduh Hikari-chan sengaja menggodaku. Bahkan beliau mengatakan: 'Hikari adalah anak yang tidak tahu diri, sudah syukur saya mau menerimamu dikerajaan ini sebagai tanda terima kasihku pada almarhum ayahmu, bekas jendralku yang sudah tewas di medan perang 12 tahun lalu. Tapi sekarang, kau malah mau merebut tahtah kerajaan dengan menjual diri–" Natsumi bungkam, ia tidak mau melanjutkan lagi ucapan ayahnya saat itu. Karena hatinya sendiri sudah sakit mendengar hal itu, apalagi mengulangnya.
Pangeran Hyuuga itu menunduk, memilih lantai sebagai tatapan sedihnya. "Aku semakin tidak terima saat Ayahku menjatuhkan hukuman yang sangat berat pada Hikari-chan–" Natsumi menggertakan giginya. Kedua tangannya mengepal, menahan amarah.
Kyosuke dan Sayaka terdiam, mereka menunggu kalimat selanjutnya dari Natsumi. Meski mereka sudah tahu, ini pasti bukan berita bagus.
"Hukuman mati!"
Sayaka terkejut, ia segera menutup mulutnya yang menganga dengan tangan gemetar. Sementara Kyosuke, matanya membesar, tubuhnya membeku di tempat, dan tangannya mulai mengepal kuat.
"Tapi tenang saja," Natsumi kembali berujar, dengan senyum yang dipaksakan. "Aku sudah memohon pada ayahku, dengan berbagai cara. Akhirnya ayahku mengganti hukuman berat itu dengan yang lebih ringan."
"B-benarkah?" tanya Sayaka.
"Ya! Hukumannya, akan mengasingkan Hikari-chan ke luar istana selama satu tahun, setidaknya itu lebih baik dari pada hukuman mati, bukan?" Natsumi nyengir pahit.
Sayaka mengangguk, meski sedikit ragu karena dia bisa melihat sinar sedih di mata Natsumi.
"Tapi tetap saja ada syarat yang diinginkan Ayahku, kalau mau hukuman berat itu diganti," tambah Natsumi, bersamaan dengan senyumnya yang menghilang.
Kalimat itulah yang membuat firasat Kyosuke semakin buruk.
"Apa itu?" tanya Sayaka.
Natsumi memandang Sayaka. "Aku harus menikah denganmu," jawabnya lirih.
"APA?" Sayaka nyaris menjerit. "K-kenapa? Maksudku, kenapa harus aku?"
"Karena hanya kau perempuan yang terlihat sangat akrab denganku di mata Ayahku. Maafkan aku Sayaka, aku sudah terlanjur berbohong pada ayahku, kalau aku tidak mencintai Hikari-chan. Dan mengatakan ada wanita lain yang kucintai."
"Apa maksudmu?" Sayaka masih belum mengerti.
Kyosuke geram. "Jangan katakan padaku, Natsumi. Kalau kau sendiri yang mengusulkan syarat itu pada ayahmu!"
Natsumi diam, ia tak habis pikir kalau temannya itu sudah bisa menebaknya. Yah, masih jelas teringat di benak Natsumi. Ketika Hikari hampir digeret paksa oleh penjaga istana atas perintah Ayahnya, Natsumi yang kalut langsung berteriak di hadapan ayahnya: 'Aku akan menikahi seorang puteri dari kerajaan lain ayah. Gadis yang kucintai, dan itu bukan Hikari-chan. Jadi kumohon, lepaskan hukumannya, Ayah. Kumohon!'. Dan saat ayahnya menanyakan langsung siapa puteri itu. Tanpa pikir panjang Natsumi mengatakan satu nama yang langsung terpintas di pikirannya.
"Maaf," Natsumi menunduk. "Pikiranku saat itu sedang kacau. Aku takut kalau Hikari-chan akan–"
"Kau!" Kyosuke langsung meraih kerah baju kerajaan yang digunakan Natsumi. "Apa saja yang sebenarnya ada di otak udangmu itu, hah?" gertaknya marah.
"Sudah kubilang. Aku tidak bisa berpikir jernih saat itu!" balas Natsumi berseru juga.
"Kenapa harus nama Sayaka yang kau sebutkan? Kau seharusnya sudah tahu, kalau aku juga akan melamarnya!"
"Aku sendiri tidak sadar saat menyebutkan namanya. Mungkin karena hanya Sayaka yang dekat denganku setelah Hikari-chan."
"Alasan macam apa itu!" Kyosuke mendelik. "Kau pikir aku akan membiarkanmu menikahi Sayaka begitu saja, hah?"
"Lalu kau mau apa?" Natsumi ikut terbawa emosi. "Memangnya kau tega membiarkan Hikari-chan dihukum mati! Dia kan juga sahabatmu!"
"Kau sendiri? Apa kau akan senang, setelah menikahi Sayaka dengan terpaksa! Dan tak bisakah kau menghargai perasaanku dan Hikari yang terluka. Melihat kalian duduk di pelaminan. Itu sama saja kami sudah mati saat menyaksikan hal itu!" seru Kyosuke geram.
Natsumi tersentak sejenak. Separuh pikirannya membenarkan ucapan Kyosuke, namun separuh lagi pikirannya yang terbawa emosi besar, membantah hal itu. "Tapi, , , Aku tidak ingin Hikari-chan meninggalkanku. Aku akan melakukan apa pun agar hal itu tidak terjadi, meski Hikari-chan akan terluka. Setidaknya, aku masih bisa bertemu dengan Hikari-chan."
"Kau egois!" desis Kyosuke.
"Kau juga egois! balas Natsumi. "Dalam otakmu, hanya memikirkan dirimu sendiri! Kau tega, dan tetap ngotot ingin mempertahankan Sayaka. Sedangkan temanmu sejak kecil, Hikari-chan akan dihukum mati. Apa kau akan tetap bahagia bersama Sayaka, sedangkan aku terpuruk setelah peninggalan Hikari-chan. Apa pedulimu dengan sahabatmu sendiri?"
"PERSETAN DENGAN SAHABAT!" Kyosuke meledak.
Natsumi mendelik. Emosinya ikut tersulut. Ia juga mencekram kerah baju Kyosuke. "KAU–"
"Kalian berdua! HENTIKAN PERTENGKARAN KALIAN!" potong Sayaka. Membentak pada keduanya.
Natsumi dan Kyosuke tersentak. Mereka berdua langsung melepaskan cekraman pada kerah baju masing-masing. Meski tatapan membunuh diantaranya belum juga menghilang.
"Cukup! Jangan berkelahi lagi di Istinaku!" pinta Sayaka, merasakan hawa panas masih ada diantara kedua pemuda itu.
"Kalau begitu katakan saja Sayaka," timpal Kyosuke, ia mengambil kembali kotak cincin miliknya di balik jasnya. "Katakan saja, siapa pilihanmu?" tanya Kyosuke menatap mata Sayaka.
"Yah, katakan saja Sayaka. Siapa pilihanmu di antara kami berdua?" tambah Natsumi (Kyosuke sempat mendelik ke arahnya saat mendengar kata 'diantara kami berdua')
"Kau pasti peduli dengan Hikari-chan, bukan?" ujar Natsumi lagi, membuat Kyosuke semakin geram mendengarnya.
Sayaka terdiam. Matanya menatap Kyosuke dan Natsumi secara bergantian. Apa yang harus dia lakukan di saat-saat seperti ini? Terlalu membingungkan. . . hatinya menyuruhnya untuk memilih cintanya, Kyosuke, tapi bagaimana dengan keadaan Hikari dan Natsumi selanjutnya? Kalau dia memilih Natsumi agar Hikari tetap hidup. Itu sama saja menyakitkan hatinya sendiri, karena dia sama sekali tidak menyukai Natsumi, begitu pun sebaliknya.
Siapa yang harus dia pilih? Kyosuke atau Natsumi? Nafasnya atau hatinya? Cintanya atau sahabatnya? Ini membingungkan. Tak ada pilihan yang benar untuk Sayaka.
Kepala Sayaka terasa pusing memikirkannya. Sayaka memegang kepalanya, ia terhuyung dan jatuh bersimpuh di atas lantai.
"Sayaka!" seru Kyosuke dan Natsumi bersamaan. Mereka hendak memegang Sayaka.
"Jangan Sentuh Aku!" tolak Sayaka dengan nada tinggi. Kyosuke dan Natsumi tersentak.
Sayaka menatap horror keduanya, otaknya mengatakan bahwa ini semua karena ulah dua pemuda di hadapannya itu. "Penjaga!" puteri Haruno berteriak tiga kali, hingga lima penjaga istana langsung mendatanginya. "Antarkan dua pangeran ini keluar dari istanaku!" perintah Sayaka, membuat semuanya terkejut.
"Tapi Sayaka, kau belum me–" ucapan Natsumi terpotong.
"Tidak ada! Aku tidak akan memilih siapa pun di antara kalian! Dan biarkan aku menenangkan pikiranku sendiri!" Tanpa sadar, Sayaka sudah membuat keputusan yang sangat fatal
Kotak cincin yang semula berada di genggaman Kyosuke, terjatuh ke atas lantai yang dingin. Bersamaan dengan tarikan paksa oleh dua penjaga bertubuh kekar.
Bunyi kotak cincin yang bertubrukan dengan lantai, menyadarkan kesadaran Sayaka. Dia menoleh, melihat kotak kecil itu setengah terbuka, matanya lalu terpaku dengan mata onyx Kyosuke yang membalas menatapnya.
Pancaran mata onyx itu kosong, hampar, dan sekilas terlihat ada kekecawaan mendalam di sana. Hati Sayaka ikut mencelos, saat Kyosuke berbalik membelakanginya, melepaskan genggaman para penjaga sambil berucap dengan nada yang sangat dingin, "Aku bisa berjalan sendiri."
*#~DCDS~#*
Sejak saat itu. Hubungan persahabatan di antara mereka retak.
Natsumi semakin kesal, saat mendengar keputusan Ayahnya. Untuk mengurung Hikari di ruangan bawah tanah, sampai batas waktu Natsumi berhasil meminang Sayaka. Ini sungguh keterlaluan. Bahkan tak ada seorang pun yang boleh menjenguk Hikari di sana termasuk Natsumi sendiri, kecuali ibu asuh Hikari, itu pun dia boleh mendatangi Hikari saat-saat jam makan saja.
Tak beda jauh dengan Natsumi, Kyosuke juga semakin kesal. Saat ia hendak memasuki istana Haruno untuk menemui Sayaka. Untuk pertama kalinya, penjaga kastil melarang Kyosuke masuk. Atas perintah puteri Sayaka sendiri yang tak ingin menemui siapa pun, termasuk pangeran Uchiha sendiri.
Natsumi dan Kyosuke tak henti saling menyalahkan satu sama lain atas situasi buruk yang mereka hadapi. Tak jarang mereka saling duel pedang, bertarung, melampiaskan kekesalan mereka satu sama lain. Dan hasilnya selalu sama, seri. Dengan akhir dibawa ke istana masing-masing dalam keadaan luka parah.
Pertemanan, persahabatan, bahkan seperti saudara sendiri. Hubungan erat yang sejak kecil mereka bangun, rusak, pecah, hancur. . . . hanya karena perasaan Cinta tumbul di antara mereka saat beranjak dewasa. Bukan karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, bukan pula juga karena cinta segi tiga ataupun bersegi-segi. Melainkan sebuah ujian yang mengaitkan cinta dan persahabat. Mereka berada dalam Dilema, sebuah dilema tentang Cinta dalam Persahabatan mereka.
Natsumi mencintai Hikari, begitu pun sebaliknya. Tapi keadaan status mereka menjadi tembok besar yang tak mungkin bisa mereka hancurkan. Hubungan Kyosuke dan Sayaka yang awalnya berjalan dengan baik, terpaksa ikut arus dalam permasalahan Natsumi dan Hikari, sahabat mereka. . . .
Di saat-saat seperti ini, ada seseorang yang memanfaatkan keadaan mereka. . .
*#~DCDS~#*
"Aaargh! Sialan!" Kyosuke meninju dinding kamarnya. Melampiaskan amarahnya pada benda tak bergerak di sana.
Tabib istana, alias dokter yang baru saja merawat luka Kyosuke, berdiri dengan kaki lemas di belakang pangeran Uchiha. "Pa–pangeran, sebaiknya –um– pangeran istirahat dulu, luka pangeran belum sembuh total saat ini. Tidak baik unt–"
"DIAM!"
Mulut si tabib langsung menutup dengan keras, sampai-sampai bunyi 'krak' terdengar dari rahangnya yang bertubrukan. Tubuhnya menegang saat Kyosuke berbalik menghadapnya. Menatapnya dengan pandangan menusuk seolah pandangan tajam itu bisa membunuh siapa saja.
"Pergi Dari HadapanKU!"
Tanpa disuruh dua kali, si tabib sudah lari (dengan kecepatan bagaikan kilat) keluar dari kamar pangeran Uchiha itu. Berharap, arwahnya masih sempat mengikuti langkah jasadnya(?)
Hening sesaat, setelah tabib itu sudah tak ada lagi dalam pandangan Kyosuke. Pangeran Uchiha itu masih merendam amarahnya. Tanpa sadar mata onyx-nya melirik bingkai foto yang berdiri di atas meja. Ia mengambilnya, melihat dengan seksama foto empat orang di dalamnya. Salah satunya sosok dirinya sendiri ada diantaranya.
Kyosuke, Sayaka, Natsumi, dan Hikari.
Sayaka, puteri Haruno itu. . . . sudah hampir tiga minggu ia tak bertemu lagi dengan Sayaka, atau lebih tepatnya, Sayaka tak ingin lagi bertemu dengannya. Itu karena puteri Haruno itu tak ingin didesak untuk segera memilih antara Kyosuke dan Natsumi. . . . Natsumi! Sialan! Ini semua gara-gara dia! Mendadak datang, dan merusak semua rencana Kyosuke. Tapi Natsumi melakukan itu bukan karena tak ada alasan. Ini karena Hikari, yah, demi menyelamatkan gadis itu. Natsumi berani merusak hubungan sahabatnya.
Hikari. . . gadis pemalu itu. Salah satu sahabat dan juga orang yang disayangi Kyosuke (tapi Sayaka tetap nomor satu). Bagaimana keadaannya saat ini? Kyosuke juga tak pernah bertemu dengannya lagi. Tadi dia dengar dari ocehan Natsumi ditengah-tengah perkelahian mereka, Hikari sekarang dikurung di bawah tanah. Kasihan gadis itu, mungkin keadaannya lebih buruk lagi.
Tatapan Kyosuke pada foto itu berubah sayu. Ia sebenarnya juga tak ingin Hikari dihukum mati. Tapi Kyosuke juga tak ingin Sayaka menikah dengan orang lain, jika gadis itu nyatanya juga menyukai Kyosuke. Dalam hati, Kyosuke sedikit berharap untuk mati di tangan Natsumi. Dari pada dia harus melihatnya menikah dengan Sayaka. Dengan begitu Hikari akan selamat. Tapi tetap saja, keegoisan dalam hati pangeran Kyosuke untuk tetap memiliki Sayaka, masih lebih besar.
Kyosuke meremas rambutnya, kepalanya terasa pusing jika memikirkan hal ini meletakkan foto itu kembali pada tempatnya semula. Lalu dia berjalan mendekati ranjangnya. Menghempaskan badannya di sana, berniat ingin segera tidur, jika saja tak ada sesuatu benda yang menjanggal tubuhnya. Kyosuke langsung bangkit, ia agak terkejut melihat sebuah buku (yang dia tindis tadi) terletak di atas kasurnya.
Alisnya bertaut penuh tanda tanya. Judul buku yang bertuliskan 'Kunitsugami' menimbulkan rasa penasaran untuk segera membacanya. Dibuka buku tersebut, membalik lembarnya dengan minat. Tanpa sadar, seseorang mengamatinya dari balik jendela, dengan seringai licik terpampang jelas di wajah orang bertundung itu.
*#~DCDS~#*
"Mau kemana kau?" suara berat Raja Hyuuga menggema di sepanjang koridor kastil.
Natsumi berhenti melangkah, terpaksa menunda keinginannya untuk segera berbelok di ujung koridor kastil. Dengan malas, ia berbalik menghadap ayahnya.
"Aku mau keluar," jawabnya dingin, dan tak enggan lagi untuk menatap tajam orang yang paling berkuasa di istana Hyuuga itu. Natsumi menahan dirinya untuk tidak segera menarik pedangnya dari sarungnya yang terikat di sisi pinggangnya. Kebenciannya pada sosok angkuh ayahnya itu semakin besar setiap harinya. Tak jarang Natsumi mengutuk dirinya yang terlahir dalam kerajaan Hyuuga yang penuh dengan aturan, adat, dan perintah Raja yang tak boleh dibantah.
"Kenapa kau membawa pedang nak? Kau ingin bertarung lagi?" kali ini suara terdengar dari Ratu Hyuuga. Natsumi tersentak, ia baru sadar ibunya dari tadi berdiri di samping ayahnya. Pandangan garang Natsumi berubah lembut saat melihat raut wajah khawatir ibunya. Ah, Natsumi tidak habis pikir, kenapa ibunya yang terlihat sangat cantik dan lembut itu mau menikah dengan ayahnya? Inilah satu alasan Natsumi untuk tidak segera menantang ayahnya sendiri untuk bertarung, dia tak ingin mengecewakan ibunya, menjadi anak durhaka pada orangtuanya.
"Ya kaa-san. Urusanku dengan Kyosuke belum selesai."
"Tapi nak, kau baru saja sembuh dari lukamu yang kemarin. Jangan memaksakan dirimu. Sebaiknya kau batalkan saja, dan lupakan–"
"Biarkan saja dia, Yul," potong Raja Hyuuga. "Biarkan dia berjuang demi mendapatkan gadis yang disukainya. Aku ingin melihat, sampai dimana semangatnya untuk melaksanakan 'janji' yang diucapkannya pada kita." Mata Raja Hyuuga kembali memandang Natsumi. "Pergilah, dan jika kau butuh bantuan, para prajurit istana sudah siap. Tinggal tunggu komando darimu saja, untuk segera menyerbu kerajaan Uchiha."
Natsumi terkejut, matanya membulat lebar. Gila! Ayahnya benar-benar sudah tidak waras! Mengusulkan untuk segera perang hanya karena seorang gadis? Ini kelewatan namanya!
"Naraku-san!" pekik Ratu Hyuuga memanggil nama suaminya. "Apa-apaan kau? Jangan membawa dendammu dengan Uchiha pada anakmu sendiri!" jelas terlihat ada kilatan marah pada wajah Ratu Hyuuga.
'Dendam dengan Uchiha?' batin Natsumi bertanya.
"Diamlah Yul. Kau tidak tahu apa-apa tentang kekuasaan." Raja Hyuuga menatap tajam istrinya, menyadarkan Ratu Hyuuga, bahwa keinginan Raja adalah absolute. "Kita tak boleh begini terus. Tak ada Negara kecil yang dipimpin oleh dua kerajaan besar. Negara konoha tak akan stabil jika harus menuruti dua peraturan kerajaan bersamaan. Aku sudah lelah jika harus selalu berunding dulu dengan raja Uchiha dalam menentukan sesuatu peraturan. Kekuasaanku sebagai raja, terasa sempit dengan kehadiran Raja Uchiha yang juga menguasai separuh negara Konoha. Coba kau bayangkan Yul, apa jadinya kalau kita bisa menakhlukkan kerajaan Uchiha. Dan kerajaan kecil Haruno akan membantu pondasi kita setelah Natsumi menikah dengan Sayaka. Dengan begitu, kerajaan Hyuuga akan berdiri sendiri, memperluas kekuasaan yang lebih besar dari negara kecil Konoha."
Natsumi bergidik, melihat aura besar yang mencekam dari ayahnya. Otak Natsumi segera mencerna penjelasan ayahnya. Membuat semua terasa lebih jelas sekarang. Itu lah sebabnya ayahnya selalu membawa Natsumi sejak kecil ke kerajaan Haruno. Agar Natsumi lebih 'dekat' dengan puteri Sayaka. Tapi nyatanya, alih-alih Natsumi malah kecantol dengan Hikari, adik angkatnya sendiri, anak dari jendral Hiroki yang meninggal dalam tugasnya. Pantas saja, raja Hyuuga sangat murka melihat Natsumi sudah 'tidur' dengan Hikari, dan dia tidak segan hampir menjatuhkan hukuman mati pada anak angkatnya itu.
"Jangan melihatku seperti itu Yul. Kau pikir Raja Uchiha tidak berpikiran sama denganku. Lihatlah, Raja Uchiha juga berhasil membuat anaknya menyukai puteri Haruno. Kudengar dari mata-mataku, dia juga menyusun rencana untuk menyerang kita. Cepat atau lambat, perang ini pasti akan terjadi," tutur Raja Hyuuga dengan tegas.
Ratu Hyuuga menatap suaminya tak percaya, ia membeku di tempat.
Mata lavender raja Hyuuga kembali beralih pada Natsumi. "Kau sudah dewasa Natsumi, sebentar lagi kau akan menduduki tahtah kerajaan, setelah kau berhasil menikahi puteri Haruno tentunya. Sekarang, aku menyerahkan komando perang atas namamu. Pangeran Hyuuga. Pilihlah terbaik untuk kerajaan kita!"
Natsumi yang dilanda keterkejutannya. Mencoba berpikir tenang. Butuh sepersekian detik, agar suara yang dikeluarkannya terdengar tenang, dan tegas. Natsumi tahu, perintah ayahnya tak boleh ditolak. . .
"Baiklah, kalau itu yang Ayah inginkan. Aku akan memimpin perang."
Raja Hyuuga menyeringai tipis.
Ratu Hyuuga hampir menangis di tempat, membayangkan perang akan datang.
". . . . tapi, tidak untuk sekarang Ayah. Aku butuh waktu untuk hal besar seperti itu."
Setidaknya perintah ayahnya bisa Natsumi tunda.
.
.
.
Niat Natsumi untuk segera menemui Kyosuke di tempat biasa, ia batalkan. Pandangan Natsumi terlihat kosong, menatap kuda putihnya (yang siap ditunggangi). Pikirannya terasa pening, mengetahui masalah yang dihadapinya semakin bertambah. Belum selesai masalah tentang Hikari, sekarang malah tentang 'perang' yang diperintahkan ayahnya.
Dia memang sekarang lagi kesal sekaligus marah dengan Kyosuke. Tapi bukan berarti dia harus berperang dengan sahabatnya sendiri? Yah, meskipun ikatan persahabatan itu mulai retak kini. Memang sih, akhir-akhir ini Natsumi sering bertarung dan berduel dengan Kyosuke, tapi semata-mata hal itu membuat agar Kyosuke jera dan menyerahkan Sayaka padanya, dengan begitu Hikari akan bebas. Bukan malah berperang dengan kerajaan Uchiha, dan serius untuk membunuh Kyosuke. Tentu saja Natsumi tidak tega melakukan hal itu.
Tapi bagaimana dengan perintah Ayahnya?
Bagaimana dengan kebebasan Hikari?
Bagaimana dengan nyawa Kyosuke?
Bagaimana dengan perasaan Sayaka?
Bagaimana juga dengan nasib penduduk negara Konoha? Yang pasti akan terlibat dengan perang nantinya.
Semuanya terasa berat di kepala Natsumi. Sangat berat.
"Kuso!" Natsumi menendang batu kecil di hadapannya, ia mengepalkan tangannya, meninju berapa kali tanah di bawahnya dengan kekesalannya yang mendalam. Lalu ia berteriak, sebuah teriakan frutasi terdengar di lapangan luas itu.
"Hei." Sebuah suara menginterupsi kegiatannya.
Natsumi tersentak. Ia berbalik, untuk mendapati orang asing berdiri tidak jauh dengannya, memasang senyuman yang janggal dengan Natsumi.
"Siapa kau?" tanya Natsumi dengan penuh kewaspadaan.
"Tenanglah pangeran. Hamba ke sini ingin membantu permasalahan yang pangeran hadapi," jawabnya datar. Sekilas orang asing itu terlihat menyeringai.
*#~DCDS~#*
Suara ketukan pintu, seketika membuyarkan lamunan Sayaka. Gadis yang duduk di ranjangnya itu, mengerjap bingung, sebelum akhirnya suara ketukan kembali mengfokuskan keadaan sekitar Sayaka.
Puteri Haruno berjalan mendekati pintu kamarnya, membukanya, untuk mendapati pelayan setianya berdiri di depan kamarnya.
Sayaka menghela nafas, "Mia, sudah berapa kali kukatakan padamu. Aku sudah kenyang. Jangan memaksaku untuk makan siang hari ini."
"Maafkan hamba, Puteri." Mia, si pelayan itu menunduk memberi hormat. "Hamba ke sini bukan untuk menawari makan siang lagi pada Puteri. Tapi, hamba ke sini hendak membawa berita buruk."
Sayaka memutar bola matanya. "Mia. Hal ini juga sudah berapa kali kukatakan padamu. Aku sudah bosan mendengar kabar buruk yang selalu sama kau sampaikan padamu. Aku tahu, kedua pangeran bodoh itu bertarung lagi. Tapi, aku tidak mau ambil pusing, karena aku tahu, mereka tidak benar-benar ingin saling membunuh. Nanti juga pasti mereka akan menyerah untuk memperebutkanku. Aku sudah terlalu pusing untuk memikirkan mereka."
"Tapi Puteri. Hari ini mereka tidak bertarung lagi."
"Apa?" Sayaka terkejut. "Apa maksudmu? Apa mereka berdua akhirnya sudah menyerah?"
"Tidak Puteri. Justru lebih parah lagi,"
"Jelaskan padaku! Ah, sebaiknya di dalam kamarku saja," pinta Sayaka, menyuruh pelayannya masuk.
Mia masuk, mengikuti puteri Haruno. Gadis berambut hijau itu berdiri di hadapan Sayaka, selagi Sayaka duduk di tepi ranjangnya.
"Ceritakan padaku. Apa kabar buruk yang kau bawa?" tanya Sayaka.
"Kabarnya, pangeran Kyosuke dan pangeran Natsumi, pergi mengelana ke luar negeri. Mereka– mereka pergi ke tempat Yookai berada untuk–"
"APA?" Sayaka nyaris berteriak. "Pergi ke tempat Yookai berada? Apa mereka berdua sudah gila! Apa yang mereka cari dari Yookai? Lagi pula, tahu dari mana tempat Yookai berada? Yookai 'kan semacam makhluk legenda yang jarang menampakkan dirinya."
"Maaf puteri, tapi dari hamba dengar. Mereka sudah mengetahuinya. Pangeran Kyosuke pergi ke lembah Izumo untuk mencari Tsuchinoko (Yookai api berbentuk ular). Sedangkan, pangeran Natsumi pergi ke gunung Yomi untuk mencari Tengu (Yookai angin berbentuk gajah). Katanya, para pangeran ingin berguru dengan para Yookai-Yookai itu," tutur Mia.
"Mustahil," guman Sayaka menggelengkan kepalanya. "Darimana mereka tahu legenda kuno itu? Kupikir mereka bukan tipe orang yang suka membaca buku di perpustakaan sepertiku dan Hikari untuk mengetahui ini semua. Dan, datang dari mana pikiran mereka untuk–" Sayaka tersentak akan sesuatu, ia langsung menutup wajahnya dengan helaan nafas frustasi. "Jangan bilang, mereka melakukannya untuk bertarung lagi, dan– dan ini semua gara-gara ingin memperubatkan aku?"
Mai, dalam takut dan agak ragu-ragu, mengangguk mengiyakan dugaan puteri Haruno.
Sepersekian detik kemudian, tangis Sayaka pecah. Menyesali apa yang sudah terjadi, dalam hati mengutuk tindakan bodoh nan nekat yang dilakukan Kyosuke dan Natsumi. Berguru dengan Yookai? Bodoh! Membuat perjanjian dengan makhluk supernatural, sama saja mendekati pintu kematian.
"P-puteri Sayaka, hamba takut. Takut kalau kedua pangeran itu berhasil menemukan Yookai, dan berguru dengannya. Apa yang akan terjadi kalau kekuatan para Yookai saling berbenturan? Negeri Konoha akan– akan–"
"Tenanglah Mai." Sayaka berdiri, puteri itu menghapus sisa air matanya. "Aku tak bisa lagi tinggal diam seperti ini. Mereka harus dihentikan. Ini sudah kelewatan." Mata emerald Sayaka berkilat marah sekaligus kecewa.
"Apa yang ingin puteri lakukan? Kalau hamba boleh tahu," kata Mai.
"Menurut legenda kuno. Ada tiga Yookai 'kan? Kalau begitu tinggal satu Yookai lagi," Sayaka menghela nafas berat. "Terpaksa, aku harus melakukan apa yang mereka (Kyosuke dan Natsumi) lakukan. Aku akan pergi menemui Kappa."
Mai menganga. "K-kappa? Yookai air–"
"Mai, siapkan barangku. Jangan katakan pada Ayah. Kalau malam ini aku ingin pergi ke pantai selatan."
.
.
.
Sesosok pria bertundung, bersandar di balik pohon. Tangannya memegang buah apel, memutarnya seperti mainan. Langkah kecil yang mendekatinya, menarik perhatian pria itu. Ia menghela nafas.
"Jadi, bagaimana Mai? Kau sudah mempengaruhi puteri Haruno itu?" tanya pria tersebut dengan senyum liciknya.
Mai mengangguk. "Sudah. Nanti malam dia akan pergi ke pantai utara, sesuai dengan rencanamu. Jadi, mana bayaranku?" tagih gadis itu dengan lagaknya yang angkuh.
Pria di hadapannya, menyeringai, "Ini," dan dia melempar pisau kecil tepat mengenai perut Mai.
"Ap–" mata gadis itu membulat, sebelum akhirnya dia jatuh di atas tanah.
"Bagus." Pria itu menggigit apelnya. "Semuanya berjalan lancar. Tingal menunggu akhirnya. . ." dan seringai liciknya semakin lebar. Merasa dirinya sebentar lagi ada di atas awan.
Tanpa dia ketahui, sebuah badai kecil yang datang nanti malam, juga sebuah rencana dari Raja Hyuuga, tanpa sengaja merusak rencana mulus pria itu. Yah, sepertinya keberuntungan sedikit melenceng darinya.
*#~DCDS~#*
Gelap.
Nyaris tak ada penerangan sama sekali dalam ruangan sempit berukuran 4x5 meter tersebut, hanya ada seluit cahaya, itu pun dari obor di luar ruangan yang tampak dari jendela kecil di atas pintu (satu-satunya dalam ruangan tersebut).
Hikari duduk meringkuk, di sudut ruangan, di atas satu-satunya futon yang disediakan di ruangan tersebut. Suara isak tangis kecil terdengar, bahunya berguncang, ia memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di atas lututnya.
Gadis itu tak pernah menyangka. Ia akan menjadi tahanan dalam ruangan bawah tanah di kastilnya sendiri. Tega sekali orang tuanya melakukan hal ini padanya. Tunggu, ralat kata 'orang tua' tadi, karena orang tua kandung Hikari sudah lama meninggal, haaaah… bodohnya dia baru saja menyadari hal itu.
Sekarang apa lagi? Adakah yang lebih buruk lagi dari ini? Dikurung, sendirian, dalam ruangan gelap, tanpa ada siapa pun yang diajak berbincang, bahkan semut atau pun tikus di larang masuk dalam ruangan tersebut. Perasaan Hikari yang ingin segera bertemu dengan Natsumi sebaiknya dia buang jauh-jauh, karena rasanya tidak mungkin jika mendadak. . . . .
'Klek'
Hikari tersentak, bunyi itu terdengar seperti kunci pintu yang baru dibuka. Dan benar saja, satu-satunya pintu dalam ruangan tersebut, terbuka. Sepintas, Hikari berharap, Natsumi yang membuka pintu itu.
Sayangnya tidak. Sosok ibu asuh Hikari muncul di sela-sela pintu tersebut, membawa obor masuk agar ruangan lebih terang. Harapan Hikari yang mengira Natsumi datang untuk menolongnya, luntur seketika.
Hikari hampir lupa, bahwa Ibu asuhnya inilah yang selalu datang membawakannya makanan pada jam-jam tertentu. Tapi, kenapa sepertinya ada yang janggal. Seingat Hikari, Ibu asuhnya tadi sudah datang membawa makan malam. Kenapa sekarang datang lagi? Apa sekarang waktunya sarapan pagi? Yah, maklum Hikari sedikit bingung, karena dalam ruangan bawah tanah seperti ini, Hikari tak bisa melihat waktu. Apakah ini malam atau siang? Ia tak pernah tahu dari ruangan gelap ini. Malang sekali. . .
Wajah Ibu asuh Hikari terlihat pucat. Kedua tangannya yang dingin mengenggam lengan Hikari.
"Puteri Hikari," suaranya terdengar parau. "Inilah saatnya. . ."
"A –apa mak–"
"Lari! Kabur dari tempat ini puteri Hikari!"
Mata Hikari melebar. Belum sempat ia bertanya lagi, tangan ibu asuhnya sudah menariknya berdiri, mengajaknya keluar dari ruangan sempit itu.
"B-bagaimana dengan penjaganya?" tanya Hikari dengan nada takut.
"Tenang saja puteri. Saya sudah memberikan obat tidur di makanan mereka."
Hikari sedikit tertatih saat berjalan, karena kakinya yang sudah berhari-hari (Hikari tidak bisa menghitung hari dalam ruangan itu) tidak digunakannya untuk berjalan. Dia berjengit, melihat dua penjaga di depan tangga sudah pingsan atau tidur?
Hikari dituntun ibu asuhnya keluar ruangan bawah tanah, berjalan mengendap-ngendap di sepanjang koridor kastil, bersembunyi di balik bayang-bayangan dinding. Entah kenapa Ibu asuh Hikari tahu betul seluk beluk yang jarang akan pengawasan penjaga kastil.
Sampai di luar istana, melewati pintu kecil di belakang istana, juga dengan bantuan tiga penjaga istana yang berbaik hati membiarkan mereka lewat, karena simpati dengan keadaan puteri Hikari.
"Bawa ini," Ibu asuh Hikari menyerahkan tas ransel pada Hikari. "Di dalamnya ada lima baju, juga ada uang yang cukup untuk tiga hari–"
"T-tunggu dulu!" potong Hikari. "Apa maksudnya ini? I-ibu tidak ikut denganku?" tanya Hikari takut.
"Maafkan saya, saya tak bisa menemani Puteri. Saya tidak bisa meninggalkan Rin di Istana sendirian," jawab Ibu asuh Hikari dengan wajah menyesal. Hikari baru ingat. Ibu asuhnya masih memiliki keluarga di sini, Rin, adiknya satu-satunya yang bekerja di bagian dapur Istana.
"Hanya ini yang bisa saya lakukan buat Puteri. Maafkan ibu asuhmu ini nak, tak bisa berbuat lebih untukmu."
"Tak apa. Ini sudah cukup. Terima kasih." Hikari tersenyum. "Aku mencintai Ibu," ujarnya tulus.
Ibu asuhnya langsung memeluk Hikari, ia menangis, entah itu terharu atau sedih karena simpati.
"Puteri Hikari!" seru penjaga, yang memihak pada puteri Hikari. "Cepatlah pergi. Sebelum para penjaga ruangan bawah tanah sadar."
"Ah iya. Pergilah puteri. Lurus ke arah selatan. Menuju pantai, di sana sudah ada suruhan saya, untuk menjemputmu dan membawamu ke pulau seberang. Ada sepupu jauhku yang pasti akan menerimamu dengan senang hati di desa sana. Percayalah pada mereka." Ibu asuh Hikari tersenyum, sambil mendorong tubuh Hikari untuk segera pergi.
"T-tapi," masih ada yang janggal di hati Hikari. "Natsumi-kun –um maksudku, niisan? Dimana–"
"Dia tidak ada di Istana, sudah pergi sejak tadi pagi. Karena itu saya mengkhawatirkan keadaan puteri. Yang bisa sewaktu-waktu diberi hukuman mati saat pangeran Natsumi keluar Istana. Tenang saja, saya pasti akan mengabari Natsumi tentang keberadaan puteri nantinya. Jadi, cepatlah pergi."
Hikari mengangguk, dan mulai menampakkan hatinya. Rasanya sangat berat harus meninggalkan tempat ia dibesarkan, apalagi, ini bisa dikatakan waktu perpisahan dengan Natsumi secara tidak langsung. Entah kenapa, hati Hikari merasa ada yang janggal, seolah ada beban yang tak terlihat, sebuah firasat kecil yang melarang Hikari untuk pergi. Tapi Hikari menghiraukan perasaan itu. Langkahnya ia tetapkan, lambat laun menjadi langkah yang besar, percepat, lari. Menembus kegelapan malam, menyusuri pinggiran sungai, menuju pantai.
Tanpa Hikari ketahui, Ibu asuhnya dan tiga penjaga yang menatap punggung Hikari semakin menjauh. Sudut bibir mereka terangkat, bukan membentuk sebuah senyum simpati atau kelegaan seperti tadi, melainkan sebuah seringai licik. . . 'tinggal menunggu bayaran dari Raja Hyuuga.'
*#~DCDS~#*
Langkah Sayaka dipercepat. Awan gelap yang semakin gelap menyelimuti permukaan langit. Angin mulai berhenbus kencang, dan kilatan petir mulai terlihat. Sepertinya akan ada badai. Dan Sayaka harus segera sampai di tujuan sebelum–
Rintikan hujan menerpa tundung kepala Sayaka. Gawat. Hujan lebat mulai turun. Sayaka gelagapan, panic, dia mencari tempat untuk berteduh. Langkahnya yang awalnya menyurusi sungai, kini berbelok ke arah tepi hutan, mencoba berteduh di bawah pohon, meski itu tidak menolongnya dengan baik. Angin yang kencang, membawa air hujan menerpa miring, membasahi Sayaka yang berada di bawah pohon. Oh, ini tidak membantunya untuk lebih hangat.
Sayaka kembali berjalan, ia berlari kecil, tanpa sadar memasuki hutan lebih dalam, bahkan Sayaka lupa dengan tujuannya ke pantai selatan untuk menemui Yookai Kappa. Akhirnya, perjuangan Sayaka menemui hasil, ia menemukan sebuah gua. Yah, setidaknya ada tempat berteduh untuk sementara waktu.
Gua itu gelap, mulutnya berdiameter 4meter, dan tingginya sekitar 7meter. Dalamnya gelap, tentu saja. Sayaka harus mengeluarkan lampu minyak yang ia bawa di tas, untung isi tasnya tidak terkena air hujan. Menyalakan lampu dengan korek, Sayaka menyinari dinding gua. Sayaka sedikit terkejut, melihat gua ini tak buntu, malah memiliki lorong yang terlihat panjang.
Suara gemuruh halilintar keras terdengar. Sayaka ikut memekik keras karena terkejut. Disusul dengan bunyi runtuhan batu di mulut gua. Oh tidak. Jalan masuk Gua tertutup dengan runtuhan beribu batu. Bagaimana caranya Sayaka untuk keluar?
Gadis itu mulai panic. Ia berteriak minta tolong, meski ia tahu, sulit suaranya terdengar di sela-sela badai hujan seperti ini.
Bunyi benda jatuh di dalam lorong, kembali mengejutkan Sayaka. Ia berbalik, bergidik, takut mulai merayapinya. "Siapa di sana?" teriaknya dalam lorong, suaranya bergema di dinding batu lorong gua.
Hening, tak ada jawaban, terdengar bunyi air hujan yang jatuh di sela-sela langit-langit gua. Sayaka terpaksa menelan ludah. Ia menyesal tadi melarang Mai untuk ikut dengannya. Yah, salahkan dirinya yang tak ingin pelayan ikut terlibat dengan Yookai.
Rasa penasaran timbul di benak Sayaka. Kira-kira apa yang ada di ujung gua itu yah? Mencoba menepis rasa takutnya, sekaligus perasaannya yang mengira ada jalan keluar di ujung lorong itu. Sayaka menetapkan hatinya untuk memasuki gua tersebut.
Oh tuhan. Semoga Engkau melindungiku.
*#~DCDS~#*
Hikari berlari, sekuat tenaga, dan tak ada satu pun keinginannya untuk berbalik. Langit malam yang semakin gelap, membuat rasa takut Hikari semakin besar.
'Oh tidak. Kumohon, jangan hujan dulu. Jangan ada halilintar.' Pinta Hikari dalam hati.
Tepi sungai yang ia telusuri, semakin lama mulai melebar, menandakan laut sebentar lagi akan tampak. Dan benar saja, pantai sudah mulai di ujung sana.
"HEI! BERHENTI!"
Hikari bergidik. Ia menoleh, hanya untuk menambah rasa takutnya semakin besar, karena ia melihat beberapa orang mengejarnya. Gawat. Apa itu para penjaga atau pengawal atau prajurit dari kerajaannya?
Tidak. Kali ini Hikari membantah dan melawan permintaan orang terhadapnya. Yang benar saja, disuruh berhenti hanya untuk kembali ke tempat ruangan bawah tanah? Tentu saja jawabannya tidak!
Langkah lebar Hikari semakin di percepat. Ia tak peduli lagi dengan nafasnya yang terengah-engah. Pasir pantai mulai terasa di ujung kakinya. Matanya menelusuri bibir pantai. Mana? Mana kapal atau sekedar perahu yang dikatakan ibu pengasuhnya tadi? Kenapa tak ada satu pun 'benda' yang berlabuh di sana?
"Puteri HIKARI! JANGAN LARI!"
Hikari semakin panic. Tidak, dia tidak ingin tertangkap. Ia kembali berlari, kali ini naik ke atas tebing, berniat ingin melihat seluruh bibir pantai dari atas tebing itu. Tapi nyatanya setelah dia sampai di ujung tebing. Lagi-lagi tak ada kapal apa pun yang berlabuh di pantai.
Apa-apan ini? Apa ibu asuhnya baru saja membohonginya? Untuk apa?
Dalam keadaan sangat panic, takut, putus asa, dan tak tahu apalagi yang harus dia lakukan. Mendadak anak panah melesat ke arahnya, mengiris lengan Hikari.
Pekikan sakit keluar dari bibirnya. Hikari mulai menangis. Rasa perih dari luka dan darah yang keluar dari lengannya, masih tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Ya tuhan. Kenapa ini harus terjadi padanya?
"Menyerahlah puteri Hikari." Suara pria terdengar di belakangnya.
Belum sempat Hikari berbalik, suara gemuruh halilintar terdengar. Hikari langsung memekik keras ketakutan. Para suruhan kerajaan Hyuuga terkejut. Mereka saling pandang dengan heran.
Hikari menutup telinganya dengan tubuh genetar. Tangisan tidak juga reda. Apa hanya sampai di sini perjuangannya akan berakhir?
'Oh Natsumi-kun. Kau dimana? Natsumi-kun, Natsumi-kun, Natsumi-kun. . .' nama itu terus digumankan Hikari dalam hati. Rasa takutnya tak terbendung lagi,
Suara Halilintar kembali terdengar. Keras, karena ini di alam liar, apalagi Hikari berada di atas tebing pantai. Tentu saja, ketakutannya sudah meledak. Puteri Hikari pingsan.
Para suruhan kerajaan terkejut melihat tubuh Hikari mendadak jatuh, jatuh, yah, jatuh dari atas tebing, ke bawah, yang bisa dipastikan akan terbetur dengan bebatuan karang pantai. Salah satu pria langsung berlari untuk memastikannya. Tapi saat dia melihat ke bawah. Tak ada apa-apa di sana. Tak ada bunyi benturan keras, atau ceburan benda dalam lautan, juga tak ada jenazah puteri Hikari di sana. Hei, apa yang baru saja terjadi?
"Apa dia sudah mati?" tanya salah satu pria. Yang lainnya hanya mengangkat bahu, tanda tak tahu.
*#~DCDS~#*
Sayaka terus berjalan memasuki lorong gua. Sudah hampir lima kilo meter ia berjalan. Hingga akhirnya, di ujung lorong terlihat sebuah cahaya remang. Melihat ada sercercah cahaya, Sayaka mempercepat langkahnya.
Lampu minyak yang ada di tangan Sayaka, kini bukan lagi satu-satunya sumber cahaya di sekitar Sayaka. Ia terpengarah melihat ruangan luas yang baru saja ia masuki.
Ada beberapa obor yang menyala di sisi-sisi dinding batu, menyinari sudut-sudut ruangan berbentuk lingkaran itu. Di tengah-tengah ada sebuah kubus besar di atas altar melingkar. Di permukaan dinding batu, terdapat berbagai ukiran dengan tulisan kuno di sana. Dan ada juga–
"Hai,"
Sayaka terlonjak kaget, mendengar suara itu. Ia menoleh, ke kanan, kiri, belakang, depan lagi, lalu ke atas dan di bawah. Namun dia tak menemukan siapa pun di sana.
"S-siapa itu?" tanya Sayaka, mulai gemetar ketakutan.
Suara tawa terdengar, terbahak-bahak, dengan suara yang berat. Sayaka terdiam. Lidahnya keluh untuk bebicara. Satu hal yang dipikirkannya, Gua ini berhantu. . . mungkin?
Beberapa menit kemudian, tawa misteius itu terhenti. Lalu, secara ajaib, mendadak sesosok muncul di tengah-tengah udara, tepat di hadapan Sayaka. Membuat gadis itu semakin lemas akan pondasi kedua kakinya.
"Hai gadis. Kau orang pertama yang menemukanku. . ." ujar sosok itu.
Mata emerald Sayaka mengerjap, mencoba mencerna apa yang baru saja ia lihat. Sosok berbentuk seperti setengah rubah setengah burung, tembus pandang, dan melayang di hadapan Sayaka. Cirri-ciri ini sudah jelas membuktikan kalau dia. . .
"Apa –apa kau. . ." Sayaka menelan ludah untuk kembali melanjutkan ucapannya. ". . .. Yookai?"
Sosok itu tersenyum, lebar, sangat lebar, hingga terlihat sudut bibirnya mencapai kedua bawah matanya, seakan senyum itu bisa membelah wajahnya yang menyerupai rubah. Mata merahnya berkilat penuh arti.
"Ya. Aku Yookai di gua ini. . . . sebutanku. . . Kitsune no Zenko,"
Untuk sepersekian detik, Sayaka berpikir. Hingga kesadaran besar langsung melandanya. Matanya membulat sempurna. Oh tuhan, dia baru saja menemukan Yookai, bukan dari salah satu Yookai dalam legenda kuno. Itu berarti, Yookai ini adalah. . . .
*#~DCDS~#*
Hikari mengerjap, kepalanya terasa pusing seketika, di susul dengan rasa nyeri di lengannya. Apa yang baru saja terjadi?
Butuh beberapa detik untuk menyadarkan Hikari kembali pada masalahnya semula. Ia langsung bangkit dengan panic, dan hampir memekik keras saat terakhir yang dia ingat, dirinya terjun bebas dari atas tebing.
Apa dia sudah mati? Apa dirinya sudah berada di surga? Tapi kenapa rasanya masih agak gelap. Suara ombak laut terdengar, bergabung dengan suara badai hujan di luar, di luar? Hikari mengerjap, ia melihat sekelilingnya dengan seksama. Dinding kasar dengan berbagai batu yang lembab, Hikari menoleh ke belakang, mendapati batu besar menjulang, dan dibaliknya terdengar deru ombak lelautan.
"I-ini di mana?" tanya Hikari entah pada siapa. Beruntung ada yang menjawabnya.
"Ini di dalam gua di bawah tebing pantai."
"Oh. . ." butuh berapa detik lagi, bagi Hikari untuk memprotes otaknya. Dan. . . . "Kyaaa!"
"Aaakh! Jangan teriak. Kupingku sakit!" jerit orang asing yang menjawab pertanyaan Hikari tadi.
Hikari langsung menutup mulutnya. Ia melirik ke arah sumber suara. Gua yang gelap, tak membantu penglihatannya dengan jelas. Di sampingnya, terdapat sosok bayangan kecil, seperti anak-anak berumur sepuluh tahun. Hikari tak bisa melihat dengan jelas rupanya, hanya bentuk tubuhnya. Mulutnya terlihat mancung seperti paruh, anak itu seperti memakai sebuah piring di atas kepalanya, memikul benda melingkar di punggungnya. Dan dia membawa tongkat.
"S-siapa kau?" tanya Hikari heran.
"Aku. . . . yang menolongmu saat kau jatuh tadi."
Hikari mengerjap, terkejut anak kecil ini bisa menyelamatkannya. "T-terima kasih."
Anak itu mengangguk semangat.
Hening kembali merayapi mereka. Hingga Hikari bertanya, menyeruakan rasa penasarannya. "A-apa yang kau lakukan di dalam gua malam-malam begini?"
Anak kecil itu tak menjawab langsung. Sebelum akhirnya dia bersuarah lirih, "Aku tersesat, terdampar di sini dalam jangka waktu yang lama. Tak ada yang menjemputku, atau pun mengantarku pulang. Bagaiman denganmu? Kau mau menolongku tidak?"
"Eh?" Hikari kembali terkejut. "M-menolongmu? Maksudmu, mengantarkanmu pulang ke rumahmu?"
Anak kecil itu lagi-lagi mengangguk semangat.
Hikari tersenyum, tak ada yang salah dengan ini. Lagi pula, dia juga sudah tak memiliki tujuan hidup sekarang.
"Aku mau kok. Aku akan mengantarmu pulang,"
"Kau yakin? Meski rumahku berada di tengah lautan?"
~~TBC~~
Next chap:
Akhir di masa lalu. Dan kenyataan yang hampir sama terjadi lagi di masa yang kedua.
'Terkadang sebuah sejarang agak melenceng dari kenyataannya.'
"Kau salah orang. Madara."

0 komentar:

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
Saya cuma seorang blogger beginner...mohon di maklumi

Pengikut